Sulitnya ketersediaan modal, lahan pertanian, dan lapangan pekerjaan menjadi pemicu resesi seks di dunia. Tekanan ekonomi merata saat ini di mana saja.
Harga melonjak sedang pendapatan tetap. Bahan pangan langka juga memicu harga meroket. Rupiah pun mengalami penurunan nilai. Hal ini terjadi karena banyaknya bencana alam, menurunnya nilai mata uang, covid-19, dan hasil pertanian  tak memadai.
Selain itu, tingkat kecemasan yang tinggi, kelemahaan psikologis, penggunaan antidepresan yang meluas pun berkontribusi dalam menciptakan resesi seks.
Televisi streaming, faktor lingkungan, penurunan testosteron, porno digital , maraknya vibrator, aplikasi kecan on line, smartphone, adanya informasi yang berlebihan, serta mulai munculnya orientasi seksual yang beragam semakin memvalidasi resesi seks itu.
Banyak orang memprioritaskan sekolah atau pekerjaan saat ini daripada masalah cinta dan seks. Ini setidaknya untuk sementara waktu dan mereka sangat selektif dalam memilih pasangan hidup.Â
Bagaimana Cara Menyikapi munculnya resesi seks ini?
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menjelaskan, bahwa resesi seks dapat terjadi apabila generasi muda saat ini dan akan datang memilih hidup sendiri karena ia tak dibebani tanggung jawab kepada pasangan dan anak.
Keengganan generasi untuk menikah dikatakan Drajat juga terlihat dalam riset tentang perempuan otonom. Perempuan 26-30 tahun yang diwawancara memilih  tak menikah karena mengutamakan profesi, melanjutkan studi, ingin mengatur ekonomi, dan hidupnya sendiri.
Jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu. Mereka tak mau terlibat dalam pertengkaran keluarga, KDRT. Konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.
Adapun Cara Menyikapi
Pertama, Layanan perawatan ibu hamil dan melahirkan harus kondusif dan lebih baik. Misalnya medis gratis terutama untuk daerah resesi.