Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 26, Bumi Kenyalang) - Kompetisi Satria

8 April 2024   09:06 Diperbarui: 8 April 2024   09:10 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Matanya fokus melihat lawan yang mulai sempoyongan. Dihitungnya sudah delapan belas kali ia mendaratkan pukulan ke arah lawannya itu, tapi ia masih bisa berdiri dan mengangkat pedang kayunya. Dalem tak sempat merasakan kondisi tubuhnya sendiri, yang ia tahu pastilah sudah memar di mana-mana. Pria itu mendaratkan serangan jauh lebih banyak dibandingkan dirinya. Ia yakin dengan satu pukulan lagi pasti bisa menjatukan pria itu, perasaan yang sama ketika ia mematahkan gada kayu ketiganya.

            "Kuat.. Sangat kuat.. Kalau saja gada tadi terbuat dari besi..." Dalem berkata perlahan,

SWUSSH! TAKK!!

dengan sigap ia masih bisa mengangkat tangan kiri untuk menaruh tameng tepat di tempat sabetan pedang itu datang. Nyaris saja mengenai bahu kiri atau kalau tepat sasaran mungkin matanya sudah bonyok saat ini. Ia mengambil beberapa langkah mundur ke belakang. Dicarinya di deretan senjata yang bergeletakan dan yang ditaruh di papan panjang belakang, masih belum juga ditemukannya.

            "Kalau saja kedua gada itu tadi dari besi, pastilah aku sudah kalah dari awal," kata pria tadi. Otot-otot dada dan perutnya menegang, menunjukkan bentuk keperkasaan.

            Pria ini berpengalaman, begitu pikir Dalem. Sambil maju ke arah Dalem yang masih mengatur nafas, ia kembali menebas pedang kayunya, kali ini ke arah kaki yang gerakannya terlihat sedikit melambat.

            "Kau.. anak.. baru!" setiap kata mewakili satu tebasan ke arah bawah, sayangnya ukuran ternyata tidak mengurangi kelincahan sasarannya.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Harusnya.. kau..." ia gantian mengincar kaki kanan yang untuk sesaat terlihat sangat dekat.

            "Mati saja!"

            TAKK!!

            Bukan kaki ataupun perisai yang mengenai pedang itu tapi pegangan gada yang masih dipegang Dalem namun tanpa bola bulat besar di ujung.

            DUGH!

            Kali ini serangan balik Dalem menggunakan tameng mengenai kepala sang penyerang dan berhasil memukulnya mundur beberapa langkah, ia tampak seperti kehabisan kesabaran. Dalem segera menggunakan kesempatan itu untuk sekali lagi mencari dimana benda yang ia incar berada.

            "Kauu... " si penyerang seolah akan berlari, tapi tubuhnya yang kekar seperti tak mau mendengar perintah. Ia hanya bisa berjalan cepat menuju mangsanya.

            "Sudah hampir satu jam..DASAR GENDUT! TAK BISAKAH KAU JATUH MESKI HANYA SEKALI!?"

            Sesaat Dalem hanya terdiam di tempat, corak berwarna kemerahan terlihat di kedua telinganya.

            "Ah! Kau tak suka ternyata..." si penyerang semakin mendekat.

            "Kalau begitu.. rasakan ini GENDUT!" kali ini tebasannya pas di atas kepala.

            Tapi Dalem tidak mengangkat tamengnya, justru ia melompat dan berguling ke arah kanan, kemudian segera berlari.

            "Hoo.. ingin mengambil gada lagi ternyata..." si penyerang melihat ke arah Dalem setelah berbalik ke belakang, tampaknya tahu apa yang direncanakannya.

            Sesaat ia melihat punggung besar itu berlari di depan. Dengan mengambil beberapa nafas yang dalam ia bersiap untuk berlari, dilihatnya jarak Dalem dengan gada lumayan cukup jauh.

            BUK!

            Di depan, Dalem terjatuh, entah karena tersandung senjata-senjata rusak yang sudah mereka gunakan atau karena kehilangan keseimbangan. Suara sorakan dari sekeliling mereka seperti menggema, inilah saat yang tepat untuk mengakhiri pertarungan panjang yang melelahkan, begitu pikir semua yang menonton.

            "Akhirnya dia jatuh..." segenap tenaganya disiapkan.

            Ia pun lari sambil berteriak, derap kakinya kini terdengar sangat cepat. Matanya melihat gada baru di depan masih berjarak lima belas meter dari tempat Dalem berada, ia yakin bisa memukul Dalem tepat di kepala belakang dan membuatnya pingsan.

            "MATILAH KAU!" tiga meter lagi ia bisa memukul Dalem.

