Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Handuk Kumal Kang Gudhal

24 Mei 2023   20:15 Diperbarui: 24 Mei 2023   20:11 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Loker (dok.pribadi)

Seiris siang, setelah menghadiri rapat dengan para juragan pabrik, Kang Gudhal teringat satu hal. Ia mesti menemui juragan besar. Itu dilakukan setelah tiga bulan tak mendapatkan handuk jatah bulanan. Ia tak tahu, apa sebabnya. Tetapi, waktu tiga bulan cukup membuatnya terganggu.

Biasanya, handuk itu tersedia di loker saat jelang akhir bulan. Tetapi, tiga bulan lalu, handuk itu tak ditemukan. Yang didapat hanya loker kosong. Awalnya, ia bermungkin-mungkin yang baik. Terlambat atau masih di perjalanan. Mungkin esok baru ada, pikirnya.

Berganti hari, loker itu masih saja kosong. Ia masih berandai-andai, jika handuk-handuk itu mungkin belum terbagikan. Sampai pada saat halaman kalender yang terpasang di dinding rumah telah dibalik, bulan telah berganti, handuk itu masih belum nampak di lokernya. Ia mulai curiga.

Suatu sore, ketika kakinya baru saja menginjak lantai teras rumah mungil, ia sempatkan diri menghubungi dua kawan sekerja. Dikirimkan pesan melalui Whatsapp. Pertanyaan yang diajukan tak jauh beda, apakah mereka sudah menerima handuk itu?

Baca juga: Di Atas Mimbar

Yu Saropah dan Yu Wasniti memberikan jawaban yang sama. Handuk itu mereka terima beberapa hari lalu. Membaca jawaban itu, Kang Gudhal panik. Degup jantungnya terasa seperti sedang bermain lompat tali. Pikirannya melayang-layang seperti plastik kresek yang muncul dari tong sampah dan terbawa angin; keluyuran di jalanan. Ditambah lagi, ia punya masalah dengan aroma keringat yang menusuk hidung. Kalau handuk itu tidak ia dapatkan, ia khawatir aroma keringat yang menguar dari tubuhnya akan membuat kawan sekerja merasa terganggu dan menjauhinya.

"Coba Kang, tanyakan ke Munaroh," saran Yu Wasniti.

Seperti saran Wasniti, esok hari Kang Gudhal menemui Munaroh, petugas pembagi handuk di pabrik kertas tempat ia bekerja. "Mun, apa handuk jatah bulananku sedang diskorsing ya?" tanya Kang Gudhal enteng saja.

Munaroh terkejut. Bukan karena kemunculan Kang Gudhal yang tiba-tiba. Bukan oleh pertanyaan itu. Akan tetapi, cara Kang Gudhal bertanya. Ia duduk di kursi yang dihadapkan ke arah mejanya. Lalu, dengan pandangan yang tenang dan gaya Kang Gudhal yang kucluk menanyakan perkara handuk itu.

Tatapan Kang Gudhal membuat Munaroh tak berkutik. Tak sanggup memandang wajah Kang Gudhal lama-lama.

"Sebentar ya, Kang. Saya tanyakan ke bagian penjatah handuk dulu," jawab Munaroh gugup.

"Ya, Mun. Saya cuma nanya. Sekarang, saya lanjut kerja dulu," balas Kang Gudhal lalu beringsut dari kursi, melanjutkan tugasnya.

Munaroh melongo. Telepon genggam yang masih menempel di telinganya masih membunyikan nada tunggu. Tetapi, Kang Gudhal sudah berlalu dari hadapannya. Seolah-olah Kang Gudhal tak butuh jawaban.

"Halo, Mun," suara dari telepon itu mengusik telinga Munaroh.

"Eh, maaf, Pak," jawab Munaroh gugup. "Anu, Pak. Barusan Kang Gudhal kemari. Dia...."

"Ya, ya... saya sudah tahu. Nanti WA saja dia, seperti yang pernah saya bilang ke sampeyan. Gitu aja, ya?" potong petugas penjatah handuk.

"Baik, Pak," balas Munaroh, lantas ia tutup segera teleponnya.

Malam-malam, ketika Kang Gudhal tengah bercengkerama dengan istri di ruang tamu, sebuah pesan WhatsApp melintas. Terbaca, pada kotak notifikasi, nama pengirim pesan. Kang Gudhal segera membuka pesan itu. Isinya, "Maaf, Kang, tadi saya sudah menanyakan ke Pak Wahijun soal handuk jatah bulanan njenengan. Kata beliau, mulai bulan ini, khusus njenengan diambil langsung ke Pak Wahijun."

Kang Gudhal tersenyum. Ia balas, "Maturnuwun ya, Mun."

Kang Gudhal tahu, ini pasti ada sesuatu. Tetapi, apa? Ia tak tahu.

"Ada masalah lagi?" tanya istri Kang Gudhal.

"Mbuh," jawab Kang Gudhal singkat dengan suara rendahnya.

"Lha itu?" istri Kang Gudhal menunjuk telepon genggam yang dipegangnya.

"Bune kan tahu sendiri," tukas Kang Gudhal.

"Sabar ya, Pak."

Kang Gudhal hanya menghela napas.

"Terus, apa rencana Bapak?"

Kang Gudhal tak lekas menjawab. Di benaknya masih berkecamuk berbagai persoalan yang menimpanya. Ia sama sekali tak mengerti mengapa selalu dirinya yang menjadi sasaran masalah.

"Entahlah, Bune. Bapak sudah malas ngadepi yang begini," celatuk Kang Gudhal.

Dua minggu berlalu, sebuah pesan gambar diterima lewat WhatsApp. Gambar-gambar itu memperlihatkan pemandangan yang kotor. Beberapa lembar spanduk terpasang di pagar dan pintu gerbang pabrik, di dekat pos satpam. Spanduk-spanduk bernada protes, menuntut juragan besar turun dari jabatannya.

Tak lama, telepon genggamnya berdering. Sebuah nama tampil pada layar, Kang Sanip. Diangkatlah telepon itu.

"Kang, sudah lihat gambar yang kukirim?" tanya Kang Sanip.

"Sudah."

"Sampeyan tahu siapa pelakunya?"

Pertanyaan Kang Sanip terasa ganjil. Kang Gudhal hanya menjawab, "Sepurane, Kang. Saya malah baru tahu infonya dari njenengan," jawab Kang Gudhal.

"Gini loh, Kang. Ini buat jaga-jaga, siapa tahu anak buah sampeyan terlibat. Tolong anak buah sampeyan diamankan. Jangan sampai mereka kena masalah," jelas Kang Sanip.

"Saya ini cuma  buruh biasa, Kang, mana mungkin punya anak buah," balas Kang Gudhal enteng saja.

"Tapi sampeyan punya pengaruh, Kang. Saya pingin bantu sampeyan. Jangan sampai gara-gara kasus ini sampeyan yang kena," kata Kang Sanip.

"Oh nggih, maturnuwun, Kang. Saya hargai itu. Tapi nyuwun sewu, saya sama sekali tidak tahu, Kang. Saestu," terang Kang Gudhal.

Usai menerima telepon, Kang Gudhal tak habis pikir. Masih saja ada persoalan baru. Ia tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi. Setelah jatah handuk bulanannya tertahan mendadak muncul telepon dari Kang Sanip, orang kepercayaan bos besar. Semuanya muncul dalam waktu yang berurutan. Nyaris bersamaan.

Hari-hari berikutnya, tak ada berita baru. Sepi. Kabar tentang spanduk protes tak mendengung lagi. Entah menggelinding kemana? Pun kabar-kabar lainnya. Itu cukup melegakan hati Kang Gudhal.

Ia bisa merasakan seiris rasa tenang. Soal jatah handuk bulanan, ia lupakan. Selama masih bisa ia gunakan handuk lama yang dengan setia dicuci oleh tangan lembut istrinya, tak jadi soal. Tak peduli apakah tekstur kainnya sudah kasar atau kumal. Yang penting, bisa digunakan untuk mengelap keringat. Titik!

"Pak, apa nggak sebaiknya menemui Pak Wahijun? Minta kejelasan. Handuk Bapak sudah sangat kumal loh," usul Mirah pada suatu malam.

"Ya, besok Bapak coba tanyakan," balas Kang Gudhal ringan saja.

Keesokan hari Kang Gudhal menemui Pak Wahijun. Menanyakan perihal handuk jatah bulanan itu.

"Sampeyan diminta menemui juragan besar, Kang," begitu jawab Pak Wahijun ketika ditemui di ruangannya.

"Oh gitu. Nggih pun maturnuwun, Pak," balas Kang Gudhal sambil memohon diri dari hadapan Pak Wahijun.

Meski sudah mendapat jawaban, Kang Gudhal rupanya masih saja bandel. Ia tak segera memenuhi panggilan juragan besar. Malah kembali ke ruang kerjanya. Sambil menyelesaikan tugas-tugas yang mesti dirapikan, ia mencari selembar surat. Siapa tahu ada surat dari juragan besar yang terlayang padanya. Nyatanya? Tak ada. Alhasil, ia enggan menemui juragan besar, karena tak ada selembar surat pun.

Baginya, jika memang ada masalah yang perlu dibicarakan tentu ada surat. Jika tidak, lalu masalah apa sebenarnya? Ia tak mau pusing memikirkannya.

Bulan ketiga, terhitung sejak hari tak menerima handuk itu, ia menemui juragan besar, Pak Dimin. Selepas mengikuti rapat dengan para juragan, di ruang rapat lantai dua, ia tak langsung turun. Beberapa kawan sejawat juga masih tampak menunggu giliran menumpang lift di ruang lobi.

Pintu ruang kerja Pak Dimin masih mengatup. Kang Gudhal tak mengetuknya. Ia hanya bersandar pada meja resepsionis yang letaknya tepat di hadapan pintu ruangan Pak Dimin. Tak perlu lama menunggu, tebakan Kang Gudhal tepat, daun pintu itu bergerak dan terbuka. Muncullah Pak Dimin dari dalam ruangan. Melihat Kang Gudhal yang tengah berdiri bersandar di meja resepsionis, Pak Dimin lekas memintanya masuk.

"Kang Gudhal. Mari sini, masuk," sambut Pak Dimin.

Kang Gudhal mengikuti langkah Pak Dimin yang berjalan agak cepat.

"Silakan duduk," kata Pak Dimin.

Kang Gudhal menurut saja.

"Sampeyan sudah ngambil handuknya?" tanya Pak Dimin.

"Belum, Pak," jawab Kang Gudhal singkat.

"Sudah diberitahu mengapa ditahan?"

"Belum, Pak," jawab Kang Gudhal lagi.

"Oh iya, itu memang sengaja saya lakukan. Tetapi, saya juga tahu itu menyalahi aturan. Tanpa handuk itu, kerja sampeyan akan terganggu. Karena kondisi kertas mesti kering dan tidak boleh kena setetes pun keringat. Tetapi, saya beritahu kamu, kenapa itu saya lakukan," ucap Pak Dirut sambil menata kata-kata.

Kang Gudhal diam, memperhatikan.

"Saya itu punya satu pertanyaan, sampeyan saya minta komit di sini. Bisa?"

"Insyaallah bisa, Pak."

"Nah, kalau memang sampeyan mau komit mbok nggak usah bikin geger di grup WA lagi. Apa sampeyan nggak capai?" tanya Pak Dimin menyelidik.

"Ngapunten, Pak. Saya kok belum ngerti maksud Bapak?" balas Kang Gudhal.

"Sampeyan itu hidup dari pabrik ini. Lha mbok ya sampeyan itu turut membesarkan nama pabrik kita ini, Kang. Bukan malah bikin ulah yang nggak-nggak di luar sana. Sampean malah jadi bintang iklan untuk produk perusahaan lain."

Kang Gudhal hanya menunduk. Bukan tak punya jawaban, melainkan ia tahu apapun jawaban tidak akan ada gunanya. Penjelasan apapun tidak akan mengubah apapun. Termasuk, asumsi Pak Dimin. Cap sudah melekat pada dirinya. Ia terima saja. Ia rela menjadi contoh buruk bagi seluruh karyawan pabrik kertas tempat ia bekerja.

"Nggih, Pak. Saya akan istikamah," jawab Kang Gudhal memungkasi pertemuan singkat itu.

Keluar dari ruangan, Kang Gudhal menuju ruangan Pak Wahijun. Kasturi, anak buah Pak Wahijun, menyambutnya dengan senyuman. Empat lembar handuk diterima. Dengan senang hati, ia bawa pulang.

Di perjalanan, ada yang mengganjal pikiran. Kang Gudhal bertanya-tanya, apa maksud kata istikamah tadi. Bukankah sudah belasan tahun ia bekerja? Apakah itu tak cukup?

Motor butut keluaran tahun 2009 itu melaju dalam kecepatan sedang di antara jalanan yang berdesak-desak oleh ramai kendaraan. Kata-kata Pak Dimin masih mengiang di telinga. Dalam hati, Kang Gudhal berkata, "Saya tahu, terlalu banyak catatan merah saya di sini. Dan, tak ada keinginan saya untuk menghapusnya. Karena saya tahu, lebih banyak orang terhibur dengan catatan merah itu. Maka, saya hibur mereka."

Pekalongan, Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun