"Belum, Pak," jawab Kang Gudhal singkat.
"Sudah diberitahu mengapa ditahan?"
"Belum, Pak," jawab Kang Gudhal lagi.
"Oh iya, itu memang sengaja saya lakukan. Tetapi, saya juga tahu itu menyalahi aturan. Tanpa handuk itu, kerja sampeyan akan terganggu. Karena kondisi kertas mesti kering dan tidak boleh kena setetes pun keringat. Tetapi, saya beritahu kamu, kenapa itu saya lakukan," ucap Pak Dirut sambil menata kata-kata.
Kang Gudhal diam, memperhatikan.
"Saya itu punya satu pertanyaan, sampeyan saya minta komit di sini. Bisa?"
"Insyaallah bisa, Pak."
"Nah, kalau memang sampeyan mau komit mbok nggak usah bikin geger di grup WA lagi. Apa sampeyan nggak capai?" tanya Pak Dimin menyelidik.
"Ngapunten, Pak. Saya kok belum ngerti maksud Bapak?" balas Kang Gudhal.
"Sampeyan itu hidup dari pabrik ini. Lha mbok ya sampeyan itu turut membesarkan nama pabrik kita ini, Kang. Bukan malah bikin ulah yang nggak-nggak di luar sana. Sampean malah jadi bintang iklan untuk produk perusahaan lain."
Kang Gudhal hanya menunduk. Bukan tak punya jawaban, melainkan ia tahu apapun jawaban tidak akan ada gunanya. Penjelasan apapun tidak akan mengubah apapun. Termasuk, asumsi Pak Dimin. Cap sudah melekat pada dirinya. Ia terima saja. Ia rela menjadi contoh buruk bagi seluruh karyawan pabrik kertas tempat ia bekerja.