Waktu sudah menunjukkan pukul 02 dini hari ketika aku dibangunkan suami. "Bun! Kita makan dulu." Beliau menepuk tanganku lembut.
"Pa saja yang makan. Kami dan Lila nunggu di mobil saja." Igauku belum puas tidur.
"Ini Kuliner Sate yang kita cari pagi-pagi dulu lo, Bun!" Bujuk suamiku.
"Ha, sate. " Akupun ingat sepanjang jalan Pekanbaru Payakumbuh, memang banyak sate. Kuliner ini buka sore hingga pagi. Sedang waktu itu kami coba telusuri pagi. Tak ada satupun yang buka.
Dengan mata berat, aku melihat si bungsu Lila sudah berdiri di samping Papanya. Akupun menggodanya, "Dek! Gendoooong!" Ujarku manja.
"Nggak ku ku, Bun!" Katanya meledekku. Iya mana pula dia kuku. Beratku jauh di atas beratnya yang hanya 35 kg.
Si dedek memang memanggilku Bunda dan suami dipanggil Papa. Begitu pula dua abangnya, nyaman memanggilku Mama, tapi suami dipanggil Ayah. Anak Gen Z dan Alpha memang begitu deh.
Akhirnya mobil kami berhenti di depan sebuah warung luas kuliner sate. Nyaris tak terlihat di balik gelap jalan dan malam. Ketika suamiku belok kanan, warung dengan parkiran luas itu pun terpampang. Tulisan Sate D....D pun terlihatnya.
Di sana, tulisan sederhana dengan cat merah menyala seperti saat dua tahun lalu aku dan teman-teman sekolah mampir di sini: "Sate D......-D......."Begitu deh tulisannya. (Nanti DD-nya cari sendiri ya. Ntar aku dibilang mimin iklan lagi. He he he! Nggak jadi AU deh tulisanku.
Perut yang kosong seakan berteriak mencium bau khas kuliner ini. Perut yang sedianya tenang, meminta diisi. Aroma daging yang dibakar di atas arang tipis tercium meski dari dalam mobil. Aroma ini seolah mengundang untuk masuk. Meski lelah dan mata berat, bau gurih itu menyegarkan kembali indraku yang nyaris mati rasa.
Aku memegang tangan si dedek. Kami turun, melangkah perlahan menuju warung yang tetap hidup di kala malam terlelap. Di bawah langit yang pekat, kehangatan bara api dan janji kelezatan sate di malam hari menjadi penyelamat perjalanan yang seolah tak berujung ini.