Mohon tunggu...
Rida Nugrahawati
Rida Nugrahawati Mohon Tunggu... karyawan -

-- Penyuka Imajinasi dan Cerita Fiksi -- 🏡 Kuningan-Jabar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Aku Si Munafik Itu?

27 Desember 2018   16:47 Diperbarui: 27 Desember 2018   17:31 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang menarik tanganku, menatap dalam mataku. Rupanya ia seorang wanita dengan rambut panjang terurai. Aku tak dapat menolaknya. Ia menggenggam tanganku begitu erat. Seperti tak ingin aku pergi.

Berjalan dalam kegelapan. Tak ada penerangan, hanya ada cahaya bulan purnama yang aku lihat. Tak tahu akan dibawa ke mana. Aku berjalan begitu cepat mengikutinya. Aku mendengar isak tangisnya. Sebenarnya ia siapa, mengapa ia membawaku ke sini dan mengapa ia menangis? Entah mengapa saat itu aku tak dapat mengeluarkan suara. Hanya dapat bertanya-tanya dalam hati.

Terhenti. Ia menunjuk ke arah 2 orang wanita. Wanita satu memakai pakaian berwarna hitam dan wanita kedua memakai pakaian berwarna putih. Mengobrol, tertawa begitu dekatnya.

Datang seorang lelaki memakai topeng kemudian membunuh wanita berpakaian putih, begitu terlihat jelas warna darah dalam pakaiannya. Tetapi mengapa pria tersebut tak membunuh wanita berpakaian hitam?

Tak terlihat sedikit saja rasa bersedih dalam wajah wanita berpakaian hitam. Ia tertawa bersama pria tersebut. Ia kemudian memakai topeng yang sama seperti pria tersebut dan pergi meninggalkan jenazah wanita berpakaian putih, sendirian. Ingin aku menghampirinya, tetapi wanita misterius ini menarik tanganku dan melanjutkan perjalanan.

Sampai di depan sebuah rumah panggung terbuat dari kayu. "krekkk....." Pintu rumah itu terbuka sendiri. Mungkin itu pintu otomatis. Wanita misterius melepas tanganku. Menoleh, seperti mengisyaratkan untuk masuk ke dalam.  Kami memasuki rumah tersebut dengan perlahan karena takut jika kayu yang menjadi pijakanku patah. Ternyata di dalam hanya ada satu ruangan, sangat besar dan gelap.

"Di luar gelap, di dalam gelap." Kataku dalam hati. Hanya ada satu lilin di ujung ruangan ini. Terletak di atas meja dan di depan cermin.

"Mungkin wanita misterius itu sangat suka bercermin. Jadi lilin diletakkan di depan cermin. Agar ketika bercermin dapat melihat wajahnya dengan jelas." Kataku dalam hati.

Aku mendekati cermin untuk mengambil lilin. Ternyata memang benar wajahku terlihat jelas dalam cermin. Terlihat cantik dan manis, aku sampai tersenyum sendiri melihatnya.

"Brug." Terdengar suara pintu tertutup, aku kaget melihat lilin seperti akan padam dan aku berusaha melindungi lilin agar tak padam. Terdengar suara ketukan dari bawah rumah semakin lama semakin keras. Dan di mana wanita misterius itu. Mengapa ia meninggalkanku?. Apakah pria pembunuh tadi yang mengetuk dari bawah, akankah membunuhku juga?Jantungku berdebar sangat kencang, ketakutan, sendiri dalam kegelapan.

Menatap cermin di depanku. Semakin kaget ketika melihat tulisan "MUNAFIK" dalam cermin. Siapa yang menulisnya. Di sini hanya ada aku. Rumah ini bergoyang semakin cepat, seperti ada gempa. Hingga akhirnya aku terjatuh bersama lilin. Kaca di depanku pecah dan tepat merobek telapak tangan, begitu sakit.

Tertatih-tatih agar keluar dari tempat ini, dengan menahan sakit dan lilin masih aku pegang. Ketika keluar dari tempat itu, tak sedikit pun aku merasa ada getaran. Berjalan menyusuri jalanan gelap. Untung saja lilin ini masih menemaniku, menerangiku.

Di tengah perjalanan bertemu dengan pria dan wanita bertopeng. Mereka ternyata baik hati memberiku banyak makanan dan minuman. Namun dugaanku salah mereka memang terlihat baik. Tetapi mereka juga ingin membunuhku. Berlari menjauhi mereka. Aku terjatuh memasuki jurang, berguling-guling.

***

"Brag...." Aku terjatuh dari atas kasur. Ternyata hanya mimpi buruk, keringat bercucuran di tubuhku. Telapak tanganku terasa berdenyut. Aku langsung minum kemudian memasuki toilet dan mandi.

Setelah rapi, aku duduk di kursi luar kamar yang berhadapan langsung dengan pantai. Terus memikirkan apa maksud mimpi semalam yang aku alami. Apa maksud orang-orang bertopeng? Apa maksud kata "MUNAFIK"? Mengapa semalam mimpi buruk? Mengapa suasananya begitu gelap? Dan mengapa wanita misterius dalam mimpi menangis? Mengapa lilin dalam mimpi tidak padam? Mengapa ada pembunuhan dalam mimpiku?.

Yang aku tahu munafik adalah keadaan seseorang yang berpura-pura baik di hadapan banyak orang namun aslinya tidak baik. Orang memakai topeng dalam mimpi itu mungkin berarti untuk menutupi kebohongan, kepura-puraan dalam hidupnya. Semakin penasaran aku membuka google dan mencari apa maksud munafik.

Munafik adalah  terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya. (https://id.m.wikipedia.org)

"Apa aku si munafik itu?." Kataku, sambil mengamati keadaan sekitar.

Aku terus mengingat-ingat apa sebenarnya permasalahan yang sudah aku alami. Dosa apa yang telah aku perbuat. Untuk pertama kalinya aku bermimpi seperti itu. Langsung aku menelepon teman untuk mendengarkan kegelisahanku. Aku meminta untuk bertemu di sebuah tempat kopi.

"Kenapa? Tumben kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku?." Tanya Anjar, sambil menepuk bahuku.

"Semalam aku mimpi buruk, mungkin kamu bisa membantu apa sebenarnya maksud dari mimpi tersebut." Kataku, Anjar tempat bercerita semua orang yang mungkin dapat sedikit menenangkanku dengan kata-kata bijaknya.

"Maaf ya aku bukan penafsir mimpi. Wajar saja jika kamu mimpi buruk. Semua orang mengalaminya." Katanya sambil tertawa.

"Tapi ini berbeda Anjar, mungkin kamu dapat sedikit menenangkan kegelisahanku." Kataku serius.

"Iya, mukanya jangan terlalu serius dong. Santai. Silahkan bercerita." Katanya, aku langsung menceritakan semuanya termasuk arti munafik yang aku temukan di google.

"Jadi menurutmu bagaimana? apakah kamu mengerti? Apakah kamu dapat menjelaskan satu persatu? Apakah aku si munafik itu Anjar?" Kataku, memaksa agar Anjar cepat menjelaskan semuanya.

"Oke, aku tahu mengapa kamu bisa bermimpi seperti itu. Bukan karena kamu munafik, tapi karena kamu sedang memiliki masalah. Kamu terus memikirkan masalah tersebut dan alam bawah sadarmu mengungkapkan itu semua dalam mimpi." Katanya.

"Maksudnya? Aku tidak mengerti Anjar, aku sedang tidak mempunyai masalah." Kataku sambil berpikir.

"Kamu bohong." Katanya serius.

"Memang sebulan yang lalu ada seseorang yang membenciku. Ia sering menyindir keburukanku di media sosial." Kataku.

"Sudah selesai, jadi permasalahanmu hanya itu. Tidak ada hubungannya dengan agama. Lupakan saja agar kamu tidak mimpi buruk lagi." Katanya.

"Tapi Anjar, aku ingin tahu penjelasan mimpi yang aku alami. Kejadian-kejadian yang aku alami dalam mimpi" Kataku.

"Oke, kejadian mana yang membuatmu penasaran?" Tanya Anjar.

"Semua." Kataku sambil tersenyum.

"Hm ya sudah satu persatu, yang mana dulu?." Tanyanya sambil menepuk jidat.

"Sebenarnya mimpi yang kamu alami ada hubungannya dengan kejadian yang kamu alami dalam hidup. Apakah aku boleh menyangkutkannya?." Tanya Anjar.

"Boleh, tegur saja aku bila salah. Aku ingin bertanya mengapa lilin dalam mimpi tidak padam padahal aku bawa berjalan, berlari?." Tanyaku.

"Lilin bagaikan penerang atau bisa juga di katakan sebagai perbuatan baik yang menerangi. Kamu bekerja sebagai penulis yang dapat memotivasi banyak orang, memberi semangat dan inspirasi kebaikan untuk pembaca. Mungkin itu bentuk kebaikan yang sudah kamu perbuat." Kata Anjar.

"Oke, dapat dipahami. Mengapa dalam mimpi suasana begitu gelap.? Tanyaku.

"Itu artinya banyak orang sekitar yang membutuhkan bantuanmu, membutuhkan uluran tanganmu. Mereka sedang dilanda kegelapan atau permasalahan." Katanya sambil tersenyum.

"Masa sih?." Tanyaku.

"Ya sudah, jangan bertanya lagi." Katanya serius.

"Hm iya, mengapa wanita misterius dalam mimpi itu menangis.?" Tanyaku.

"Sesuai dengan perkataanku tadi. Ada orang sekitarmu yang membutuhkan pertolonganmu. Sampai menangis loh, kamu tidak kasihan?" Katanya sambil tertawa.

"Serius ih, aku tidak tahu harus menolong siapa." Kataku sambil tertawa.

"Tolong aku saja, tolong belikan ponsel baru untukku." Katanya sambil menarik tasku yang berada di atas meja.

"Ye.. sudahlah, aku ingin bertanya lagi mengapa aku bertemu seorang pria dan wanita yang bertopeng.?" Tanyaku, sambil menarik tasku yang Anjar genggam.

"Itu menandakan bahwa kamu belum bisa move on dari mantanmu yang berinisial R. Kamu belum ikhlas menerima kenyataan. Kamu belum ikhlas dengan segala kebohongannya. Wanita yang di bunuh dalam mimpi itu bagaikan kamu. Pria dan wanita yang bertopeng itu bagaikan mantanmu dan wanita idaman lain. Sudah ya ikhlaskan, jika berjodoh pasti bersatu. Jika bukan, akan ada pria lain yang lebih baik." Katanya, sambil tertawa begitu puas di depanku.

"Kenapa harus dihubungkan dengan hal itu, itu membuatku kesal." Kataku dengan wajah kesal.

"Jadi tidak ada yang ingin di tanyakan lagi?." Tanya Anjar sambil terus tertawa, orang-orang sekitar sampai memperhatikan kita.

"Satu lagi Anjar, mengapa dalam cermin ada tulisan "MUNAFIK".?" Tanyaku.

"Nah ini yang ingin aku jelaskan." Katanya sambil menahan tawa.

"Apa? Sudah berhenti tertawa dulu." Kataku penasaran.

"Kamu sebagai penulis harus bisa bertanggung jawab terhadap tulisannya. Misalkan kamu menulis tentang Pentingnya Berbakti Kepada Orang Tua, namun kamu sendiri tidak berbakti. Contoh lain kamu menulis Cara Menghargai Orang Lain, namun kamu sendiri tidak dapat menghargai orang lain. Itu dapat di katakan munafik dalam versi sehari-hari. Aku tahu tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Namun apa salahnya jika kamu dapat belajar dari tulisanmu sendiri. Orang lain saja belajar dari tulisanmu, masa iya kamu tidak?" Katanya, langsung menyadarkanku.

"Iya juga, baru terpikir mungkin itu munafiknya aku. Doakan aku agar tulisanku dan pengaplikasian di kehidupan sehari-hari dapat sejalan." Kataku sambil tersenyum.

"Oke, jika kamu sudah tenang aku pergi dulu ada kelas tambahan di kampus. Eh bukan, tapi takut ketahuan mantanmu eh." Katanya sambil pergi meninggalkanku.

"Terima Kasih Anjar." Kataku.

"Sama-sama. Jangan memikirkan mimpi buruk lagi." Katanya, mengingatkanku.

Anjar pergi meninggalkanku sendiri. Meskipun semua yang ia katakan aneh. Namun dapat membuatku lebih tenang. Munafik dalam mimpi itu tidak ada hubungannya dengan agama. Namun berhubungan dengan keseharianku. Memang benar terkadang aku hanya menulis artikel motivasi tanpa mempelajari dan diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Aku harus belajar untuk terus memperbaiki diriku sendiri.

***

Kuningan, 27 Desember 2018.
Rida Nugrahawati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun