Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 34, Negeri Raja-Raja) - Mercusuar

17 Mei 2024   10:48 Diperbarui: 17 Mei 2024   11:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

 

            Hari sudah malam, bintang-bintang terlihat di langit jauh. Malamo tidak tidur semenjak semalam, ia begitu sibuk sehingga tak sempat berpikir bahkan untuk sekedar makan siang. Hanya dua kali dia makan hari ini, pagi dan sore. Kegiatan pembersihan di sekitar pesisir pantai memakan waktu cukup singkat, yang lama adalah memisahkan jenazah para prajurit Samudera dan Palembang Darussalam dengan mayat-mayat musuh, memandikan, mensholatkan, dan mengubur mereka di tanah Morotai, Ternate. Tak terasa matahari tiba-tiba sudah tenggelam, magrib dan isya' pun menanti untuk mereka tunaikan. Raden Diponegoro memimpin seluruh prosesi dibantu oleh Kapten Malamo sebagai 'tuan rumah'. Kini tujuh orang berkumpul di dalam mercusuar, tempat yang dipilih Diponegoro ba'da isya' untuk berdiskusi sejenak sebelum beristirahat.

            "Bagaimana kondisi kalian?" tanya Diponegoro, wajahnya terlihat sangat tenang.

            "Alhamdulillah, baik saya rasa," Ario Damar yang pertama menjawab.

Baca juga: Keruh

            "Ba.. baik Raden eru!" ucap Abdi dan Dalem berbarengan, keduanya tampak tegang.

            "Senang bisa bertemu denganmu lagi Diponegoro..." kali ini suara Imam Hassan yang terakhir terdengar sebelum Malamo menaruh gelas berisi ramuan rempah-rempah dibantu Abdi dan Dalem yang cukup cekatan.

            "Kalau Anda kurang beristirahat tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti pertemuan dadakan ini Imam Hassan, saya tadi sudah berpesan untuk mengundang Ario Damar saja karena dia terlihat masih bugar meskipun memimpin para pasukan Samudera dan Palembang Darussalam mengurus jenazah," ujar Diponegoro kembali.

            "Maafkan saya juga menahanmu cukup lama di pantai Ario sehingga waktu istirahatmu berkurang,"

"karena tidak mungkin para prajurit yang ada dibiarkan saja tanpa salah satu komandannya yang hadir,"

"paling tidak untuk sekedar menemani mereka," senyumnya terlihat samar.

            "Tidak masalah Diponegoro, aku biasa menemani mereka hingga malam di kapal, dan tentunya seorang komandan haruslah siap dengan apa yang akan terjadi apalagi saat memimpin pasukan perang seperti ini," jawab Ario Damar.

            "Aku tidak sehebat Imam Hassan dalam memimpin pasukan, kapal-kapal kami terbakar, bahkan kapalku sendiri tak selamat."

            "Kami tak menyangka malam itu musuh datang dalam kegelapan. Sekitar tengah malam, saat dimana seluruh pasukan tidur dengan nyenyak..."

            "Aku sadar setelah sebagian prajurit di dek bawah mulai berteriak karena panas api yang mulai terasa,"

"setelah kusuruh beberapa prajurit untuk memeriksa, ternyata api sudah besar dan aku yakin para prajurit di dek atas sudah terbunuh, mereka yang bertugas jaga malam itu,"

"aku langsung memerintahkan untuk segera melepas sekoci dan jika harus, berenang bersama terpal untuk menujunya."

            Kesedihan ada di nada suaranya, ia nampak sangat menyesal tidak bisa memimpin lebih baik daripada Imam Hassan.

            "Tenang nak.. itu biasa terjadi, apalagi kau masih muda. Aku mungkin lebih darimu karena pengalaman. Saat muda dulu aku kadang juga berbuat kecerobohan, sedangkan kau menurutku memimpin dengan cukup baik malam tadi, bahkan tujuh puluh persen pasukan kita bisa selamat. Meskipun, yah, kita harus kehilangan beberapa buah kapal," ucap Imam Hassan menenangkan.

            "Hanya satu dari lima yang terbakar akan bisa direnovasi kembali. Para teknisi kapal Mataram sudah mengecek semua dan melaporkannya tadi sore," ujar Diponegoro.

            "Alhamdulillah, kami tidak mempermasalahkan kondisi kapal-kapal yang sudah terbakar itu, saat ini yang paling penting pasukan berhasil selamat dan musuh berhasil dipukul mundur," Imam Hassan menyeruput ramuan rempahnya.

            "Enak kah Hassan? Aku membuatnya setiap habis berlatih tanding dengan para prajurit di bawah, mengembalikan seluruh energimu seperti semula," Malamo ikut menyeruput minumannya diikuti yang lain.

            "Alhamdulillah rasanya tubuhku kembali ringan setelah meminumnya.. Ah, ya aku beruntung segera diberitahu Abdi, petugas jaga tadi malam berkumpul semua di buritan kapal, termasuk di dalamnya mereka berdua," Imam Hassan melirik ke Abdi dan Dalem.

            "Eh.. i..iya Imam Hass..."

            "Karena bayu geni, bayu geninya menutupi pandangan musuh..." Dalem berkata tiba-tiba, ia teringat pagi tadi memandangi alat ajaib itu.

            "Hoo.. bayu geni ?" tanya Diponegoro tiba-tiba terlihat tertarik.

            "Iya Raden Eru, untuk terbang juga, eee.. dengan paralayang.. maksudku, kata Imam Hassan, Raden Eru tahu tentang itu."

            "Terbang? Tunggu..." Diponegoro melihat ke arah Imam Hassan,

"Bukannya alat itu.. sudah waktunyakah untuk uji coba Imam Hassan?" tanya Diponegoro lagi.

            "Sudah Diponegoro, Malaka sudah menyempurnakannya sehingga sekarang tidak meledak tetapi mendorong"

            "... Aah, ya, bagus kalau begitu... di Mataram juga sedang dikembangkan lebih jauh dengan menambahkan mesiu murni di ujung sehingga akan meledak setelah mendorong jauh,"

"kira-kira sama seperti kembang api, tapi ledakannya bisa menghancurkan satu bagian kapal sekali tembak dengan kerusakan yang besar."

            Apa yang dikatakan Dipoegoro membuat Abdi dan Dalem terkejut, tapi tidak ada yang sekaget Malamo. Sudah sejak semalam ia mendapat kejutan dan mendengar ada yang lebih hebat lagi dari itu membuatnya benar-benar penasaran.

            "A..apa.. menghancurkan.. aku berpikir alat itu bisa mendorong kapal dengan sangat cepat sekali. Tapi membayangkan alat itu bisa untuk mengancurkan kapal..." ujarnya.

            "Jangan khawatir kapten, InsyaAllah kami berikan juga ke sekutu jika membutuhkan nanti," senyum Diponegoro kepadanya.

            "Ten..tentu saja Diponegoro, hanya saja aku..."

            "Aku juga tidak mengira kita bisa secepat itu mengembangkannya, teknisi Malaka cukup hebat juga dapat menyempurnakannya secepat ini," Imam Hasan ikut merasa senang.

            "Tadi kau bilang sudah mengembangkan lebih jauh, berarti sebenarnya Mataram bisa membuatnya tanpa bantuan Samudera dan Malaka kan?" tanya Imam Hassan.

            "Kami mencoba kok Imam Hassan, yah kebetulan saja kami juga berhasil menemukan caranya, entah sama atau tidak dengan metode yang digunakan oleh Malaka."

            "Dan dengan sesama kesultanan Islam tidak ada salahnya kan kita berbagi ide, toh itu juga akan sangat berguna bagi Samudera dan Malaka," ucap Diponegoro menjelaskan.

            "Hehe, aku tahu apa maksudmu Diponegoro.. Alhamdulillah kalau begitu.. semua akan bersatu pada waktunya nanti.. hmm..." Imam Hassan kembali meminum ramuan rempah-rempahnya, kali ini dengan tegukan yang cukup banyak.

            "Baru saja kok kami mulai mengembangkannya, versi terbaru dari bayu geni, tapi sayangnya bahan-bahan untuk itu kurang. Beberapa kapal dagang aku perintahkan untuk mengangkut mesiu, titanium, dan aluminium serta beberapa bahan tambahan lain."

            "Nah, salah satunya terkena serangan serupa yang terjadi di malam hari. Meskipun si penyerang tidak menggunakan kapal besar dan dicat hitam tapi serangannya dapat melumpuhkan kapal dagang kami. Alhamdulillah seluruh penumpang selamat," Diponegoro ikut menghabiskan minuman buatan Malamo.

            "Aku sudah dengar ceritanya dari Abdi dan Dalem, dan kapten kapal itu, Sudirman, apa dia bisa selamat? Kedua orang ini selalu mengkhawatirkan keadaannya," Imam Hassan melihat ke Abdi dan Dalem yang nampak kaget.

            "Eh, itu maksud saya, itu..." tangan Abdi dan Dalem menunjuk ke sebelah Raden Diponegoro.

            "Alhamdulillah saya baik-baik saja Imam Hassan. Mohon maaf tidak sempat bertemu dengan Anda di Samudera karena harus mengurus kebutuhan kapal," ujar orang yang duduk di sebelah Diponegoro.

            "Kami berhasil bertahan dari serangan musuh yang juga datang pada malam hari, bersyukur sekali Allah masih memberikan kesempatan bagi saya untuk bertemu tuan-tuan semua.." ucap pria itu.

            "Kau.. Sudirman?" tanya Malamo.

            "Iya, benar."

            "Luka-lukamu memang seperti baru..."

            "Alhamdulillah kau selamat, kudengar tadi ketika kita mengobrol di luar Diponegoro memberikanmu jabatan baru ?" mata Imam Hassan melihat ke arah Diponegoro.

            "Pimpinan Eskader Penjaring, saya melihatnya mampu menerima amanah itu. Hmm, kenapa Abdi, Dalem, bukankah seharusnya kalian ikut senang?"

            Keduanya tak dapat berkata-apa, sebenarnya sejak siang tadi mereka sudah bertemu namun ketiganya tak dapat bercerita banyak saking sibuknya mengurus hal-hal yang harus dibereskan setelah peperangan.

            "Luka-lukanya cukup parah Kapten Sudirman, membuat sebagian wajah Anda..." Dalem yang akhirnya berkomentar

            "Aku memutuskan untuk membakar kapal Pinisi Mataram waktu itu. Kita dipanahi Abdi, dari kapal kita sendiri. Musuh berhasil naik dan yang tersisa hanya punya sedikit waktu untuk menyelamatkan diri dengan sekoci."

            "Tapi.. menurut saya selamat dalam kondisi seperti itu sudah..."

            "Luar biasa Abdi, ya, Alhamdulillah! InsyaAllah aku tidak salah memilih orang untuk memimpin..." potong Diponegoro.

            "Kalian tahu, dia membawa bubuk mesiu yang kuperintahkan untuk dibawa, dua peti kemas besar. Itu digunakannya untuk menghancurkan sebagian dari badan dua kapal musuh dan yang satunya lagi dilubangi dengan tiga buah meriam tepat di titik rawan kapal," semua mendengarkan.

            "Sehingga ketiga kapal itu terhenti lama dan tidak mungkin mengejar para penyu hitam yang sudah menuju ke Nusa, Bali, dan Demak. Kalian tahu kenapa ia memilih tiga rute itu?"

"Demak karena ia jalur utama yang dilalui banyak kapal, tidak ada yang tidak tahu itu, bisa saja mereka bertemu dengan kapal-kapal yang kebanyakan merupakan kapal dagang atau bahkan kapal perang,"

"Bali, karena tempat itu sering dikunjungi wisatawan yang hendak menuju ke sana, sama, mereka bisa segera mendapat bantuan,"

"yang terakhir, ternyata dia ingat, aku ke Nusa," seluruh mata menuju pria muda namun rusak sebelah wajahnya. Ia tampak agak ragu untuk berkata-kata, tapi kemudian Diponegoro melanjutkan.

            "Tapi kurasa, Ario Damar lebih unggul darimu Sudirman, karena dia tidak mengalami luka yang berarti padahal yang menyerangnya adalah kapal besar yang tak terlihat jelas."

            Sejenak hening.

            "Jangan lupa, Kapal Ario Damar adalah yang pertama diserang di bagian terdepan. lima kapal lain tak bisa bertahan dan hangus terbakar. Kurasa dia sudah berbuat yang terbaik, bukan begitu Imam Hassan?"

            "Ya, kau benar Diponegoro. Semua adalah bagian dari takdir jika kita sudah berusaha dan bertawakal," jawab Imam Hassan merasa lega.

            "Komandan adalah bagian sangat penting, saranku sobat, jangan kau tunjukkan kesedihan apapun di depan pasukanmu. Tegarlah, dan bangkitkan lagi rasa keimanan dalam dada dan pasukanmu kepada Allah, Dia yang menggenggam jiwa kita semua dan yang menentukan bagaimana hasil usaha yang sudah kita lakukan..." ucapan Diponegoro mengganti energi yang hilang dengan cahaya harapan baru. Bersama dengan kedatangan Mataram yang di masa lalu berlambangkan sinar mentari, sinar yang mencerahkan dan memberi cahaya di setiap kegelapan.

            Sejenak suasana hening, sepertinya percakapan malam ini segera berakhir. Malamo mengambil inisiatif untuk menutupnya.

            "Sebagai tuan rumah, ada baiknya aku mengucapkan beribu maaf. Hanya sedikit yang bisa kami lakukan di sini untuk memberikan bantuan..." matanya mengarah ke Ario dan Imam Hassan,

"dan sambutan.." kali ini ke arah Diponegoro dan Sudirman.

            "Kapal-kapal perang kami terpaksa diberangkatkan seluruhnya ke Moti."

            "Hmm, undangan kami untuk menghadiri tasyakuran berdirinya kembali Kesultanan Mamluk baru akan digelar empat hari lagi. Tapi Kesultanan Samudera dan Kesultanan Palembang Darussalam mengirim surat bahwa akan datang kemari dini hari tadi."

            "Ya, Malamo, kami memajukan waktu dari jadwal semula karena kami merasa sudah cukup berada di Sarawak. Lebih baik para prajurit membiasakan diri dengan iklim di Morotai, karena mungkin akan ada upacara besar nantinya, yang kupikir akan berlangsung cukup lama," komentar Imam Hassan.

            "Terima kasih atas pengertiannya."

            "Tandon Api itu sudah sangat luar biasa..."

            "Ya, itu idemu Hassan.." keduanya tersenyum.

            "Semua kapal perang.. itukah syaratnya ?" tanya Diponegoro.

            "Ya, benar Diponegoro. Bahkan Tidore, Jailolo, dan Bacan juga harus mengikutsertakan seluruh armada tempur mereka untuk berunding bersama di Moti sesuai apa yang telah kami sepakati bersama..."

            "Seperti saling mengukur kemampuan tempur satu sama lain..."

            "Begitulah kenyataannya Diponegoro, persatuan kami mungkin belum begitu kokoh tapi paling tidak kesamaan dalam ketaatan kepada Tuhan yang mempersatukan kami. Untunglah ada Nuku, Sultan Tidore yang sangat pandai dan bijak."

            "Ya, aku sudah mendengarnya.. dia bahkan berhasil memberikan pengaruh di Pua-pua."

            "Itulah mengapa dia yang kami pilih untuk menjadi Sultan Mamluk pertama. Dia bisa menjadi penengah antara kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa di kepulauan ini,"

"tapi tentu ada yang enggan untuk bersatu dan mensyaratkan sesuatu yang kadang susah untuk dipenuhi. Pemilihan Pulau Moti sebagai tempat perundingan pun harus berjalan agak alot di awal."

"tapi Ternate mendukung penuh Tidore, hal yang bisa sangat membantu keberlangsungan Kesultanan Mamluk nantinya."

            "Hmm.. dari dulu memang Ternate dan Tidore yang terbesar..." Imam Hassan ikut berkomentar.

            "Saling menghargai dan menghormati, bahkan dengan kerajaan lain yang lebih kecil. Hal itu yang bisa mempersatukan."

            "Yah, kalau tidak ada yang perlu dibahas lagi kurasa kita semua butuh segera beristirahat..." ucapnya sambil menyeruput tenggukan terakhir minuman rempah yang sangat menghangatkan.

            Malamo sepertinya akan mengakhiri perbincangan ini, sebelum Diponegoro dengan agak bercanda berkata,

"Tidak membahas Malaka yang tak jadi mampir hari ini?" matanya mengarah ke Imam Hassan dan Malamo. Ketiganya memilih tersenyum dan bangkit dari kursinya masing-masing untuk menuju ke tenda bersama-sama, meninggalkan tanda tanya besar bagi Abdi dan Dalem yang hanya saling pandang. Keduanya menahan diri untuk tidak berkata apa-apa dan memandang bintang-bintang yang sudah meninggi, suasana cukup sepi karena para prajurit sudah beristirahat.

            Kehadiran kembali Sudirman membuat sedikit kegembiraan muncul, ketiganya hanya sempat mengobrol sebentar sebelum pertemuan di Mercusuar.

            "Alhamdulillah,selesai juga, ngantuk aku Di, Lem," bisik Sudirman yang dibalas Abdi dan Dalem dengan anggukan dan senyuman riang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun