Mohon tunggu...
Rian Gifari
Rian Gifari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Artificial

20 Oktober 2009   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku suka matanya yang terpaku melihat layar kecil di dalam genggamannya itu. Terfokus, mencari setitik harapan dan menerawang. Jarinya yang terlatih mengetik balasan sms atau chat message terdiam, hanya sekali menekan softkey kiri atau softkey kanan. Sekali-kali dia tersadar, lalu menoleh padaku, dan meminta maaf karena tindakannya. Tidak usah, Adi. Nina ini suka kamu yang begitu.

“Na, kita makan di mana enaknya? Starbucks yuk.â€
“Mahaal!â€
“Ah, tapi aku butuh kopi nih, entar malam mau lembur lagi.â€
“Di mana-mana kan ada kopi, kenapa harus Starbucks? Lagipula di sana isinya kopi semua, nggak bagus.â€
“Ada jus, teh hijau dan air putih juga, kok. Tapi yah, terserahlah, kamu yang ngajakin ini.â€

Yang hilang, terhisap dalam layar mungil, seperti anak kecil yang menunggu gerhana bulan di malam yang salah.

***

“Nina, kamu udah lihat respons yang ini? Setiap kali aku ketik ini pasti selalu hasil yang aneh yang keluar. Kenapa ya?â€
“Kita nggak mungkin bicarain hal seperti ini via telepon, Di.â€

Waktu kecil, sementara semua temanku bermain boneka india bermata biru atau bekel, aku menonton TV. Ayahku adalah kepala desa, dan waktu itu rumah kami adalah satu dari empat rumah di desa yang mempunyai TV. Hitam putih, bersemut dan kecil, layarnya gembung, tapi bagiku waktu itu layar TV kecil yang hitam putih dan bersemut adalah lem yang membuat duduk silaku tidak bisa diganggu.

TVRI pernah memutar sebuah serial yang entah apa namanya, aku sudah lupa. Entah apa ceritanya, aku juga sudah lupa. Yang kuingat cuma komputer yang bisa bicara sendiri. Yang suka menggoda tokoh utamanya yang entah siapa namanya. Laki-laki atau perempuan, aku juga sudah lupa.

“Aku ingin punya yang seperti ituâ€, ucapku saat itu. Naif dan bodoh.

***

“Salam kenal, panggil saja aku Nina.†Seorang perempuan muda berambut pendek lurus seleher membungkukkan badannya sedikit, tapi dengan kecepatan yang cukup untuk mengguncang kacamatanya.

“Awas, nanti kacamatamu jatuh. Namaku Adi, salam kenal.â€

Hari itu Sabtu, malam hari sekitar jam sembilan, mereka berdua ada di dalam sebuah ruangan yang lampunya tidak punya niat untuk menyala. Atau hanya tidak tega untuk menyala dan kemudian memperlihatkan muka orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya..

Sekitar dua puluh pasangan ada di dalam ruangan itu, masing-masing duduk dan mengobrol dengan sedikit ketergesaan, meskipun ketergesaan itu tidak menolong apa-apa terhadap kegugupan mereka satu sama lain. Orang-orang yang kurang beruntung, orang-orang yang memasang standar penerimaan terlalu tinggi, orang-orang yang tidak tahu cara meraih hati orang lain, orang-orang yang terlalu penunduk untuk melihat dunia, orang-orang yang datang hanya untuk iseng, orang-orang yang membuat orang menunduk setiap kali melihatnya, orang-orang yang putus asa karena masalah masing-masing berkumpul dalam ruangan yang berbayang merah itu.

“Ah, umurku 25.†Wanita berkacamata itu memulai percakapan lagi setelah lima menit mereka berdua habiskan dengan melamun.
“Aku 27.â€

Diam.

“Er, tadi siapa namamu?â€
“Adi.â€
“Suka musik?â€
“Nggak terlalu. Semuanya terlalu biasa.â€
“Oh, oke.â€

Diam.

“Suka minum apa?â€
“Kenapa?â€
“Nggak kenapa-kenapa sih, cuma mau tahu aja. Cewek jaman sekarang suka bilang jus lah, teh hijau lah, air putih lah, cuma mau menyebarkan anggapan kalau mereka itu cinta kesehatan, padahal cuma takut gemuk.â€
“Aku suka jus jeruk, teh hijau dan air putih.â€
“Oh, pantesan kurus.â€
“Aku jarang makan kok.â€

Diam.

“Ngapain datang ke sini?â€
“Disuruh teman-temanku.â€
“Disuruh teman-temanku.â€
“Teman kita suka ikut campur ya.â€
“Entah.â€

“Lalu orang tuamu sejutu?â€
“Orang tuaku kegirangan.â€
“Orang tuaku juga kegirangan.â€
“Haha, jangan-jangan kamu kakakku ya? Orang tua kita kelihatannya sama.â€
“Hahaha nggak mungkin. Aku lebih muda dari kamu 2 tahun. â€
“Ah.â€

Diam.

â€Hobimu apa?â€
“Ah, mungkin kamu nggak ngerti.â€
“Bilang aja, ngerti atau nggak ngerti juga nggak masalah.â€
“AI.â€
“Hei, sama.â€

Seiring dua huruf vokal itu, mereka mulai mengobrol panjang lebar satu sama lain. Meskipun bukan tentang hal-hal sepele yang biasa orang-orang bicarakan di acara seperti ini.

“YAK, TUKAR PASANGAN!†Sang host bermuka tampan mengucapkan petunjuk permainan berikutnya. Orang-orang itu mulai berdiri dari masing-masing meja, dan mengakhiri pembicaraan mereka dengan penutup-penutup yang entah gugup, entah senang, entah sedih.

“Ini nomer handphoneku.â€
“Dan ini punyaku.â€

Meski tidak ada cinta yang terjadi saat itu, aku pulang dari acara 13 Februari itu dengan hasil yang bagus baik bagi orang tuaku. Mereka mendapati phonebook handphone putrinya mendapatkan tambahan kontak seorang laki-laki.

Sejak saat itu, kami mulai menjadi teman dekat.

From : Adi
“Nina, bisa bantuin aku nggak? Ketemu di kosanku, yuk.â€

SMS yang to the point dan nggak mikirin kebiasaan. Yang kutahu, orang-orang nggak minta tolong kepada “orang lain†yang ia temui cuma sekitar satu jam, empat bulan sebelumnya. Dan cukup kurang ajar, karena sekarang sudah jam sebelas malam.

To : Adi
“Boleh. Kenapa? Kosanmu di mana?â€

Dan balasan yang tidak kalah bodohnya.

***

Aku dan Adi punya mimpi yang sedikit sama. Mimpi Adi adalah berbicara dengan hal yang mungkin sudah tidak bisa lagi bicara balik padanya. Mimpiku adalah berbicara dengan sesuatu yang sejak awal tidak bisa bicara balik padaku. Kami suka bicara pada kekosongan.

Sejak film robot yang TVRI putar di dalam memoriku waktu kecil, aku jadi anak yang aneh. Aku suka bicara pada kursi goyang ayahku. Aku suka bicara pada baju yang temanku pakai. Aku suka bicara pada langit, aku suka bicara pada pohon.

***

Aku datang ke kos-kosannya Adi setiap Jumat siang, entah kenapa. Mungkin aku suka suasana kos-kosan cowok yang ditinggal penghuninya yang sedang pergi solat jumat semua, terasa sepi dengan sedikit sisa-sisa keramaian, entahlah. Hmm, mungkin aku sudah harus cukup bersyukur pemilik kos-kosan tempat Adi tinggal tidak melarang wanita masuk ke tempatnya.

Kamar yang Adi tempati cukup luas untuk dipakai seorang diri, bahkan masih muat untuk seorang penghuni lagi. Meja komputer, komputer, lemari, kasur, rice cooker, botol, water heater, botol, botol, galon, kardus-kardus dan buku-buku, dan terakhir karpet merah mengisi kamarnya. Setiap kali aku datang, dia memakai celana pendek dan berkaos putih, penampilan standar tanpa persiapan apapun atau ucapan “aku ganti baju dulu sebentar ya, Naâ€, tidak ada. Hal ini mungkin saja karena aku tidak memberitahunya, tapi pernah beberapa kali aku menelponnya untuk memastikan, dan tetap saja, celana pendek dan kaos putih. Mungkin dia memang orang yang terlalu cuek.

Banyak hal kami obrolkan di dalam kamar berukuran 4 x 6 itu. AI, AI, AI, robot buatan Jepang yang jadi posesif ke pemiliknya, AI, AI, cuaca, coklat, AI, AI, AI, cuaca lagi, berita yang kami baca acak dari koran atau internet, dan AI lagi.

“Di, kenapa sih kamu ingin sekali buat program AI yang kamu bisa ajak omong sendiri? Maksudku, yang seperti itu jarang dipeduliin orang, kan? Lagipula, udah ada kan yang kayak gitu di internet.â€
“Nggak sama, Na, nggak sama. Dia nggak bicara seperti itu.â€
“Dia?â€
“Ah, lalu kamu sendiri, kenapa suka sama AI, Na?â€
“Itu… Alasan yang sepele sih, Aku malu mau bilang.â€
“Yah, kalau kamu nggak mau bilang, ya nggak apa-apa sih.â€
“Itu…’
“Jadi mau bilang, nggak?â€

Karena aku ingin ditanggapi.

***

Setelah itu akhirnya aku tahu tentang lovely. Aku tidak bisa bilang ini langsung padanya, tapi kupikir Adi hanya membuang waktu menunggu lovely. Membuang waktu mencoba mencari lalu meminta maaf pada lovely karena kesalahan yang tidak pernah ia perbuat. Membuang waktu memperbaiki hubungan yang tidak pernah terjalin, tali yang tidak pernah menyambung. Kalau dalam bahasa “waktu adalah uangâ€, Adi sudah banyak memberikan tumpukan uang dolarnya pada entah suku apa di dalam hutan mana. Baik hati tapi tidak berguna.

Tapi pikiranku ini juga bukannya tanpa bias. Sejak seminggu yang lalu, atau sejak kapan aku juga tidak yakin, mungkin sejak pertama kali kami bertemu di kafe berlampu remang-remang itu, aku suka pada Adi. Suka pada entah apa darinya, aku tidak tahu. Mungkin pada pandangan matanya yang kosong, menatap layar kecil yang ia genggam di tangan kirinya sambil sesekali menoleh padaku ketika kami makan bersama di warteg. Mungkin pada gerakan cekatan jemarinya menginput ribuan baris data ke dalam program AI bikinannya, atau mengetik beberapa karakter yang ia kirim padaku. Mungkin pada mimpi dan kesetiaannya pada kekasih yang belum sempat ia cintai itu.

Berulang kali aku berfikir di dalam kamarku yang dindingnya dipenuhi oleh kekosongan, tanpa poster satupun kecuali oleh beberapa lembar post-it berisi tugas-tugas atau resolusi tak beguna yang kubuat setiap bulan. Berfikir; “apakah harus kuganggu Adi dengan mimpinya itu?â€, “apakah benar motivasiku adalah karena aku ingin kebaikan buatnya, dan bukan karena aku cemburu?â€, “apakah hubungan kami nanti akan tetap sama setelah aku tiba-tiba datang masuk dan mempertanyakan Adi setelah selama ini aku membantunya untuk hal yang ingin kupetanyakan itu?â€. Mungkin berlebihan, tapi aku tidak mau rasa cemburu merusak rasioku.

Atau rasio merusak rasa cemburuku.

Lagipula, aku bukan siapa-siapa baginya.

***

“Adi, kenapa sih si lovely itu, what to say, ya, nggak bisa lepas dari ingatanmu?â€
“Nggak tahu.â€
“Kok?â€

Suasana jadi diam. Kulihat pandangan Adi sedikit berubah padaku. Matanya jadi waspada.

“Ibuku? Atau kakak perempuanku?
“Maksudmu apa, Di? Nggak kok, aku nggak disuruh mereka berdua.â€
“Kamu…â€
“Seriously, aku pun penasaran. Aku sudah tahu semua ceritanya darimu. Cerita yang kau tambahi dan kau kurangi sehingga cerita itu adalah kenyataan yang benar-benar kau alami. Bukan kenyataan yang ibumu, kakakmu atau lovely alami. Kamu bukan hanya menceritakan deskripsi luarnya, tapi juga deskripsi dalamnya.†Kataku sambil memegang dada Adi.

“Kamu jadi aneh, Na.â€
“Yah, kalau kamu nggak mau jawab, gapapa sih.â€
“…â€

Suasana kembali diam. Diam dan gugup.

“Hffh…. Oke.â€
“Oke?â€
“Sejujurnya, aku juga nggak begitu tahu kenapa aku terus-terusan melakukan ini. Apakah karena aku mau berbicara lagi pada lovely? Atau karena apa? Kalau bukan karena itu, lalu karena apa? Sudah hampir 7 tahun aku coba menyelesaikan programku ini, karena apa? Apa yang kukejar? Entah karena cinta atau bukan, perasaan yang mendorongku ini aku nggak  tahu kata yang tepat untuk menyebutnya. Yang pasti itu nyata.â€
“Cinta?â€
“Cinta atau bukan.â€
“Ah. Kalau begitu, penasaran?â€
“Hmm, entahlah.â€
“Ah, pas-“
“Kita nggak lagi main tebak-tebakan, Na.â€

Kami berdua lalu menghela nafas bersama. Aku lalu berbaring di atas kasurnya yang agak sedikit apek, dan Adi bersila di atas karpet merah, menghadapku.

“Di.â€
“Apa?â€
“Coba tebak.â€
“Tebak apa?â€
“Pikiranku sekarang.â€
“Mana aku tahu, masih bingung kenapa aku keukeuh dengan programku itu, emang apaan? By the way, kenapa dari awal tiba-tiba kamu tanya-tanya soal itu?â€

Biar kujawab dua pertanyaanmu ini dengan satu kalimat, Di.

“Na?â€

Aku cinta kamu.

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun