Aku suka matanya yang terpaku melihat layar kecil di dalam genggamannya itu. Terfokus, mencari setitik harapan dan menerawang. Jarinya yang terlatih mengetik balasan sms atau chat message terdiam, hanya sekali menekan softkey kiri atau softkey kanan. Sekali-kali dia tersadar, lalu menoleh padaku, dan meminta maaf karena tindakannya. Tidak usah, Adi. Nina ini suka kamu yang begitu.
“Na, kita makan di mana enaknya? Starbucks yuk.â€
“Mahaal!â€
“Ah, tapi aku butuh kopi nih, entar malam mau lembur lagi.â€
“Di mana-mana kan ada kopi, kenapa harus Starbucks? Lagipula di sana isinya kopi semua, nggak bagus.â€
“Ada jus, teh hijau dan air putih juga, kok. Tapi yah, terserahlah, kamu yang ngajakin ini.â€
Yang hilang, terhisap dalam layar mungil, seperti anak kecil yang menunggu gerhana bulan di malam yang salah.
***
“Nina, kamu udah lihat respons yang ini? Setiap kali aku ketik ini pasti selalu hasil yang aneh yang keluar. Kenapa ya?â€
“Kita nggak mungkin bicarain hal seperti ini via telepon, Di.â€
Waktu kecil, sementara semua temanku bermain boneka india bermata biru atau bekel, aku menonton TV. Ayahku adalah kepala desa, dan waktu itu rumah kami adalah satu dari empat rumah di desa yang mempunyai TV. Hitam putih, bersemut dan kecil, layarnya gembung, tapi bagiku waktu itu layar TV kecil yang hitam putih dan bersemut adalah lem yang membuat duduk silaku tidak bisa diganggu.
TVRI pernah memutar sebuah serial yang entah apa namanya, aku sudah lupa. Entah apa ceritanya, aku juga sudah lupa. Yang kuingat cuma komputer yang bisa bicara sendiri. Yang suka menggoda tokoh utamanya yang entah siapa namanya. Laki-laki atau perempuan, aku juga sudah lupa.
“Aku ingin punya yang seperti ituâ€, ucapku saat itu. Naif dan bodoh.
***
“Salam kenal, panggil saja aku Nina.†Seorang perempuan muda berambut pendek lurus seleher membungkukkan badannya sedikit, tapi dengan kecepatan yang cukup untuk mengguncang kacamatanya.
“Awas, nanti kacamatamu jatuh. Namaku Adi, salam kenal.â€