Perjalanan dari Pekanbaru menuju Padang Panjang terasa panjang malam ini. Udara semakin dingin dan kegelapan meliputi jalan tol Pekanbaru Bangkinang. Sepanjang jalan tol ini aku mengedit kembali tulisanku berjudul "Ingin Tetap Dihargai Siswa Meski Usia Bertambah."
Aku terinspirasi menulis itu setelah menjenguk Nenek Lila, Ibu mertua adikku. Usianya belumlah terlalu tua, baru 57 tahun. Namun karena penyakit yang menggerogot beliau lebih kurang 3 tahun ini, beliau terlihat sudah berumur.
Syukurlah dua anak beliau, Adik Iparku dan Abangnya sangat menghargai Ibu. Mereka merawat beliau dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat memuliakan Ibu.
Sebelum pergi ke rumah Pak Acikku (Adek Ayahku) yang juga sakit, aku berpesan, "Hargai dan sayangi Ibu ya, Dek. Biarlah kita merawat Ibu yang sakit daripada tak punya Ibu."
Ya, aku merasakan sakitnya tak punya Ayah dan Ibu sejak 3 tahun lalu. Namun, berbanding terbalik dengan yang kulihat di rumah Pak Acikku. Adik-adikku semua sibuk. Ada 6 anak perempuan Pak Acik. Mereka semua sibuk. Tinggallah Pak Acik dan si bontot saja di rumah. Si bontot baru berusia 13 tahun.
Pak Acik pun curhat bahwa beliau sering sendiri di rumah. Anak-anak beliau lebih betah lembur di tempat mereka bekerja hingga pukul 03.00 dini hari.Â
Kadang atau lebih sering, adik bontot mereka dibawa serta ke tempat kerja. Akibat situasi ini, pikiran Pak Acik tak tenang. Akibatnya beliau sakit mag, tensi tinggi, kolesterol, dan asam urat.
Aku hanya bisa memberi usul untuk mencari kerja. Tak usah kerja berat-berat. Tapi katanya cari kerja untuk seumuran beliau yang sudah kepala 6 susah.
Habis tol, tulisanku pun selesai. Aku posting di Kompasiana. Dari tol Pekanbaru Bangkinang ini,  jalan  yang kami lewati mulai berkelok-kelok. Beberapa ruas jalan macet karena buka tutup akibat jalan terban dan jembatan hanyut. Untung tulisanku sudah ditayangkan meski belum sempurna kuedit. Besok saja sesampai di rumah disempurnakan pengeditannya.