Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fragile Masculinity, Rapuhnya Maskulinitas Seorang Lelaki

12 Oktober 2021   18:03 Diperbarui: 13 Oktober 2021   22:00 2622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah Fragile Masculinity ini pertama kali digunakan oleh penulis Jack Halberstam pada tahun 1998 untuk menggambarkan bagaimana Maskulinitas telah dikonstruksikan sebagai sesuatu yang perlu dilindungi, dipertahankan, dan dijunjung tinggi. Fragile Masculinity berkembang dari rasa takut terlihat feminin atau lemah.

Sebuah riset yang dilakukan dari Duke University bahwa ciri dominan yang ditemukan dalam fragile masculinity ini menanggapi fragmen kata yang berasosiasi feminin diubah menjadi maskulin. 

Contohnya ketika ada padanan kata "ki" maka responden diminta untuk melengkapi kata "ki". Kagetnya, responden ini yang tadinya diminta melengkapi kata "ki" tadi justru diubah menjadi "kill" atau membunuh. Padahal kata "ki" sendiri kan bisa diubah menjadi "kiss" atau "kids". 

Selain itu ada lagi huruf misalnya "blo", responden lelaki justru lebih cenderung menuliskan "blood"  atau darah. Padahal kan bisa saja kata "blo" ini diubah jadi "blow" atau meniup atau blouse menjadi pakaian. Nah, disini sudah jelas bahwa orientasinya sudah mengarah ke bentuk kekerasan.

Fenomena fragile masculinity ini juga terjadi di beberapa negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Maskulinitas digambarkan sebagai perilaku dan harapan budaya terkait dengan laki-laki yang harus bersikap tegas, menunjukkan keberanian, menjunjung tinggi heteroseksualitas dan menolak feminitas. 

Norma budaya di Negeri Paman Sam ini menunjukkan dinilai bahwa laki-laki yang menunjukkan maskulinitas dengan kekerasan dan kekuatan dinilai nyata sebagai seorang laki-laki. Sedangkan ketika laki-laki yang tidak menunjukkan maskulinitasnya dinilai gagal dan kurang "lakik" karena tidak gentle sebagai seorang laki-laki sejati.

Sebuah paper yang diterbitkan oleh CHI Honolulu, Hawaii Amerika Serikat menyebutkan secara garis besar penelitian yang telah dikurasi dalam topik fragile masculinity menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap maskulinitas normatif telah terkait dengan ketidakadilan gender, seperti sikap positif terhadap pelecehan seksual dan sikap negatif terhadap kesetaraan gender. 

Paradigma pelecehan juga menunjukkan bahwa beberapa pria sangat diidentifikasi dengan maskulinitas normatif mungkin lebih mungkin untuk melecehkan wanita, terutama ketika wanita mengekspresikan pandangan egaliter atau feminis. Laki-laki bisa saja memiliki jiwa maskulinitas yang rapuh karena hal-hal yang menurutnya tidak bisa ditolerir di sebuah situasi.

Sering terjadi ketika laki-laki dituntut untuk menjadi maskulin yakni harus tegas, berani dan kelihatan tegar. Dengan memiliki pandangan seperti ini tentunya akan mengindikasikan bagaimana selayaknya laki-laki harus bersikap dan menanggapi kenyataannya yang dirasakan. Ketika hal ini terjadi secara berkelanjutan maka dampaknya bisa menjadi tidak sehat. 

Hal ini dapat berpengaruh pada depresi, kecemasan dan kesehatan mental lainnya yang berujung pada rapuhnya karakter seorang lelaki atau fragile masculinity ini. Untuk lebih jelasnya, berikut merupakan tanda-tanda seorang laki-laki berada pada fase fragile masculinity.

1. Tidak Mau Mengurus Pekerjaan Rumah

"Males ah aku disuruh ngepel beb. Kan ini pekerjaan kamu. Udah ah, kamu aja gih yang ngerjain"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun