Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resesi Seks akankah Melanda Indonesia? Bagaimana Menyikapi

21 Desember 2022   22:23 Diperbarui: 21 Desember 2022   22:26 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kenyamanan ibu anak guna menyikapi resesi seks: hallo.dokter.com IMG-20221012-WA0004

Ketika disuguhi topik Resesi Seks membuat saya merinding. Sebab membicarakan seks secara terbuka masih tabu. Ketika mendengar dan membaca kata seks, imej sudah melayang ke mana-mana.

Ternyata resesi seks bukanlah persolan pornografi, bukan pula tentang seks bebas, alalagi penyimpangan seks seperti lesbian, homo, dan seks bebas lainnya.

Korea Selatan sudah lama disinyalir mengalami kondisi resesi seks. Hal ini memicu negara tersebut akan mengalami krisis demografis pada tahun emas 2045 kelak lantaran banyak wanita yang berhenti melahirkan di sana.

Resesi seks apa sih? Kok segitu santer pengaruhnya di Korsel? Apa hubungannya dengan demografis? Yuk, kita pelajari sau-satu.

Resesi seks merupakan  keengganan seseorang atau pasangan untuk memiliki anak atau keturunan. Misalnya, dua sejoli menikah tetapi komit tak memiliki anak. Hidup berdua saja.

Di Indonesia pun trend pola hidup ini mulai tercipta sendiri. Penyebabnya banyak. Seperti sejumlah kota atau kabupaten yang ada mulai mencatat adanya "zero growth atau nol kelahiran baru.”

Resesi seks dapat juga ditandai sebagai fenomena keengganan pasangan muda untuk memiliki anak. Bisa jadi malas memomong, mengasuh, dan membesadkan. Mereka beranggapan bayi menggangu aktivitas.

'Resesi seks' ini bahkan mulai menghantui negara-negara besar di dunia, mulai dari China hingga Amerika Serikat. Begitu juga Indonesia untuk daerah perkotaan mulai berpotensi mengalami resesi seks.

Secara alami meniru resesi seks seperti yang terjadi di China, Jepang, dan Korea Selatan. Dalam beberapa tahun belakangan ini.

Indonesia dikatakan memiliki potensi resesi seks apabila kita melihat sejumlah tanda-tandanya. Gejala resesi seks di negara kita, terlihat dari usia pernikahan penduduk semakin tinggi saja.

25 tahun ke atas. Mereka enjoy saja sudah berusia 35 tahun belum juga menikah. Padahal dulu, malu diberi gelar pertu atau perawan tua. Karena sebelumnya mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda.

Kini trennya, banyak pasangan sejoli yang menunda pernikahan dengan kohabitasi. Masih ingat kohabitasi? Dua orang berlawanan jenis serumah tanpa ikatan perkawinan. Alasan mereka ingin menjajaki pasangan.

Jadi, potensi resesi seks di Indonesia ada? Ya ada, tapi bisa jadi sangat panjang, karena usia pernikahan di daerah pedesaan semakin lama masih semakin meningkat. Norma agama pun masih dipegang teguh oleh mereka.

Apa saja penyebab terjadinya resesi seks?

Pertama, usia pernikahan mundur 

Mundurnya usia pernikahan menurut beberapa penelitan karena menempuh pendidikan atau studi. SMA/SMK/MAN lalu kuliah. Sarjana kemudian mengambil profesi. Misalnya kedokteran dan keguruan. S1 selama 8 semester atau 4 tahun dan keprofesian 1 tahun.

Tamat SMA usia 18 tahun + 4 tahun S1 + 1 tahun profesi + mencari kerja + kerja 2 tahun = menikah.

Usia 25 tahun baru menikah. Motto, tunda menikah sebelum sarjana merupakan program pengentasan kemiskinan saat ini.

Kedua, keenakan berkarier

Tak jarang, perempuan jika sudah bekerja keasyikan. Mereka lupa usia jika sudah berkarier. Uang mengalir. Pekerjaan dengan beragam tuntutan. Pulang kerja sudah senja. Malam hari tubuh sudah lelah. Esok bekerja lagi.

Begitu siklus perjalanan hidup wanita karier. Membuat mereka lupa waktu. Merasa tak butuh menikah. Tak menikah tentu tak beranak. Fenomena wanita karier banyak terjadi di kota-kota besar.

Ketiga, tren keluarga kecil

Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, keasyikan berkarir, dan tren keluarga kecil dengan jumlah anak cukup 2 saja. Lelaki perempuan sama saja sedang digalakkan program KB di Indonesia. 

Jurnal The Atlantic merilis, istilah 'resesi seks' sekadang di AS, merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami negara. Ini mempengaruhi tingkat kelahiran menjadi rendah.

Keempat, menurunnya aktivitas seks 

Remaja dan dewasa di AS melakukan seks lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya. Ini merujuk pada data Survei Perilaku Risiko Remaja oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.

Survei itu menemukan persentase bahwa murid SMP dan SMA yang melakukan hubungan seksual di AS berkurang 14 persen dari 54 persen ke 40 persen.

Demikian juga jumlah warga AS berusia 18 hingga 29 tahun mereka tak melakukan seks dari 2008 hingga 2018 meningkat seanyak dua kali lipat. 

Kelima, budaya hookup ditolak

Untuk beberapa negara hookup culture diartikan budaya yang tak pantas. Haram. Dilarang. Beberapa negara terutama memiliki faham Islam tak menerima dan menolak seks bebas, berhubungan intim termasuk one-night stand, dan aktivitas seksual lainnya tanpa ikatan pernikahan.

Jelas budaya itu bertolak belakang dengan ajaran Islam. Tetapi Islam mendukung pernikahan. Pernikahan solusi dari resesi seks.

Keenam, tekanan ekonomi meningkat

Sulitnya ketersediaan modal, lahan pertanian, dan lapangan pekerjaan menjadi pemicu resesi seks di dunia. Tekanan ekonomi merata saat ini di mana saja.

Harga melonjak sedang pendapatan tetap. Bahan pangan langka juga memicu harga meroket. Rupiah pun mengalami penurunan nilai. Hal ini terjadi karena banyaknya bencana alam, menurunnya nilai mata uang, covid-19, dan hasil pertanian  tak memadai.

Selain itu, tingkat kecemasan yang tinggi, kelemahaan psikologis, penggunaan antidepresan yang meluas pun berkontribusi dalam menciptakan resesi seks.

Televisi streaming, faktor lingkungan, penurunan testosteron, porno digital , maraknya vibrator, aplikasi kecan on line, smartphone, adanya informasi yang berlebihan, serta mulai munculnya orientasi seksual yang beragam semakin memvalidasi resesi seks itu.

Banyak orang memprioritaskan sekolah atau pekerjaan saat ini daripada masalah cinta dan seks. Ini setidaknya untuk sementara waktu dan mereka sangat selektif dalam memilih pasangan hidup. 

Bagaimana Cara Menyikapi munculnya resesi seks ini?

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menjelaskan, bahwa resesi seks dapat terjadi apabila generasi muda saat ini dan akan datang memilih hidup sendiri karena ia tak dibebani tanggung jawab kepada pasangan dan anak.

Keengganan generasi untuk menikah dikatakan Drajat juga terlihat dalam riset tentang perempuan otonom. Perempuan 26-30 tahun yang diwawancara memilih  tak menikah karena mengutamakan profesi, melanjutkan studi, ingin mengatur ekonomi, dan hidupnya sendiri.

Jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu. Mereka tak mau terlibat dalam pertengkaran keluarga, KDRT. Konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.

Adapun Cara Menyikapi

Pertama, Layanan perawatan ibu hamil dan melahirkan harus kondusif dan lebih baik. Misalnya medis gratis terutama untuk daerah resesi.

Kedua, Layanan pengasuhan anak yang bermanfaat bagi masyarakat disediakan. Artinya gratis terutama untuk daerah resesi seks.

Ketiga, Kebijakan cuti hamil dan cuti orang tua yang lebih baik diberikan. Misalnya tak dipersulit.

Keempat, Kebijakan preferensial tentang perumahan dan perpajakan yang merakyat. Pengadaan rumah sehat bebas pajak.

Kelima, Pembinaan di tempat kerja yang ramah fertilitas dan kesuburan. No penekanan atasan kepada bawahan. Tak ada pencitraan.

Keenam, Mendorong praktik kerja yang fleksibel bukan kaku. Misalnya menciptakan lingkungan kerja aman dan kondusif seperti di rumah sendiri.

Ketujuh, Melindungi hak dan kepentingan tenaga kerja dan ketenagakerjaan yang sah dan memihak kepada perempuan.

Kedelapan, memberi sanksi tegas kepada laki-laki pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kesembilan, sekolah gratis bukan sekedar janji saja. Tapi terealisasi agar anak-anak mendapatkan kelayakan pendidikan.

Dampak resesi seks

Pertama, jumlah keluarga berkurang. Jumlah keluarga ini pada gilirannya berisiko terhadap jumlah kelahiran anak. 

Kedua, beban populasi produktif untuk 5-10 tahun mendatang menjadi besar.

Ketiga, lesunya ekonomi. Menurunnya jumlah keluarga otomatis dibarengi  berkurangnya keinginan untuk membeli akan kebutuhan rumah tangga.

Keempat, penurunan ekonomi karena jumlah keluarga sedikit, maka banyak orang tidak lagi membeli barang-barang kebutuhan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun