Istilah Fragile Masculinity ini pertama kali digunakan oleh penulis Jack Halberstam pada tahun 1998 untuk menggambarkan bagaimana Maskulinitas telah dikonstruksikan sebagai sesuatu yang perlu dilindungi, dipertahankan, dan dijunjung tinggi. Fragile Masculinity berkembang dari rasa takut terlihat feminin atau lemah.
Sebuah riset yang dilakukan dari Duke University bahwa ciri dominan yang ditemukan dalam fragile masculinity ini menanggapi fragmen kata yang berasosiasi feminin diubah menjadi maskulin.Â
Contohnya ketika ada padanan kata "ki" maka responden diminta untuk melengkapi kata "ki". Kagetnya, responden ini yang tadinya diminta melengkapi kata "ki" tadi justru diubah menjadi "kill" atau membunuh. Padahal kata "ki" sendiri kan bisa diubah menjadi "kiss" atau "kids".Â
Selain itu ada lagi huruf misalnya "blo", responden lelaki justru lebih cenderung menuliskan "blood" Â atau darah. Padahal kan bisa saja kata "blo" ini diubah jadi "blow" atau meniup atau blouse menjadi pakaian. Nah, disini sudah jelas bahwa orientasinya sudah mengarah ke bentuk kekerasan.
Fenomena fragile masculinity ini juga terjadi di beberapa negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Maskulinitas digambarkan sebagai perilaku dan harapan budaya terkait dengan laki-laki yang harus bersikap tegas, menunjukkan keberanian, menjunjung tinggi heteroseksualitas dan menolak feminitas.Â
Norma budaya di Negeri Paman Sam ini menunjukkan dinilai bahwa laki-laki yang menunjukkan maskulinitas dengan kekerasan dan kekuatan dinilai nyata sebagai seorang laki-laki. Sedangkan ketika laki-laki yang tidak menunjukkan maskulinitasnya dinilai gagal dan kurang "lakik" karena tidak gentle sebagai seorang laki-laki sejati.
Sebuah paper yang diterbitkan oleh CHI Honolulu, Hawaii Amerika Serikat menyebutkan secara garis besar penelitian yang telah dikurasi dalam topik fragile masculinity menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap maskulinitas normatif telah terkait dengan ketidakadilan gender, seperti sikap positif terhadap pelecehan seksual dan sikap negatif terhadap kesetaraan gender.Â
Paradigma pelecehan juga menunjukkan bahwa beberapa pria sangat diidentifikasi dengan maskulinitas normatif mungkin lebih mungkin untuk melecehkan wanita, terutama ketika wanita mengekspresikan pandangan egaliter atau feminis. Laki-laki bisa saja memiliki jiwa maskulinitas yang rapuh karena hal-hal yang menurutnya tidak bisa ditolerir di sebuah situasi.
Sering terjadi ketika laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin yakni harus tegas, berani dan kelihatan tegar. Dengan memiliki pandangan seperti ini tentunya akan mengindikasikan bagaimana selayaknya laki-laki harus bersikap dan menanggapi kenyataannya yang dirasakan. Ketika hal ini terjadi secara berkelanjutan maka dampaknya bisa menjadi tidak sehat.Â
Hal ini dapat berpengaruh pada depresi, kecemasan dan kesehatan mental lainnya yang berujung pada rapuhnya karakter seorang lelaki atau fragile masculinity ini. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan tanda-tanda seorang laki-laki berada pada fase fragile masculinity.
1. Tidak Mau Mengurus Pekerjaan Rumah
"Males ah aku disuruh ngepel beb. Kan ini pekerjaan kamu. Udah ah, kamu aja gih yang ngerjain"