"Seperti saling mengukur kemampuan tempur satu sama lain..."
      "Begitulah kenyataannya Diponegoro, persatuan kami mungkin belum begitu kokoh tapi paling tidak kesamaan dalam ketaatan kepada Tuhan yang mempersatukan kami. Untunglah ada Nuku, Sultan Tidore yang sangat pandai dan bijak."
      "Ya, aku sudah mendengarnya.. dia bahkan berhasil memberikan pengaruh di Pua-pua."
      "Itulah mengapa dia yang kami pilih untuk menjadi Sultan Mamluk pertama. Dia bisa menjadi penengah antara kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa di kepulauan ini,"
"tapi tentu ada yang enggan untuk bersatu dan mensyaratkan sesuatu yang kadang susah untuk dipenuhi. Pemilihan Pulau Moti sebagai tempat perundingan pun harus berjalan agak alot di awal."
"tapi Ternate mendukung penuh Tidore, hal yang bisa sangat membantu keberlangsungan Kesultanan Mamluk nantinya."
      "Hmm.. dari dulu memang Ternate dan Tidore yang terbesar..." Imam Hassan ikut berkomentar.
      "Saling menghargai dan menghormati, bahkan dengan kerajaan lain yang lebih kecil. Hal itu yang bisa mempersatukan."
      "Yah, kalau tidak ada yang perlu dibahas lagi kurasa kita semua butuh segera beristirahat..." ucapnya sambil menyeruput tenggukan terakhir minuman rempah yang sangat menghangatkan.
      Malamo sepertinya akan mengakhiri perbincangan ini, sebelum Diponegoro dengan agak bercanda berkata,
"Tidak membahas Malaka yang tak jadi mampir hari ini?" matanya mengarah ke Imam Hassan dan Malamo. Ketiganya memilih tersenyum dan bangkit dari kursinya masing-masing untuk menuju ke tenda bersama-sama, meninggalkan tanda tanya besar bagi Abdi dan Dalem yang hanya saling pandang. Keduanya menahan diri untuk tidak berkata apa-apa dan memandang bintang-bintang yang sudah meninggi, suasana cukup sepi karena para prajurit sudah beristirahat.