Kijang itu mengangguk, "Iya, Rasulullah."
"Oh, syukurlah," balas Rasulullah, "Tapi, bolehkah aku tahu, mengapa kau memanggilku?" tanya Rasulullah.
Sebentar, kijang itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Memeriksa dan memastikan keadaan aman untuknya. Lalu, ia mendekati Rasulullah. Setengah berbisik, kijang itu kemudian berkata, "Tolonglah aku, ya Rasulullah. Aku mohon lepaskan aku dari kandang ini."
"Melepaskanmu?" ucap Rasulullah.
"Iya. Aku mohon," ucap kijang itu mengiba.
Sejenak, Rasulullah terdiam. Lantas, dengan sangat hati-hati beliau berkata, agar tak melukai hati sang kijang yang malang itu. "Dengan sangat menyesal aku harus katakan padamu, aku tak sanggup melakukannya, wahai engkau yang diciptakan Allah dengan segala keindahan. Sebab, itu akan melanggar hak orang lain. Kau sekarang ini adalah milik dari tuanmu. Dan tuanmu, tentulah bukan aku. Aku kira, tuanmu lebih berhak. Apalagi, ia pastilah orang baik yang berkenan memeliharamu dengan baik pula," kata Rasulullah.
Mendengar ucapan itu, wajah kijang betina itu perlahan menjadi murung. Harapannya yang semula membuat wajahnya tampak berbinar-binar tampak redup. Ada rasa kecewa yang diam-diam menyusup dalam batinnya.
Kijang itu hanya bisa menunduk. Berusaha menyembunyikan airmatanya dari hadapan Rasulullah. Dalam-dalam ia menghela napas, menahan isak tangisnya.
Pelan-pelan ia menata diri dan ucapannya, "Kau benar. Hanya tuanku yang berhak atas diriku. Maafkan aku, ya Rasulullah, jika permintaanku berlebihan."
"Sekali lagi, maafkan aku, wahai kijang yang malang. Aku tak bermaksud untuk mengecewakanmu," balas Rasulullah.
Kijang itu tersenyum, memaklumi sikap Rasulullah. Namun, saat ia menatap wajah Rasulullah, tampak butiran bening di sudut matanya meluncur jatuh, membasahi pipinya.