Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seekor Kijang Betina Berhati Mulia

25 September 2023   22:10 Diperbarui: 25 September 2023   22:18 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com

Menurut Anda, manakah yang berguna, sebongkah batu atau sebutir debu? Pertanyaan itu  boleh saja Anda anggap tidak penting. Apalagi ketika Anda sudah punya jawaban, bahwa sebongkah batu itu lebih punya manfaat ketimbang sebutir debu.

Memang, jawaban Anda tidak salah. Sebab, sebongkah batu bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan. Sedang sebutir debu, rasa-rasanya sulit membayangkan bagaimana cara memanfaatkannya. Ya kan?

Tetapi, bagaimana jika Anda sekarang ini dihadapkan pada kenyataan lain; bahwa sebutir debu jauh lebih berguna dibandingkan sebongkah batu? Anda mungkin saja tak percaya. Sebab, hal itu sulit dinalar.

Untuk alasan itu, tak ada salahnya jika Anda sejenak menempuh perjalanan lintas waktu. Menjelajah masa lampau yang kaya akan catatan-catatan penting. Salah satunya, manuskrip Jawa Klasik yang ditulis oleh seorang pujangga Keraton Surakarta, R.Ng. Yosodipuro I. Judulnya, Serat Dewa Ruci.

Sebelum ke babagan Serat Dewa Ruci, ada baiknya juga kita mengenal penulisnya. Beliau, R.Ng. Yosodipuro I, adalah putra dari Raden Tumenggung Padmanegara (Bupati Pekalongan di era Sultan Agung). Selain sebagai pujangga Kasunanan Surakarta, Yosodipuro I juga dikenal sebagai seorang ulama, ahli strategi, dan diplomat ulung dalam urusan kenegaraan.

Nah, Serat Dewa Ruci yang ditulis R.Ng. Yosodipuro I pada mulanya merupakan saduran dari Serat Syekh Malaya karangan Sunan Kalijaga. Serat ini awalnya merupakan lakon carangan dari lakon pewayangan. Diambil dari kisah epos Mahabharata. Oleh R.Ng. Yosodipuro I, kisah ini juga telah mengalami pengislaman. Bahkan, kisah Dewa Ruci sangat dekat dengan ajaran tasawuf.

Singkat cerita, dalam Serat Dewa Ruci, Bima bertemu dengan Dewa Ruci di dasar samudra. Kala itu, Bima sedang menjalankan tugas dari gurunya, Resi Drona, untuk mencari tirta maya atau tirta merta yang hanya bisa ditemukan di kayugung susuhing angin. Bima sempat kaget melihat sosok Dewa Ruci yang secara fisik mirip dengan dirinya. Lantas, terjadilah perbincangan panjang di antara mereka. Saat itu pula, Dewa Ruci menyingkap rahasia tentang diri Bima yang sesungguhnya. Namun, Bima tak begitu saja percaya.

Untuk meyakinkan Bima, Dewa Ruci kemudian meminta Bima agar masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Namun, Bima belum sepenuhnya yakin itu bisa dilakukan. Apalagi tubuh Dewa Ruci tampak lebih kecil dari tubuh Bima yang tinggi besar.

Dewa Ruci mesem ngandikaris
gedhe endi sira lawan jagad
kabeh iki saisine
alas myang gunungipun
samodra lan isine sami
tan sesak lumebuwa
ing jro garbaningsun
Wrekudara duk miyarsa
esmu ajrih kumel sandika turneki
mengleng Sang Ruci Dewa

Lantas, diperintahlah Bima untuk masuk tubuh Dewa Ruci melalui telinganya. Dan, Bima terkejut bukan kepalang, manakala ia berada di dalam tubuh yang kecil Dewa Ruci itu, ia saksikan alam raya yang demikian luas tak terkira. Bima terheran-heran dan kebingungan. Lebih-lebih, ketika Dewa Ruci kemudian muncul di hadapannya dengan tubuh yang menguarlah cahaya terang.

Saat itu pula, Dewa Ruci menyampaikan beberapa pengetahuan tentang hakikat diri sang Bima dari sisi batinnya. Bahwa cahaya terang yang disebut Pancamaya itu adalah cahaya terang hatinya yang selalu membimbing. Selama ini, keragu-raguan dan ketakutan yang Bima rasakan, karena Bima tak pernah mendekati cahaya itu. Maka, Dewa Ruci pun meyakinkan Bima agar selalu mengikuti bimbingan cahaya yang terpancar di dalam hatinya.

Kisah Dewa Ruci mungkin saja Anda anggap sebagai sebuah karangan semata. Tak salah memang, anggapan itu. Tetapi, apabila kita menyelami maknanya, maka sesungguhnya ada perihal yang sangat mendasar dalam urusannya dengan masalah keilmuan. Bahwa, rupanya lebih kerap kita menganggap remeh sesuatu yang kecil. Lebih sering pula kita menganggap sesuatu yang sangat halus hingga tak kasatmata. Padahal, tidak jarang kita diingatkan justru oleh sesuatu yang bentuk dan ukurannya sangat kecil. Seperti sebutir debu.

Sekali saja mata kita kelilipan, dunia seketika terasa gelap. Bahkan, kadang kita bisa kehilangan keseimbangan. Sulit mengendalikan diri. Lalu, terbesit dalam benak kita rasa ketakutan dan kecemasan yang teramat, sampai-sampai kita merasa seperti sudah kehilangan segalanya.

Betapa, kita adalah manusia yang bodoh. Sebab, terlalu mudah menganggap remeh segala sesuatu yang kita pandang rendah. Seperti halnya kita menganggap rendah pada binatang.

Tak bisa dielakkan, kita kerap memandang dunia binatang adalah dunia yang lebih rendah dari manusia. Kita menganggap mereka tak punya akal pikiran. Sehingga, keberadaan binatang kerap kita anggap lebih hina dari manusia.

Padahal, dalam kitab Dalail al-Khairat, akan kita jumpai pula kisah tentang seekor kijang yang kedudukannya lebih mulia daripada kita. Sampai-sampai dalam kitab itu muncul sebait selawat yang berbunyi,  " "

Ya Allah, limpahkan selawat bagi orang yang memberi pertolongan terhadap seekor kijang yang fasih berbicara.

Syahdan, pada suatu pagi Rasulullah saw. mendengar suara memanggil beliau. Tetapi, setelah Rasulullah memeriksa sekitar, tak tampak oleh beliau seorang pun di sekitar. Suara itu kembali menyeru nama beliau, "Alaikasalam, ya Rasulullah!"

Mendengar suara itu, Rasulullah menghentikan langkahnya. Lalu, kembali mengedarkan pandangan matanya ke segala arah. Namun, lagi-lagi tidak didapati seorang pun di sekitar. Yang nampak, hanyalah sebuah kandang. Di dalam kandang itu, seekor kijang betina tengah berdiri menatap ke arah beliau berdiri.

Tak salah lagi, suara itu pasti dari kijang itu. Sebab, ketika tatapan mata Rasulullah beradu dengan tatapan kijang itu, tampak benar wajah kijang itu berseri-seri. Penuh harap, agar Rasulullah mendekatinya.

Menyaksikan tatapan yang demikian, Rasulullah tak tega hati meninggalkan kijang yang kesepian itu. Beliau, segera melangkahkan kaki dan mendekati kandang itu. Dari luar kandang, beliau menyaksikan seutas tali dikalungkan pada leher kijang itu dan dikaitkan dengan sebatang tiang. Betapa malang, kijang betina itu.

"Kaukah yang memanggilku, wahai makhluk Allah yang lincah?" tanya Rasulullah kepada kijang itu.

Kijang itu mengangguk, "Iya, Rasulullah."

"Oh, syukurlah," balas Rasulullah, "Tapi, bolehkah aku tahu, mengapa kau memanggilku?" tanya Rasulullah.

Sebentar, kijang itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Memeriksa dan memastikan keadaan aman untuknya. Lalu, ia mendekati Rasulullah. Setengah berbisik, kijang itu kemudian berkata, "Tolonglah aku, ya Rasulullah. Aku mohon lepaskan aku dari kandang ini."

"Melepaskanmu?" ucap Rasulullah.

"Iya. Aku mohon," ucap kijang itu mengiba.

Sejenak, Rasulullah terdiam. Lantas, dengan sangat hati-hati beliau berkata, agar tak melukai hati sang kijang yang malang itu. "Dengan sangat menyesal aku harus katakan padamu, aku tak sanggup melakukannya, wahai engkau yang diciptakan Allah dengan segala keindahan. Sebab, itu akan melanggar hak orang lain. Kau sekarang ini adalah milik dari tuanmu. Dan tuanmu, tentulah bukan aku. Aku kira, tuanmu lebih berhak. Apalagi, ia pastilah orang baik yang berkenan memeliharamu dengan baik pula," kata Rasulullah.

Mendengar ucapan itu, wajah kijang betina itu perlahan menjadi murung. Harapannya yang semula membuat wajahnya tampak berbinar-binar tampak redup. Ada rasa kecewa yang diam-diam menyusup dalam batinnya.

Kijang itu hanya bisa menunduk. Berusaha menyembunyikan airmatanya dari hadapan Rasulullah. Dalam-dalam ia menghela napas, menahan isak tangisnya.

Pelan-pelan ia menata diri dan ucapannya, "Kau benar. Hanya tuanku yang berhak atas diriku. Maafkan aku, ya Rasulullah, jika permintaanku berlebihan."

"Sekali lagi, maafkan aku, wahai kijang yang malang. Aku tak bermaksud untuk mengecewakanmu," balas Rasulullah.

Kijang itu tersenyum, memaklumi sikap Rasulullah. Namun, saat ia menatap wajah Rasulullah, tampak butiran bening di sudut matanya meluncur jatuh, membasahi pipinya.

"Kau menangis? Kenapa kau menangis?" tanya Rasulullah.

"Tidak apa-apa, ya Rasulullah. Aku hanya terkenang pada anak-anakku. Sebagai seorang ibu, rasa-rasanya terlalu besar rasa cemasku pada mereka. Apalagi kami dipisahkan saat mereka berdua masih aku susui," jelas kijang itu.

Sontak, penjelasan itu membuat Rasulullah merasa sangat iba. "Astagfirullah, kau masih menyusui anak-anakmu?" tanya Rasulullah. "Lalu, dimana anak-anakmu sekarang?"

"Mereka ada di balik bukit itu, ya Rasulullah. Sungguh, aku sangat mencemaskan mereka. Apakah mereka masih hidup atau...," kijang itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya.

"Ya, aku mengerti perasaanmu, wahai kijang. Tetapi, untuk melepaskanmu aku tak bisa melakukannya sendiri. Akan aku mintakan izin pada tuanmu, agar ia melepaskanmu segera. Tetapi, ada satu syarat untukmu," kata Rasulullah.

"Syarat?"

"Bisakah aku pegang kata-katamu, wahai kijang yang malang?" tanya Rasulullah.

"Sekiranya aku mengingkari ucapanku, Allah pastilah akan menimpakan azab padaku. Dan, aku siap menerimanya, ya Rasulullah," ucap kijang itu bersumpah.

Setelah mendengar ucap sumpah itu, Rasulullah segera menemui pemilik kijang itu. Di hadapan pemilik kijang itu, Rasulullah menyampaikan permintaan agar sebentar melepaskan kijang itu. Memberi kesempatan kepada kijang itu untuk melepas kangen dan menyusui kedua anaknya di balik bukit.

"Apa jaminannya, wahai pejalan yang menebarkan aroma wangi di rumahku ini?" kata pemilik kijang itu.

"Kau boleh memasukkanku ke dalam kandangmu, menggantikan kijangmu itu, wahai pemburu yang cekatan," jawab Rasulullah.

Ucapan itu membuat pemilik kijang itu terkejut keheranan. Bagaimana mungkin seorang manusia mau melakukan itu? Merelakan dirinya sebagai jaminan hanya untuk seekor kijang buruannya itu.

"Sungguh, aku tak mengerti mengapa engkau begitu rela mencelakai dirimu sendiri hanya demi seekor kijang buruan. Bukankah harga diri seorang manusia itu lebih tinggi daripada seekor binatang?" kata pemilik kijang itu.

Ucapan itu hanya dibalas dengan seulas senyuman. Pemburu itu makin bingung melihat sikap Rasulullah yang demikian. Dan, karena tak mau menambah kebingungannya, ia pun mengiyakan saja permintaan Rasulullah.

"Sepertinya, aku tak sanggup menawar lagi. Senyumanmu membuatku tak kuasa menolak permintaanmu," kata pemburu itu sembari mendekati kandang kijang itu.

Lekas-lekas pemililk kijang itu melepaskan kijangnya. Seketika itu, kijang dalam kandang itu segera keluar dari kandang. Lalu, mendekati Rasulullah seraya menyampaikan rasa terima kasihnya yang terdalam.

Sambil mengusap kening kijang itu, Rasulullah mempersilakan kijang itu pergi menemui anak-anaknya. "Pergilah. Anak-anakmu sedang menunggumu. Mereka sangat membutuhkan kasih sayangmu. Mereka sangat merindukan kehangatanmu. Pergilah!"

Dengan tangkas, kijang itu lantas berlari dan meloncat-loncat menuju bukit. Makin jauh ia meninggalkan Rasulullah dan pemburu itu. Dan bayang-bayang kijang itu menghilang di balik bukit.

Beberapa saat kemudian, kijang itu kembali muncul dari balik bukit. Lincah berlarian menuju rumah sang pemburu itu. Lantas, ia berdiri tepat di hadapan Rasulullah dan pemburu itu.

"Ya Rasul, aku telah menepati janjiku. Dan aku siap untuk dimasukkan ke dalam kandang lagi," ucap kijang itu.

Menyaksikan kedekatan antara Rasulullah dengan kijang itu, pemburu itu merasa tak enak hati. Ia merasa ada sesuatu yang keliru pada dirinya.

"Wahai orang asing yang budiman, kau begitu dekat dengannya. Aku kira kau lebih pantas memilikinya," kata pemburu itu kepada Rasulullah.

Sejenak, senyum Rasulullah mengembang. Lalu, beliau berusaha menghibur pemilik kijang itu, "Aku tak punya niat untuk merebut kijang milikmu ini. Sama sekali tidak ada niatan untuk itu. Aku hanya merasa iba pada kijang buruanmu itu."

Ucapan Rasulullah seketika itu membuat luluh hati pemburu itu. Ia merasa sangat bersalah telah menistakan makhluk ciptaan Allah yang indah itu. Lalu, dengan segenap penyesalan ia pun meminta maaf kepada kijang itu dan menyerahkan kijang buruannya itu kepada Rasulullah. "Aku kira, aku telah berbuat salah besar dalam hidupku. Untuk menebus rasa salahku ini, aku serahkan kijang ini kepadamu, wahai engkau yang senantiasa diliputi cahaya," ucap pemburu itu kepada Rasulullah.

Rasulullah tersenyum. Lalu berkata, "Allah telah memuliakanmu, wahai saudaraku yang berhati lembut. Dan suatu kelak, anak-anak kijang ini akan mengenang kebaikanmu karena kau telah membebaskan ibu mereka dan membiarkan mereka hidup dalam kasih sayang dan dinaungi cinta. Dan kau, kijang yang berhati samudra, lekaslah kau temui anak-anakmu. Hiduplah bersama mereka. Mereka lebih membutuhkanmu."

Sesaat itu pula, rasa haru menyeruak dan menyembul dari sanubari terdalam sang pemburu itu, juga pada kijang itu. Binar mata kijang itu tampak berkilauan. Berkaca-kaca ia menatap wajah Rasulullah. Saat itu pula, ia mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Rasulullah, "Aku bersaksi tiada ada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi nabi Muhammad adalah utusan Allah!"

Setelah ia mengucapkan syahadat, kijang itu lantas berpamitan dan segera meninggalkan Rasulullah. Dengan riang ia berlari menjumpai anak-anaknya di balik bukit itu. Rasul pun melambaikan tangan kepada kijang itu, seraya berucap, "Allah akan senantiasa menjagamu, wahai kijang yang penuh kasih sayang."

Menyaksikan kasih sayang yang ditunjukkan Rasulullah, pemburu Arab Badui itu merasa sangat malu. Ia menyesal telah melakukan kesalahan besar. Lantas, ia pun meminta Rasulullah untuk membimbingnya agar tidak mengulangi perbuatan yang serupa. Sejak itu pula, ia mengikrarkan diri, bahwa tiada Tuhan yang jadi sesembahannya kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Sungguh, betapa beruntungnya kijang itu. Sekalipun dalam pandangan manusia ia hanyalah seekor kijang, seekor binatang, namun rupanya Allah telah memberikannya kemuliaan yang tak terkira. Lantas, bagaimana dengan kita? Seberuntung apakah kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun