"Kau menangis? Kenapa kau menangis?" tanya Rasulullah.
"Tidak apa-apa, ya Rasulullah. Aku hanya terkenang pada anak-anakku. Sebagai seorang ibu, rasa-rasanya terlalu besar rasa cemasku pada mereka. Apalagi kami dipisahkan saat mereka berdua masih aku susui," jelas kijang itu.
Sontak, penjelasan itu membuat Rasulullah merasa sangat iba. "Astagfirullah, kau masih menyusui anak-anakmu?" tanya Rasulullah. "Lalu, dimana anak-anakmu sekarang?"
"Mereka ada di balik bukit itu, ya Rasulullah. Sungguh, aku sangat mencemaskan mereka. Apakah mereka masih hidup atau...," kijang itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya.
"Ya, aku mengerti perasaanmu, wahai kijang. Tetapi, untuk melepaskanmu aku tak bisa melakukannya sendiri. Akan aku mintakan izin pada tuanmu, agar ia melepaskanmu segera. Tetapi, ada satu syarat untukmu," kata Rasulullah.
"Syarat?"
"Bisakah aku pegang kata-katamu, wahai kijang yang malang?" tanya Rasulullah.
"Sekiranya aku mengingkari ucapanku, Allah pastilah akan menimpakan azab padaku. Dan, aku siap menerimanya, ya Rasulullah," ucap kijang itu bersumpah.
Setelah mendengar ucap sumpah itu, Rasulullah segera menemui pemilik kijang itu. Di hadapan pemilik kijang itu, Rasulullah menyampaikan permintaan agar sebentar melepaskan kijang itu. Memberi kesempatan kepada kijang itu untuk melepas kangen dan menyusui kedua anaknya di balik bukit.
"Apa jaminannya, wahai pejalan yang menebarkan aroma wangi di rumahku ini?" kata pemilik kijang itu.
"Kau boleh memasukkanku ke dalam kandangmu, menggantikan kijangmu itu, wahai pemburu yang cekatan," jawab Rasulullah.