Hal pertama yang kerap kali diindikasikan dengan stigma fragile masculinity adalah laki-laki tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah yang dianggapnya sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Kita coba ambil sebuah contoh seperti mencuci piring, mencuci baju, mengepel lantai dan lain sebagainya.Â
Jika laki-laki sudah tidak mau berkontribusi dan merasa acuh dalam mengurus hal pekerjaan rumah seperti itu maka bisa jadi laki-laki ini memiliki orientasi ke arah fragile masculinity. Memasak dan bersih-bersih sekarang adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, bukan berpatokan pada gender dan tugasnya siapa dikerjakan oleh siapa.Â
Buktinya sekarang tidak ada alasan untuk seorang lelaki tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah asalkan saing membantu dan saling membagi. Menjadi seorang laki-laki yang membantu mamanya atau membantu menyiapkan bekal istrinya bukanlah hal yang mengejutkan. Dalam sebuah ikatan hubungan, ada yang dinamakan dengan komunikasi.Â
Ada yang berperan sebagai pemberi (dalam hal ini suami memberikan nafkah kepada istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga). ada yang berperan sebagai penerima (dalam hal ini istri menerima nafkah dari suami dan bertugas untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai porsi)
Cooking & cleaning is a basic life skill not a gender role.
Tidak ada papan skor untuk menentukan siapa juaranya. Siapa yang banyak-banyakan menyelesaikan pekerjaan rumah. Misalnya seorang wanita dalam beberapa hari mengerjakan pekerjaan rumah yang lebih banyak daripada aku. Kemudian di lain hari dia mengerjakan jauh lebih banyak ataupun lebih sedikit tidak ada masalah.Â
Sebisa mungkin untuk membagi peran, membagi waktu satu sama lain. Justru inilah hakikat cinta sesungguhnya. Pernikahan tidak akan berjalan kalau misalnya hanya satu orang yang berusaha tetapi lainnya hanya bicara. Hal ini memang sulit dalam perjalanannya.Â
Ingatlah ketika laki-laki mencintai seseorang (dalam hal ini wanita), jangan sampai menyerah walaupun dalam keadaan sulit sekalipun. Jadi disini laki-laki tidak perlu merasa malu dan sungkan. Selagi bisa membantu pun dipersilahkan.Â
Justru dengan mengerjakan pekerjaan rumah tanpa memandang status gender yang melekat pada dirinya, itulah sebagai bentuk perhatian yang bisa engkau curahkan dalam kontribusi rumah tangga. Belanja ke pasar, masak mie tiap pagi, melipat pakaian, sesekali pun tidak ada masalah.
Disinilah perlu kesadaran dari seorang laki-laki bahwa menjadi calon suami setidaknya juga ikut andil dalam pekerjaan rumah. Bukan sebuah kebetulan pun bukan sebuah keberuntungan. Hal ini normatif kok untuk dilakukan, bukan menjadi sebuah hal yang istimewa. Ada baiknya dikomunikasikan lebih lanjut dengan pasangan mengenai pembagian tugas ini.Â
Siapa tau hal ini bisa dibicarakan bahkan jauh-jauh hari sebelum menikah. Jangan sampai ada salah satu yang merasa keberatan karena mengerjakan pekerjaan yang lebih banyak dari pekerjaan lainnya. Bukankah sesuatu yang berat akan menjadi ringan jika dibagi?
2. Berbuat Kekerasan Agar Dianggap Macho
"Ototnya gede, tapi otaknya ga ngotak banget"