Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fragile Masculinity, Rapuhnya Maskulinitas Seorang Lelaki

12 Oktober 2021   18:03 Diperbarui: 13 Oktober 2021   22:00 2622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pria. Photos via Pride

"Saya merasa curang jika tidak menyerang pakai kekerasan atau adu kekuatan secara gentle/ksatria dengan laki-laki lain. Sekarang saya merasa gak cowok banget lah kalau ga pakai kekerasan dan baku hantam"

Membaca sebuah potongan kalimat diatas membuat saya semakin gusar. Sadarkah kalian mengetik kalimat seperti itu wahai lelaki? Cerminan potongan kalimat tersebut menunjukkan bahwa sudah terlihat jelas kalau laki-laki itu keren jika adu kekuatan. Laki-laki itu juga terlihat gentle dan keren kalau bawa senjata dan berbuat onar di lingkungan sekitar. 

Lantas, jika tidak berbuat demikian maka jiwa kelaki-lakiannya atau maskulinitas dalam diri seorang laki-laki dipandang rapuh atau jatuh. Laki-laki seakan-akan terlihat lembek jika tidak memiliki kekuatan yang harus disaksikan kepada khalayak dan merasa bahwa yang kuat dan kekar itulah yang menang.

Sebenarnya kejadian seperti ini mirip sekali dengan fenomena Toxic Masculinity. Kebetulan juga sudah pernah saya bahas dalam topik Toxic Masculinity beberapa hari yang lalu tayang di artikel Kompasiana (kalau misalnya belum sempat baca dan pengen mampir berikut saya sertakan tautannya di sini, silahkan rekan kompasianer dapat mengaksesnya dan membacanya lebih lanjut). 

Kebetulan saya menyoroti hal ini berdasarkan pengalaman yang saya alami sampai dengan saat ini. Tetapi, hal ini tiba-tiba mencuat dan ramai perbincangannya di media sosial Twitter yang kebetulan menyentil soal  rapuhnya"maskulinitas" berdasarkan tanggapan sebuah tangkapan layar menyoal fragile masculinity dan mendapat cibiran dari netizen terkait hal ini.

Laki-laki yang memiliki jiwa maskulinitas yang rapuh merasa bahwa dirinya ini cenderung mengambil alih kendali. Dia harus merasa dirinya berkuasa, memegang kontrol yang penuh, dominan, agresif, abusif dan manipulatif. 

Sehingga jika terjadi berkelanjutan maka laki-laki dianggap tidak bisa menghargai lawan jenisnya atas segala pendapatnya, permintaannya dan semuanya. Karena wanita merasa direndahkan oleh laki-laki. 

Jika terus berlanjut maka akan memunculkan hubungan yang tidak sehat yang mana ini juga bisa jadi bibit-bibit toxic relationship maupun toxic masculinity. Masalah ini juga merembet dan menjalar kemana-mana. 

Bisa dari komunikasi yang kurang baik, cuek bebek, percikan konflik kecil hingga konflik besar yang berujung pada perselingkuhan dan perceraian. Sungguh menyesakkan.

Maskulinitas yang dianggap rapuh ini membuat seorang laki-laki tidak ingin dianggap lemah dihadapan orang lain dan memiliki kecenderungan untuk menyerang lawan jenisnya. Istilah ini kerapkali disebut juga dengan fragile masculinity atau rapuhnya maskulinitas seorang laki-laki. 

Dengan memiliki sifat seperti ini bisa berdampak buruk khususnya dalam jangka panjang, salah satunya menimbulkan kekerasan rumah tangga bahkan berujung perceraian jika sebelumnya sudah terikat dalam tali pernikahan.

Fragile Masculinity vs Toxic Masculinity 

Sebenarnya keduanya ini menonjolkan sifat maskulinitas karena takut dipandang feminim gerak-geriknya. Namun, nyatanya masih ada perbedaan antara keduanya.  

Toxic Masculinity berkaitan dengan bagaimana pria memandang gender mereka sendiri dan juga gender lainnya. Kondisi ini adalah sistem penindasan di mana laki-laki memiliki kekuasaan atas perempuan dengan menggunakan kekerasan dan agresi untuk mempertahankan maskulinitas mereka. 

Di sisi lain, fragile masculinity lebih berkaitan dengan bagaimana pria memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka memenuhi apa yang mereka anggap sebagai peran mereka sebagai anggota masyarakat yang maskulin. Ini dapat membuat mereka meremehkan sifat-sifat yang mungkin dianggap feminin atau melebih-lebihkan sifat-sifat yang dianggap maskulin untuk dikompensasikan secara berlebihan.

Fenomena Fragile Masculinity dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, fenomena ini kerap disimbolkan dengan sebuah karakter. Kita mengenal ada sifat feminin dan sifat maskulin. Karakter feminin kerap dinilai pembawaannya sebagai karakter yang lemah lembut. Sementara itu karakter maskulin dinilai sebagai karakter yang manly dan cenderung kuat. 

Aktivitas kehidupan sehari-hari pun tidak heran terkadang juga sering dikotak-kotakkan. Misalnya pekerjaan memasak identik dengan pekerjaan seorang perempuan. Sedangkan memasang elpiji, membetulkan asbes rumah yang bocor, mengangkat perabotan rumah tangga yang beratnya sudah kayak beban hidup diserahkan khusus kepada seorang laki-laki.

Anehnya, pemilihan warna pun juga diasosiasikan sebagai simbolisasi antara feminim dan maskulin. Kalau warnanya agak ngejreng seperti pink, lilac, salem, dan warna yang girly sudah pasti warna dambaan perempuan. Kalau hitam, biru terus warna gelap lebih cenderung ke laki-laki. 

Untungnya kita sudah mulai tergugah sedikit demi sedikit kesadarannya dalam pola pikir masyarakatnya akan kesetaraan gender. Dimana fenomena seperti ini sudah tidak dianggap tabu oleh masyarakatnya. Kita temui dalam berbagai bidang pekerjaan misalnya memasak juga bisa dikerjakan oleh laki-laki. 

Pekerjaan laki-laki juga bisa dikerjakan oleh perempuan. Porsi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan pun sudah disetarakan sama dengan laki-laki. 

Psikiater Dr. Bradley Staats mengatakan, "Jika seorang pria merasa rapuh akan jiwa maskulinitasnya dan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi emosinya, mkaka dapat menyebabkan stress dan lebih rentan untuk menimbulkan kecemasan pada pria" 

Lantas apa sebenarnya fenomena Fragile Masculinity yang kerapkali disebut-sebut sebagai rapuhnya jati diri karakter maskulin seorang pria?

Sekilas Tentang Fragile Masculinity dan Fenomena di Beberapa Negara

Dilansir dari UrbanDictionary, fragile masculinity adalah fenomena dimana seorang laki-laki terlalu memaksakan diri untuk memenuhi pandangan atau anggapan bahwa laki-laki ingin terlihat maskulin dan tidak mau dianggap feminin di mata publik. Fenomena seperti ini membuat laki-laki setidaknya harus menyesuaikan dengan aturan-aturan yang sedang berlaku. 

Istilah Fragile Masculinity ini pertama kali digunakan oleh penulis Jack Halberstam pada tahun 1998 untuk menggambarkan bagaimana Maskulinitas telah dikonstruksikan sebagai sesuatu yang perlu dilindungi, dipertahankan, dan dijunjung tinggi. Fragile Masculinity berkembang dari rasa takut terlihat feminin atau lemah.

Sebuah riset yang dilakukan dari Duke University bahwa ciri dominan yang ditemukan dalam fragile masculinity ini menanggapi fragmen kata yang berasosiasi feminin diubah menjadi maskulin. 

Contohnya ketika ada padanan kata "ki" maka responden diminta untuk melengkapi kata "ki". Kagetnya, responden ini yang tadinya diminta melengkapi kata "ki" tadi justru diubah menjadi "kill" atau membunuh. Padahal kata "ki" sendiri kan bisa diubah menjadi "kiss" atau "kids". 

Selain itu ada lagi huruf misalnya "blo", responden lelaki justru lebih cenderung menuliskan "blood"  atau darah. Padahal kan bisa saja kata "blo" ini diubah jadi "blow" atau meniup atau blouse menjadi pakaian. Nah, disini sudah jelas bahwa orientasinya sudah mengarah ke bentuk kekerasan.

Fenomena fragile masculinity ini juga terjadi di beberapa negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Maskulinitas digambarkan sebagai perilaku dan harapan budaya terkait dengan laki-laki yang harus bersikap tegas, menunjukkan keberanian, menjunjung tinggi heteroseksualitas dan menolak feminitas. 

Norma budaya di Negeri Paman Sam ini menunjukkan dinilai bahwa laki-laki yang menunjukkan maskulinitas dengan kekerasan dan kekuatan dinilai nyata sebagai seorang laki-laki. Sedangkan ketika laki-laki yang tidak menunjukkan maskulinitasnya dinilai gagal dan kurang "lakik" karena tidak gentle sebagai seorang laki-laki sejati.

Sebuah paper yang diterbitkan oleh CHI Honolulu, Hawaii Amerika Serikat menyebutkan secara garis besar penelitian yang telah dikurasi dalam topik fragile masculinity menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap maskulinitas normatif telah terkait dengan ketidakadilan gender, seperti sikap positif terhadap pelecehan seksual dan sikap negatif terhadap kesetaraan gender. 

Paradigma pelecehan juga menunjukkan bahwa beberapa pria sangat diidentifikasi dengan maskulinitas normatif mungkin lebih mungkin untuk melecehkan wanita, terutama ketika wanita mengekspresikan pandangan egaliter atau feminis. Laki-laki bisa saja memiliki jiwa maskulinitas yang rapuh karena hal-hal yang menurutnya tidak bisa ditolerir di sebuah situasi.

Sering terjadi ketika laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin yakni harus tegas, berani dan kelihatan tegar. Dengan memiliki pandangan seperti ini tentunya akan mengindikasikan bagaimana selayaknya laki-laki harus bersikap dan menanggapi kenyataannya yang dirasakan. Ketika hal ini terjadi secara berkelanjutan maka dampaknya bisa menjadi tidak sehat. 

Hal ini dapat berpengaruh pada depresi, kecemasan dan kesehatan mental lainnya yang berujung pada rapuhnya karakter seorang lelaki atau fragile masculinity ini. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan tanda-tanda seorang laki-laki berada pada fase fragile masculinity.

1. Tidak Mau Mengurus Pekerjaan Rumah

"Males ah aku disuruh ngepel beb. Kan ini pekerjaan kamu. Udah ah, kamu aja gih yang ngerjain"

Hal pertama yang kerap kali diindikasikan dengan stigma fragile masculinity adalah laki-laki tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah yang dianggapnya sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Kita coba ambil sebuah contoh seperti mencuci piring, mencuci baju, mengepel lantai dan lain sebagainya. 

Jika laki-laki sudah tidak mau berkontribusi dan merasa acuh dalam mengurus hal pekerjaan rumah seperti itu maka bisa jadi laki-laki ini memiliki orientasi ke arah fragile masculinity. Memasak dan bersih-bersih sekarang adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, bukan berpatokan pada gender dan tugasnya siapa dikerjakan oleh siapa. 

Buktinya sekarang tidak ada alasan untuk seorang lelaki tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah asalkan saing membantu dan saling membagi. Menjadi seorang laki-laki yang membantu mamanya atau membantu menyiapkan bekal istrinya bukanlah hal yang mengejutkan. Dalam sebuah ikatan hubungan, ada yang dinamakan dengan komunikasi. 

Ada yang berperan sebagai pemberi (dalam hal ini suami memberikan nafkah kepada istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga). ada yang berperan sebagai penerima (dalam hal ini istri menerima nafkah dari suami dan bertugas untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai porsi)

Cooking & cleaning is a basic life skill not a gender role.

Tidak ada papan skor untuk menentukan siapa juaranya. Siapa yang banyak-banyakan menyelesaikan pekerjaan rumah. Misalnya seorang wanita dalam beberapa hari mengerjakan pekerjaan rumah yang lebih banyak daripada aku. Kemudian di lain hari dia mengerjakan jauh lebih banyak ataupun lebih sedikit tidak ada masalah. 

Sebisa mungkin untuk membagi peran, membagi waktu satu sama lain. Justru inilah hakikat cinta sesungguhnya. Pernikahan tidak akan berjalan kalau misalnya hanya satu orang yang berusaha tetapi lainnya hanya bicara. Hal ini memang sulit dalam perjalanannya. 

Ingatlah ketika laki-laki mencintai seseorang (dalam hal ini wanita), jangan sampai menyerah walaupun dalam keadaan sulit sekalipun. Jadi disini laki-laki tidak perlu merasa malu dan sungkan. Selagi bisa membantu pun dipersilahkan. 

Justru dengan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa memandang status gender yang melekat pada dirinya, itulah sebagai bentuk perhatian yang bisa engkau curahkan dalam kontribusi rumah tangga. Belanja ke pasar, masak mie tiap pagi, melipat pakaian, sesekali pun tidak ada masalah.

Disinilah perlu kesadaran dari seorang laki-laki bahwa menjadi calon suami setidaknya juga ikut andil dalam pekerjaan rumah. Bukan sebuah kebetulan pun bukan sebuah keberuntungan. Hal ini normatif kok untuk dilakukan, bukan menjadi sebuah hal yang istimewa. Ada baiknya dikomunikasikan lebih lanjut dengan pasangan mengenai pembagian tugas ini. 

Siapa tau hal ini bisa dibicarakan bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah. Jangan sampai ada salah satu yang merasa keberatan karena mengerjakan pekerjaan yang lebih banyak dari pekerjaan lainnya. Bukankah sesuatu yang berat akan menjadi ringan jika dibagi?

2. Berbuat Kekerasan Agar Dianggap Macho

"Ototnya gede, tapi otaknya ga ngotak banget"

Punya otot gede, badan atletis dan kekar tentunya menjadi dambaan semua lelaki. Tetapi mohon maaf, seringkali asosiasi seperti ini terkadang ditempatkan di tempat yang salah. Seringkali laki-laki berpikir bahwa untuk menunjukkan maskulinitasnya didepan wanita, ia harus mengadu ototnya dengan main tangan segala macam tipu daya termasuk kekerasan. 

Tidak hanya sebuah hubungan pernikahan, kalian pasti sering kan waktu sekolah dulu bertengkar sama teman laki-laki lainnya. Bahwa mereka saling adu kekuatan untuk menunjukkan bahwa "oh, aku kuat nih. Ayo lawan aku gih. Kita buktikan siapa yang menang!"

Tetapi, ketika seorang laki-laki mengomentari laki-laki lainnya karena tidak mau menyelesaikan masalah dengan kekerasan, seringkali dianggap lembek. Ah, cemen kamu, dasar laki-laki macam apa kamu, lembek banget jadi laki. Gak pantes hey jadi laki-laki!. Sedih membaca ucapan tersebut, kayak yang bilang gitu merasa gentle apa. Hal ini juga bisa diibaratkan sebagai bentuk maskulinitas yang rapuh. 

Zaman sekarang menyelesaikan masalah bisa loh tidak harus dengan kekerasan. Ada baiknya permasalahannya diselesaikan dengan kepala dingin dan tidak perlu lah menunjukkan kekuatan di hadapan umum. 

Jelaskan duduk perkaranya seperti apa, selesaikan permasalahannya dengan berpikir jernih. Jangan mengedepankan emosi terus dan main tangan. Menjadi laki-laki tidak harus kuat dengan menunjukkan kekuatannya. Mengambil keputusan pun juga tidak harus didasarkan pada perasaan tapi please logikanya dipakai.

3. Menuntut Perempuan Untuk Bergantung Pada Laki-laki

"Kamu ga usah kerja, biar aku aja yang cari duit"

Kedengarannya kalimat seperti ini sepele ya. Tapi coba perhatikan lagi. Disini laki-laki menyuruh istrinya untuk berhenti bekerja. Biasanya konsep maskulinitas rapuh menganggap bahwa laki-laki sejatinya sebagai pencari nafkah harus memiliki pendapatan yang lebih besar daripada istrinya. 

Biasanya tipikal suami yang seperti ini menghentikan langkah istrinya untuk tidak usah bekerja dan lebih fokus untuk mengurus rumah tangga. Karena menurut dia, istri yang mandiri dapat melukai egonya. Bisa dibilang kondisi ini disebut juga dengan kesenjangan upah berdasarkan gender.

Kesenjangan upah atau yang biasa disebut diskriminasi upah ini terjadi ketika individu dengan tingkat pendidikan yang sama melakukan pekerjaan yang sama tetapi dibayar berbeda. Nampaknya perempuan terkadang dipersulit dengan mendapatkan upah yang lebih banyak. 

Padahal secara normatif pekerjaan perempuan bisa dibilang dobel, ya pekerjaan kantor plus pekerjaan rumah tangga. Baik laki-laki maupun perempuan dengan menganggap perbedaan pilihan karir ini adalah hal yang lumrah. Namun terkadang konsekuensinya pendapatan perempuan selalu dibawah laki-laki.

Apalagi uang merupakan sesuatu yang selalu diperdebatkan karena sejatinya kebutuhan perempuan, anak dan keluarga juga banyak kan. Ya wajar kalau cewek meminta teruspun juga suaminya minta dia berhenti bekerja. Kucuran dana mau dari mana kalau ga dari pintu suami. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Cornell mendapati bahwa suami yang istrinya bekerja sepanjang hari akan meningkatkan peluang selingkuh hingga lima kali daripada yang memiliki gaji sama. 

Hal ini memiliki kemungkinan karena ego laki-laki merasa dilukai oleh istri karena pendapatannya lebih banyak. Dengan demikian, selingkuh adalah sebuah cara untuk menegaskan bentuk maskulinitas mereka.

Ego yang dimiliki oleh laki-laki seperti ini benar-benar membahayakan. Apalagi pemiliknya merasa terusik akan keberadaannya. Sebab ketika pria memiliki penghasilan yang jauh lebih tinggi mereka terdorong untuk selingkuh. 

Tetapi di satu sisi, memiliki gaji lebih rendah daripada istri juga bisa mengancam identitas pria yang pastinya mempertanyakan gagasan yang mengharuskan pria sebagai pencari nafkah. 

Disinilah pria perlu memiliki pendapatan yang lebih besar. Tetapi sebaliknya pula, para istri harus memastikan penggunaan uangnya secara bijak. Pria harus memegang uang seperlunya.

4. Enggan dan Merasa Sungkan Kalau Dipimpin oleh Perempuan

Di era sekarang ini, posisi perempuan dalam berbagai bidang sudah setara dan tersebar di berbagai jabatan baik perusahaan ataupun organisasi. Perempuan derajatnya pun juga sudah setara untuk menduduki posisi penting dan strategis suatu jabatan atau kedudukan. 

Kita ambil sebuah contoh Ibu Megawati Soekarno Putri, presiden perempuan pertama Indonesia yang kemudian diikuti jejaknya oleh sang anak Ibu Puan Maharani menjadi ketua DPR perempuan pertama sepanjang sejarah lembaga legislatif. Jadi disini perempuan sudah mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki. 

Tetapi masih saja kita temui laki-laki yang merasa enggan jika dipimpin oleh perempuan. Padahal perempuan tersebut dinilai kompeten dan layak memimpin di bidangnya. Menurut laki-laki yang memiliki stigma fragile masculinity menganggap bahwa perempuan tidak pantas duduk di kursi pimpinan.

Berdasarkan kurasi dari empat riset yaitu PEW Research Center, Harvard Business Review, Business Tech dan Business Insider menjelaskan bahwa pria dan wanita memiliki kualitas yang sama besar. Bahkan responden survei tidak melihat perbedaan gender dalam ambisi, kejujuran, dan ketegasan. 

Namun, masih banyak yang membedakan kualitas kepemimpinan antara yang dipimpin oleh seorang pria dan wanita. Misalnya pria lebih menang dari aspek membuat keputusan yang sulit, penanganan isu kritis, pembawaannya yang berwibawa dan penuh percaya diri. 

Kemudian wanita lebih menang dari karakter yang mengasuh, keibuan, lebih sering memberikan contoh, rapi, teratur dan terorganisir daripada pria. Kemudian dari segi jabatan juga seringkali dikotak-kotakkan misalnya sekretaris, administratif, customer service kerap menjadi ladang pekerjaannya para wanita. Terus pekerja laut, offshore, montir seringkali dikotak-kotakkan sebagai pekerjaannya laki-laki.

Menurut Ketchum Leadership Communication Monitor bahwa sebaliknya kita harus membuang dan mengesampingkan gagasan yang kuno terkait kepemimpinan berdasarkan pada gender dan peranannya di tempat kerja. Perempuan bisa unggul jika diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk bersinar. 

Disini bukan berarti masa depan harus wanita yang memimpin tetapi laki-laki tidak diberikan tempat. Tapi mereka memiliki kesempatan yang sama untuk berkarir. 

Tidak ada sebuah ukuran terkait gender mana yang lebih baik atau tim mendang-mending. Yang sangat penting adalah bagaimana pria dan wanita dapat mengembangkan skill, kepemimpinannya dan menggunakan kesempatannya dengan sebaik-baiknya. 

Baik laki-laki dan perempuan, semua punya kesempatan yang sama. Mereka lahir dan bersedia untuk mengembangkan diri, bertumbuh bersama dan diberikan kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas. Tentunya dukungan pun sangat diperlukan untuk menapaki karir yang gemilang.

Men know that women are an overmatch for them, and therefore they choose the weakest or the most ignorant. If they did not thnik so, they never could be afraid of women knowing as much as themselves

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun