Malam itu, lampu di ruang tamu rumah Andra mulai berpendar redup. Lampu itu seperti kehilangan kekuatannya untuk menerangi. Sebenarnya bukan lampu itu yang bermasalah.
Dia yang mulai merasa ada yang tidak beres. Sejak beberapa minggu terakhir ini dia kerap meragukan dirinya sendiri. Seperti apakah tadi pagi dia benar-benar meletakkan kunci di atas meja ruang tamu?
Atau mungkin dia memang terlalu pelupa sekarang karena tak bekerja lagi, seperti yang selalu dikatakan oleh Raka, suaminya.
"Kenapa sih kamu selalu berantakan begini Andra?" Suara Raka terdengar dari balik pintu kamar. "Aku sudah bilang kuncinya di meja dapur, kamu aja yang nggak dengar."
Andra terdiam. Ia memutar bola matanya. Dia yakin betul kunci itu tadi dia taruh di meja ruang tamu. Tapi sekarang, setelah mendengar nada suara Raka yang mulai meninggi dan menghakimi, keyakinannya mulai goyah.
Mungkin memang dia yang salah. Mungkin dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga sering lupa hal-hal kecil.
"Kamu harus lebih fokus, Ndra. Lihat, sampai sekarang kamu nggak bisa ngurus rumah dengan benar," Raka melanjutkan dengan nada yang lebih dingin.
Andra hanya bisa menunduk. Kata-kata itu seperti bayangan gelap yang selalu membuntutinya. Seiring waktu, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Raka terasa seperti duri kecil yang menancap perlahan ke dalam dirinya.
Rasa itu menumpulkan rasa percaya dirinya. Dia mulai percaya bahwa dia memang payah, tak bisa diandalkan, dan tak layak mendapat apresiasi dari suaminya.