[caption caption="Para Santri Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption]Perdebatan terkait Hari Santri Nasional (HSN) kembali ramai di media sosial setelah janji Presiden Jokowi menetapkan tahun baru Islam sebagai HSN tidak terealisasi. Pembaca Kompasiana pasti masih ingat, kata “Sinting” menjadi sangat papuler terkait HSN pada masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Adalah Fahri Hamzah (Politisi PKS) yang menulis status “sinting” di akun Twitter-nya, menanggapi wacana HSN oleh Capres Jokowi waktu itu. Konon, gara-gara cuitan “sinting” ini elektabilitas Jokowi naik dan menang dalam Pilpres.
Kini perdebatan HSN kembali mengemuka, pasalnya ada wacana peristiwa "penetapan resolusi jihad" oleh para Ulama Nahdatul Ulama (NU) yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945 akan ditetapkan sebagai HSN oleh Presiden Jokowi.
Beberapa organisasi Islam memberikan saran agar penetapan HSN pada 22 Oktober 2015 perlu dipertimbangkan, karena dikhawatirkan akan ada jarak antara kaum Nahdiyin (NU) dan kelompok Islam lainnya di Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 22 Oktober tersebut.
Seperti dilansir Voa-Islam.com, Jum’at (16/10), mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, menyatakan bahwa penetapan HSN yang akan diputuskan oleh Presiden Joko Widodo tidak tepat. Ia beralasan keputusan itu akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Din Syamsudin, HSN adalah upaya pihak luar untuk memecah-belah yang nantinya akan menghasilkan distorsi dalam budaya Islam yang pernah terbentuk. Dikotomi Santri-Abangan juga upaya intelektual orang luar untuk memecah belah umat Islam dengan mengukuhkan gejala budaya yang sesungguhnya bisa berubah (process of becoming) tersebut.
Pernyataan Din Syamsudin ini mendapat dukungan dari tokoh muda Muhammadiyah, Ma'mun Murod Al-Barbasy melalui media sosial facebook yang diposting Sabtu (17/10).
“Akan terjadi distorsi dan reduksi terhadap makna santri jika tanggal 22 Oktober dipaksakan sebagai Hari Santri Nasional” ungkap Ma’mun Murod yang juga dikenal sebagai Jubir Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) .
Menurut Ma'mun Murod Al-Barbasy, sebelum Syarikat Islam (SI) berdiri tahun 1905, Muhammadiyah tahun 1912, NU tahun 1926 dan ormas Islam lainnya lahir, sudah ada yang namanya santri. Saat itu belum di kenal pendidikan umum di kalangan santri, yang ada pendidikan pesantren. Dan kebanyakan elit muslim saat itu adalah alumni pesantren (yang dalam perjalanannya tersebar di berbagai ormas Islam).
Ma'mun Murod mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Resolusi Jihad saja. Kalau pun HSN itu harus ada, jadikan moment politik yang menggambarkan keterlibatan keseluruhan elemen santri dari berbagai kelompok Islam. Misalnya tanggal 22 Juni 1945, saat itu "kaum santri" dari SI, Muhammadiyah, NU, Perti dan lain-lain, berhasil menggolkan "Piagam Jakarta" di Sidang BPUPKI.
"Tanggal 22 Oktober itu tanggal yang tak netral dan cenderung menafikan jasa-jasa santri lainnya yang tidak terlibat di seputar Resolusi Jihad. Padahal jelas, momentum perjuangan panjang Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya di tanggal 22 Oktober 1945", ungkapnya.