Isu konflik Syiah-Sunni di Indonesia kembali menghangat setelah penyerangan sekelompok preman yang mengaku penganut Syiah ke kampung Majelis Az-Zikra, pimpinan Ustadz Arifin Ilham, di Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu (11/02/2015).
Ada beberapa analisa terkait "Insiden Az-Zikra". Beberapa pengamat politik menyangsikan bahwa "Insiden Az-Zikra" adalah murni konfik antara pengikut Syiah dan Ummat Islam Indonesia.
Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq, mengatakan, terdapat kejanggalan dalam penyerangan ke kampung Majelis Az-Zikra, pimpinan Ustadz Arifin Ilham.
"Insiden harus disikapi dengan pikiran jernih. Ada beberapa kejanggalan," katanya, di Jakarta, Kamis (12/02) mengutip laman Republika.co.id.
Dia mengatakan kejanggalan tersebut yaitu pertama, selama ini belum pernah terjadi penganut Syiah melakukan aksi intimidasi apalagi teror terhadap kelompok-kelompok mayoritas. Kedua, Syiah di Indonesia sedang dalam sorotan seiring konflik-konflik sektarian di Timur Tengah yang melibatkan kelompok Syiah dan Sunni. Fatwa sesat yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia, dikatakan dia, telah membuat Syiah dicurigai dan mudah untuk dikambinghitamkan.
Namun penyataataan Fajar Riza Ul Haq, dibantah oleh pengamat dari ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum), Mustofa B. Nahrawardaya dalam siaran persnya.
Menurut Mustofa, penyerangan oleh sekelompok intoleran yang mengaku dari pembela aliran Syiah ke kompleks Masjid Az-Zikra pimpinan Ustadz M. Arifin Ilham, Â sama sekali tidak ada kejanggalan. Penyerangan intoleran semacam itu sudah sering terjadi.
"Hanya saja, kali ini pelakunya bukan dari kelompok mayoritas, namun justru dari kelompok pembela minoritas yang merasa dihina," jelas Mustofa B. Nahrawardaya dalam siaran persnya (Sabtu, 14/2), seperti dikutip Mediawarga,info dari RMOL.
Mengapa tidak ada kejanggalan?
Pertama, Mustofa menjelaskan, masyarakat Indonesia terlanjur dibiasakan oleh kondisi dan situasi, dimana ada stereotip bahwa biasanya yang menyerang adalah pihak mayoritas dan korbannya minoritas. Stereotip ini sangat berbahaya karena akhirnya menjadi kesimpulan publik yang sesat, seolah dalam sejarah hanya minoritas yang selalu menjadi korban kekerasan.
"Akibat yang lebih buruk barangkali, aparat cenderung terpengaruh karena kejadian minoritas menyerang mayoritas dianggap tabu. Bahkan akan dianggap sebuah kejanggalan. Padahal itu adalah fakta," ungkap Mustofa.