Mohon tunggu...
Regina Putri Shaleha
Regina Putri Shaleha Mohon Tunggu... Lainnya - Let's read hard!!

IAIN Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hukum Taklifi dan Wadh'i

1 November 2020   12:38 Diperbarui: 2 Juni 2021   02:16 13170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, sedangkan yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh'i."

Hukum pada pada kata bermakna "penetapan tentang sesuatu kepada sesuatu yang lain". Seperti pada kasus penetapan hukum halal meminum susu dan haram meminum khamr.

Ketentuan seperti itu sudah disyari'atkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan umat manusia agar tidak terjadi kekacauan dalam beragama dan bermasyarakat. 

Hukum-hukum itu kemudian diterapkan untuk memperoleh ketenteraman dan kebahagiaan hidup. Hal ini bahkan jelas ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:

Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu" QS. An-Nisa:105

Tata kehidupan memang perlu diatur dan diseimbangkan dengan hukum Islam karena selain hidup di dunia, manusia juga akan kekal tinggal di akhirat. Kehidupan umat manusia di akhirat diakumulasikan dari pahala-pahala yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia.

Dalam ilmu ushul fikih, hukum dibagi menjadi dua macam, yaitu taklifi dan wadh'i. