Bab 4.
Dua bulan sudah setelah kami honey moon. Ah, bagiku itu bukan sebuah honey moon, tetapi menoreh rasa sakit pertama kali karena perlakuan Mas Agha.
Ponselku tiba-tiba bergetar, membuatku terkejut padahal saat ini sedang me-make up seorang pengantin. Aku ijin sebentar untuk mengangkat telfon kepada pelangganku.
"Ternyata Mamah," gumanku setelah melihat nama orang yang tertera di layar ponsel.Â
"Halo, assalamu'alaikum Mah," ucapku di ujung telepon.
"Apa, kecelakaan?" Tubuhku langsung lemas, seolah tulang kerangkanya lepas satu persatu. Air mataku luruh, bagaimana pun Mas Agha suamiku.
"Ia Mah, Hana selesaikan ini dulu."
"Iya, wa'alaikumus salam," ucapku mengakhiri telepon.
"Mba, kenapa?" tanya Alia, seorang gadis berusia 18 tahun yang membantuku selama beberapa minggu ini.Â
"Nggak papa Li, ayo kita selesaikan ini, setelah itu langsung pulang!" Kuhapus air mataku, menutupi apa yang terjadi. Tak mau mengganggu konsentrasi Alia dan juga tak mau mengecewakan pelangganku. Lagi pula sebentar lagi selesai, tinggal sedikit lagi.
Kami melakukan pekerjaan sebaik mungkin, walau hati ini gundah gulana. Sikap profesional harus aku jalankan. Setelah selesai, aku bergegas ke rumah sakit. Tak mau mengulur waktu karena perasaanku yang tak tenang sejak Mamah menelepon.