Perlahan rasa sakit itu datang kembali ketika ia dan dua orang tabib memasuki tenda cukup besar, seorang lagi kemudian keluar untuk mengambil perban. Dalem merasakannya di lengan kiri, luka memarnya berdenyut-denyut. Dilihatnya lagi kini sudah berwarna merah gelap kebiruan. Pada awal pertarungan tadi belum sempat ia memegang tameng, hanya sebuah gada cukup besar yang ternyata tidak bisa mengimbangi kecepatan pedang lawan. Di tiga pertarungan awal sebelumnya gada bisa ia gunakan untuk bertahan dan menyerang sekaligus, tapi di pertarungan keempat dan kelima ia terpaksa harus menggunakan senjata tambahan.
      Angin sore benar-benar begitu sejuk, apalagi letak tenda pengobatan berada tepat di balik pepohonan rindang. Dalem terus memperhatikan bukit di sebelah, bahkan setelah ia memasuki tenda, sudah empat hari ini Abdi tidak terlihat.
      "Layang-layang pun tak ada..." ucapnya tanpa sadar sambil duduk di dipan dalam tenda.
      "Semue nonton pertandingan final kompetisi SATRIA hari ni, tidakke awak dengar tadi tuan Dalem?" ucap tabib yang memeriksa luka-lukanya. Dalem sudah terbiasa, karena sudah semenjak empat hari yang lalu ia selalu ke tenda pengobatan setelah bertanding.Â
      "Ah, iya hari ini terakhir ya..."
      "Selamat ye tuan Dalem karena berhasil menjadi juare ketige!" senyum tabib terlihat ketika ia memeriksa luka di kaki.
      "Hehehe, Alhamdulillah..."
      "Pertandingan tadi cukup lame karene seimbang, dan seru!"
      "Setelah hancur tige gada tu, saye deg-degan sekali. Saye kire tuan Dalem tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan..."
      Dalem membiarkan tabib terus berbicara sementara luka dikakinya dibersihkan dengan semacam ramuan obat herbal.
      "Saye pikir tuan Dalem benar-benar berlari ke gada di ujung dekat penonton, ternyate tuan Dalem mengincar tameng..."