Pertanyaan Kang Sanip terasa ganjil. Kang Gudhal hanya menjawab, "Sepurane, Kang. Saya malah baru tahu infonya dari njenengan," jawab Kang Gudhal.
"Gini loh, Kang. Ini buat jaga-jaga, siapa tahu anak buah sampeyan terlibat. Tolong anak buah sampeyan diamankan. Jangan sampai mereka kena masalah," jelas Kang Sanip.
"Saya ini cuma  buruh biasa, Kang, mana mungkin punya anak buah," balas Kang Gudhal enteng saja.
"Tapi sampeyan punya pengaruh, Kang. Saya pingin bantu sampeyan. Jangan sampai gara-gara kasus ini sampeyan yang kena," kata Kang Sanip.
"Oh nggih, maturnuwun, Kang. Saya hargai itu. Tapi nyuwun sewu, saya sama sekali tidak tahu, Kang. Saestu," terang Kang Gudhal.
Usai menerima telepon, Kang Gudhal tak habis pikir. Masih saja ada persoalan baru. Ia tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi. Setelah jatah handuk bulanannya tertahan mendadak muncul telepon dari Kang Sanip, orang kepercayaan bos besar. Semuanya muncul dalam waktu yang berurutan. Nyaris bersamaan.
Hari-hari berikutnya, tak ada berita baru. Sepi. Kabar tentang spanduk protes tak mendengung lagi. Entah menggelinding kemana? Pun kabar-kabar lainnya. Itu cukup melegakan hati Kang Gudhal.
Ia bisa merasakan seiris rasa tenang. Soal jatah handuk bulanan, ia lupakan. Selama masih bisa ia gunakan handuk lama yang dengan setia dicuci oleh tangan lembut istrinya, tak jadi soal. Tak peduli apakah tekstur kainnya sudah kasar atau kumal. Yang penting, bisa digunakan untuk mengelap keringat. Titik!
"Pak, apa nggak sebaiknya menemui Pak Wahijun? Minta kejelasan. Handuk Bapak sudah sangat kumal loh," usul Mirah pada suatu malam.
"Ya, besok Bapak coba tanyakan," balas Kang Gudhal ringan saja.
Keesokan hari Kang Gudhal menemui Pak Wahijun. Menanyakan perihal handuk jatah bulanan itu.