Berulang kali aku berfikir di dalam kamarku yang dindingnya dipenuhi oleh kekosongan, tanpa poster satupun kecuali oleh beberapa lembar post-it berisi tugas-tugas atau resolusi tak beguna yang kubuat setiap bulan. Berfikir; “apakah harus kuganggu Adi dengan mimpinya itu?â€, “apakah benar motivasiku adalah karena aku ingin kebaikan buatnya, dan bukan karena aku cemburu?â€, “apakah hubungan kami nanti akan tetap sama setelah aku tiba-tiba datang masuk dan mempertanyakan Adi setelah selama ini aku membantunya untuk hal yang ingin kupetanyakan itu?â€. Mungkin berlebihan, tapi aku tidak mau rasa cemburu merusak rasioku.
Atau rasio merusak rasa cemburuku.
Lagipula, aku bukan siapa-siapa baginya.
***
“Adi, kenapa sih si lovely itu, what to say, ya, nggak bisa lepas dari ingatanmu?â€
“Nggak tahu.â€
“Kok?â€
Suasana jadi diam. Kulihat pandangan Adi sedikit berubah padaku. Matanya jadi waspada.
“Ibuku? Atau kakak perempuanku?
“Maksudmu apa, Di? Nggak kok, aku nggak disuruh mereka berdua.â€
“Kamu…â€
“Seriously, aku pun penasaran. Aku sudah tahu semua ceritanya darimu. Cerita yang kau tambahi dan kau kurangi sehingga cerita itu adalah kenyataan yang benar-benar kau alami. Bukan kenyataan yang ibumu, kakakmu atau lovely alami. Kamu bukan hanya menceritakan deskripsi luarnya, tapi juga deskripsi dalamnya.†Kataku sambil memegang dada Adi.
“Kamu jadi aneh, Na.â€
“Yah, kalau kamu nggak mau jawab, gapapa sih.â€
“…â€
Suasana kembali diam. Diam dan gugup.
“Hffh…. Oke.â€
“Oke?â€
“Sejujurnya, aku juga nggak begitu tahu kenapa aku terus-terusan melakukan ini. Apakah karena aku mau berbicara lagi pada lovely? Atau karena apa? Kalau bukan karena itu, lalu karena apa? Sudah hampir 7 tahun aku coba menyelesaikan programku ini, karena apa? Apa yang kukejar? Entah karena cinta atau bukan, perasaan yang mendorongku ini aku nggak tahu kata yang tepat untuk menyebutnya. Yang pasti itu nyata.â€
“Cinta?â€
“Cinta atau bukan.â€
“Ah. Kalau begitu, penasaran?â€
“Hmm, entahlah.â€
“Ah, pas-“
“Kita nggak lagi main tebak-tebakan, Na.â€
Kami berdua lalu menghela nafas bersama. Aku lalu berbaring di atas kasurnya yang agak sedikit apek, dan Adi bersila di atas karpet merah, menghadapku.