            Tiba-tiba Dalem berbalik dan si penyerang melihat dua tameng berada di tangan kiri dan kanan. Sabetan pedang sudah tak terhentikan dan hanya mengenai salah satu tameng yang melindungi sasarannya dengan amat rapat.

            Dalem segera memukul balik si penyerang sambil berdiri, yang kali ini sempoyongan. Digenggamnya kedua tameng di tangan erat-erat dan didorongnya ke arah depan. Dalem berlari, membuat lawannya jatuh tersungkur setelah sempoyongan menahan dorongan Dalem yang tiba-tiba tadi.

            Kini, keadaan pun berbalik. Si pemegang pedang kayu jatuh terjerembab di tanah menahan berat tubuh Dalem dibalik kedua tameng yang menindihnya. Ia dapat mendengar suara nafas yang cukup berat dari balik tameng itu, tapi ia tak dapat melakukan apa pun saat ini.

            "Kau.. melupakan sesuatu..." ucap Dalem terengah sambil terus menekan lawannya ke bawah.

            "Kau ingat kan bagaimana aku memenangi semua pertarungan sebelum ini..."

            Mata sang lawan sedikit terlihat diantara kedua tameng, mulutnya tertindih sehingga ucapannya tak jelas terdengar.

            "Yah.. kecuali di semifinal, ia memang hebat. Tapi kau..." mata keduanya bertemu, Dalem tahu betul itu adalah mata seseorang yang ketakutan.

            Dilepasnya pegangan tameng di tangan kanan lalu diangkatnya tangan yang bebas itu ke udara.

            "Tak... Pantas.. Meraih..." pukulan bogem mentah Dalem yang berkali-kali tepat mengenai muka lawannya.

            "Juara.. Ketigaa!!!" dipukulnya lagi muka itu dengan sekuat tenaga.

            PRIIIITTTT!!

            Terdengar bunyi peluit panjang dan beberapa orang segera berlari ke tengah lapangan tempat keduanya bertarung. Dalem langusng tersadar, amarah membuatnya lupa bahwa ini hanya sekedar kompetisi, bukan pertarungan sebenarnya.

            Dalem merasakan beberapa tarikan dari orang-orang yang mendekat kepadanya, kedua tangannya dipegang.

            "Cukup! Cukup! Lawanmu sudah pingsan!" suara itu seperti dikenalnya.

            "Oh, iya.. aku tahu.. terima kasih tuan juri..." Dalem melihat ke samping dan juri hanya tersenyum.

            "Lukamu cukup banyak.. meskipun tidak sebanyak ketika di semifinal."

            "I.. iya.. tapi tidak selama ini..." Dalem kembali melihat lawannya yang sedang digotong untuk mendapatkan perawatan.

            "Dia lincah sekali..."

            "Hahaha, selamat kalau begitu! Kau berhasil menjadi Juara ketiga di Kompetisi SATRIA tahun ini!" juri menarik tangan kanan Dalem yang lebih tinggi darinya ke udara, sementara itu kedua orang yang menahannya tadi melepaskan pegangannya.

            Suara sorakan dari kejauhan terdengar, beberapa diantaranya bisa dikenali berasal dari para prajurit Samudera dan Palembang Darussalam yang sudah kalah di babak-babak awal.

            "HEBAT KAU DALEM..!"

            "PANTAS MEMANG JUARA TIGA !!!"

            "UNTUNG KAMI MENGIZINKANMU UNTUK IKUT..!"

            Beberapa kata sampai ke telinga Dalem, ia tersenyum sangat lebar dan ikut mengangkat tangan kirinya ke atas.

            "YAAYYYY!!!"

            Suara para penonton semakin keras, semangat Dalem kembali meskipun ia merasa sangat lelah.

            Dalem pun dibawa ke ruang kesehatan yang berada di tenda peserta, berlawanan arah dari tempat menonton. Matanya seperti mencari ke arah para penonton, tapi ia kembali tak menemukan apa yang dicarinya.

            "Di mana sih dia.. kemarin muncul tiba-tiba.. dari langit lagi..." dilihatnya ke atas dari tadi tidak muncul seorang pun yang berparalayang.

            Perlahan rasa sakit itu datang kembali ketika ia dan dua orang tabib memasuki tenda cukup besar, seorang lagi kemudian keluar untuk mengambil perban. Dalem merasakannya di lengan kiri, luka memarnya berdenyut-denyut. Dilihatnya lagi kini sudah berwarna merah gelap kebiruan. Pada awal pertarungan tadi belum sempat ia memegang tameng, hanya sebuah gada cukup besar yang ternyata tidak bisa mengimbangi kecepatan pedang lawan. Di tiga pertarungan awal sebelumnya gada bisa ia gunakan untuk bertahan dan menyerang sekaligus, tapi di pertarungan keempat dan kelima ia terpaksa harus menggunakan senjata tambahan.

            Angin sore benar-benar begitu sejuk, apalagi letak tenda pengobatan berada tepat di balik pepohonan rindang. Dalem terus memperhatikan bukit di sebelah, bahkan setelah ia memasuki tenda, sudah empat hari ini Abdi tidak terlihat.

            "Layang-layang pun tak ada..." ucapnya tanpa sadar sambil duduk di dipan dalam tenda.

            "Semue nonton pertandingan final kompetisi SATRIA hari ni, tidakke awak dengar tadi tuan Dalem?" ucap tabib yang memeriksa luka-lukanya. Dalem sudah terbiasa, karena sudah semenjak empat hari yang lalu ia selalu ke tenda pengobatan setelah bertanding. 

            "Ah, iya hari ini terakhir ya..."

            "Selamat ye tuan Dalem karena berhasil menjadi juare ketige!" senyum tabib terlihat ketika ia memeriksa luka di kaki.

            "Hehehe, Alhamdulillah..."

            "Pertandingan tadi cukup lame karene seimbang, dan seru!"

            "Setelah hancur tige gada tu, saye deg-degan sekali. Saye kire tuan Dalem tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan..."

            Dalem membiarkan tabib terus berbicara sementara luka dikakinya dibersihkan dengan semacam ramuan obat herbal.

            "Saye pikir tuan Dalem benar-benar berlari ke gada di ujung dekat penonton, ternyate tuan Dalem mengincar tameng..."

            Dalem sedikit tersipu, "Ehm.. i.. iya..." padahal ia tadi terpeleset, namun beruntung tepat di tanah tempat ia jatuh tergeletak satu tameng besar berukuran sama dengan yang dibawa tangan kirinya.

            "Orang asli sini ya dia?" Dalem bertanya melihat ke tenda sebelah.

            "Iye, betul.. kekar dan lincah, karena mereka biase hidup bersama alam..."

            "Eh, tak dendamke? kate-katenya memang kasar tadi, tapi itu hanye terjadi saat pertandingan saje kok tuan Dalem..."

            "Eh, tentu.. maksudku tidak kok. Itu biasa, apalagi di babak-babak awal..."

            "Di luar mereka orang-orang yang baik, janganlah tuan Dalem merase dendam..."

            "I..iya jangan khawatir, itu biasa kok..." Dalem teringat latihan bela dirinya di Mataram, latihan mental merupakan salah satu latihan utama ketika latih tanding.

~

            Malam itu di pelataran sehabis sholat isya' sorak-sorai para prajurit Samudera dan Palembang Darussalam yang mengikuti kompetisi SATRIA dari awal terdengar begitu ramai. Tapi tidak seluruh prajurit yang ada ikut merayakan keberhasilan Dalem meraih juara ketiga, hanya mereka yang dari awal mengikuti kompetisi ini saja yang berada di pelataran. Mereka yang merayakan berkumpul di tengah-tengah sambil menyalakan api unggun, komandan Ario Damar terlihat diantaranya. Bersama-sama para prajurit menyanyikan lagu keprajuritan dan diakhiri dengan sholawat. Para prajurit yang tidak ikut serta cukup banyak dan sudah kembali ke tenda masing-masing, belum lagi beberapa kompi yang ikut bersama dengan komandan Hassan kembali ke kapal untuk mengecek peralatan. Dalem sendiri terlihat sangat gembira, apalagi ia mendapat hadiah karena telah menjadi juara ketiga. Palu gada yang berukuran cukup besar diangkatnya beberapa kali ke atas diiringi suara sorakan para prajurit di sekelilingnya, kali ini dengan ujung bulat yang benar-benar terbuat dari baja.

            Setelah beristirahat dengan nyenyak malam itu, Dalem terkejut ada suara dari samping tempat tidurnya saat subuh datang.

            "Lem! Bangun! Heh, sudah subuh!" suara itu amat dikenalnya dan dengan nada yang sama pula ia sudah mendengarnya ratusan kali.

            Matanya terbuka, dilihatnya Abdi duduk di sebelah kiri.

            "Aduh! Sa.. sakit Di! Jangan pegang yang sebelah situ! Belum sembuh yang itu!"

            "Salahnya sendiri gak bangun-bangun!"

            "Weh, makin banyak aja Lem luka-lukamu! Baru ditinggal empat hari udah bonyok gini!"

            "Gimana? Akhirnya kalah ya?" tanya Abdi sedikit menahan tawa

            "Enak aja! Juara tiga! Itu tuh.. aduh..." Dalem menjawab sambil berusaha duduk, menggerakkan dagunya ke arah gada yang tergeletak di sudut tenda, tampak sangat megah.

            "Waaah bagus gadanya.. punya siapa itu.. eh apa!? Juara tiga??" Abdi seakan tak percaya.

            Abdi langsung berdiri dan berjalan ke pojok, mencoba mengangkat gada berujung bola baja itu.

            "Wah, ini sekelas dengan punyanya patih Mataram Lem! Manteb!"

            "Iya kan? Aku aja ngrasa kok, itu kalau dipukulkan ke musuh langsung hancur kepalanya Di!"

            Keduanya tertawa, mereka amat sangat senang bertemu satu sama lain.

            "Eh, Di, kemana sih kemarin? Bantuin Imam Hassan menyiapkan peralatan di kapal ya?" Dalem bertanya sambil mengusap matanya yang masih mengantuk, ia pun menguap.

            "Yah, kan lusa kita sudah akan berangkat lagi Lem ke Terna.. ee.. Mamluk, ya sekarang?"

            "Iya Di, maaf ya aku ga bisa bantu kamu. Pertandingan kemarin sungguh berat..."

            "Oh iya, habis subuh ceritain ke aku ya gimana pertandingan di kompetisi terakhir. Seingatku terakhir kau lolos lomba berkuda."

            "Pasti, jangan kuatir!" jawab Dalem bersemangat.

            "Jangan dilebih-lebihkan lho ceritanya!"

            Keduanya bangkit dan menuju tempat wudhu, Abdi terlihat meregangkan otot.

            "Wah, pegal juga kemarin lalu nyobain alat yang luar biasa..." ucapnya.

            "Hah, paralayang lagi? Di mana?"

            "Eh, ehm, yaa.. di sekitar kapal sih, ehm.. biar tidak bosan membantu awak kapal merapikan barang-barang" Abdi menjaga jawabannya supaya tidak mencurigakan.

            "Yah, wajar sih, pasti membosankan, sekali lagi maaf ya Di ga bisa ikut bantu..."

            "Tenaang! Yang penting kamu menang Lem, iku sik penting!" logat jawa Abdi muncul.

            "Wooh, wis sue Di gak nganggo boso jowo," keduanya dengan riang meneruskan obrolan bahkan lama setelah sholat subuh berjamaah.

            Dalam hati, Abdi berpikir, untung Dalem tidak bertanya, 'kok bisa terbang Di, di pantai kan landai semua enggak ada tempat tinggi'.

~

            Sisa dua hari dimanfaatkan betul oleh seluruh pasukan yang berada di tenda untuk merapikan seluruh perlengkapan, mengubur dan membakar sampah-sampah sisa makanan dan kakus, membersihkan lapangan yang dipakai untuk mendirikan tenda, sehingga ketika sudah saatnya meninggalkan basecamp semuanya kembali seperti sebelum mereka gunakan. Abdi dan Dalem terlihat ikut sibuk membantu di sana-sini, untung barang bawaan keduanya hanya sedikit. Sekarang ditambah dengan gada besar dan satu set perlengkapan paralayang. Berpamitan dengan petugas jaga yang berada di sana dan juga beberapa mahasiswa yang ikut turun membantu, kedua komandan memutuskan mereka akan ke kapal malam hari dan menginap semalam di kapal, sebelum berangkat pada keesokan harinya.

            Abdi dan Dalem menempati kamar yang sama saat mereka berangkat, tidak berubah sama sekali, hanya diisi dua buah kasur empuk dan satu jendela bulat. Paginya rombongan ini meneruskan perjalanan ke Mamluk. Semua tampak cerah ketika perjalanan dimulai kembali, Abdi dan Dalem berada di dek belakang menikmati pemandangan yang indah ketika kesembilan kapal melaju laut lepas.

            "Di, benda apa sih ini di dek belakang? mengganggu pemandangan saja, aku kan jadi gak bisa melihat bebas ke samping kanan dan kiri kalau lagi santai."

            "Eh, ooh ituu.. Hmm, itu eee.. nanti deh Lem aku kasih tahu, panjang ceritanya."

            "Heh!? Apa maksudmu Di?"

            "Sudahlah, yang penting suasana yang indah ini masih bisa kita nikmati, tinggal naik bangku aja di dek belakang kalau mau lihat ke samping kiri atau kanan Lem..." ucap Abdi diiringi suara rangkong yang semakin jauh terdengar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun