Ada fenomena menarik pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014, walaupun dwifungsi TNI tidak ada lagi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlatarbelakang militer terpilih sebagai Presiden, dan banyak purnawirawan TNI yang berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung mendapatkan kursi di Parlemen. Dan tahun 2014, Prabowo sebagai Capres berlatar belakang militer mendapat dukungan signifikan walaupun kalah tipis oleh Jokowi. Ini menandakan Rakyat masih mendambakan kepemimpinan nasional yang berlatarbelakang militer.
Terkait peran TNI dalam kehidupan sosial politik di Indonesia, penulis jadi ingat dalam sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, medio tahun 2001 yang menghadirkan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI saat itu, Letjend Agus Widjoyo. Dalam presentasinya, Agus Widjoyo memaparkan dengan grafik peran TNI dalam kepemimpinan nasional pasca 1998. Letjen Agus Widjoyo menggambarkan tren penurunan peran TNI dalam kepemimpinan nasional periode 1998-2003.
Dengan analisanya, Letjen Agus Widjoyo meramalkan, tren penurunan tersebut hanya sementara. Diprediksi paling cepat 5 - 10 tahun, kepemimpinan nasional akan kembali ke TNI. Prediksi Agus Widjoyo ternyata benar, bahkan lebih cepat. Tahun 2004, melalui Presiden SBY, TNI kembali jadi pemimpin nasional, walaupun kapasitas SBY waktu itu sebagai purnawirawan TNI.
Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Kusnanto Anggoro berpendapat, terpilihnya SBY yang berlatarbelakang militer dan menyebarnya purnawirawan TNI ke partai politik adalah gejala biasa, karena dalam masa transisinya Indonesia menganut sistem hibrida. Berbeda dengan pengalaman negara Amerika Latin, seperti Argentina, yang memutus secara tegas antara rezim militer dan sipil. Menurut Dr Kusnanto Anggoro, jika masih ada pemikiran lama atau “konservatif” dibawa oleh pensiunan TNI ke parlemen dan eksekutif, yang akan terjadi adalah pemerintahan otoritarian semu (quazi-otoritarian government).
Namun, kekhawatiran banyak pihak akan kembalinya quazi-otoritarian government dengan terpilihnya Presiden SBY selama dua priode, serta banyaknya purnawirawan TNI menjadi anggota legislatif, sampai saat ini tidak terbukti. TNI sebagai institusi tampaknya tidak lagi tergoda dalam politik praktis. Hal ini terbukti dalam Pemilihan Presiden tahun 2014, TNI sangat netral walaupun ada Capres dari kalangan purnawirawan militer.
Perkuatan Alutsista TNI
Setelah menarik diri dari Parlemen pada tahun 2004, TNI terus berbenah diri. Dimasa awal Pemerintahan Presiden SBY, reformasi di internal TNI dimulai. Dalam rentang tahun 2005 – 2015 TNI lebih fokus kepada peningkatan profesionalisme personil dan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Saat ini, kinerja TNI meski tak selalu berjalan mulus, dinilai sudah membaik. Reformasi di TNI telah menghasilkan tentara yang lebih profesional. Kini, berkat reformasi internal, kekuatan TNI mulai disegani kembali oleh negara tetangga dengan ‘Panen” alutsista terbaru yang mulai berdatangan sejak tahun 2004, setelah sekian lama “puasa” belanja alutsita modern.
Tahun 2015, lembaga analisa militer Global Firepower merilis kekuatan militer Indonesia berada di urutan 12 dunia sejak Januari 2015. Sebelumnya, tahun 2011 lalu Indonesia masih berada di peringkat 18 besar dunia. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan program MEF (Minimum Essensial Force) atau pembangunan kekuatan dasar minimum yang dicanangkan Presiden SBY.
Apakah dengan reformasi TNI yang telah berjalan selama 10 tahun ini, TNI tergoda kembali oleh "Kekuasaan Politik"? Saya yakin TNI tetap akan pada "Khittah-nya" sebagai Tentara Rakyat dan tidak akan melakukan kudeta. TNI pasti akan mengawal supremasi sipil.
Dirgahayu TNI ke-70 (05 Oktober 1945-O5 Oktober 2015).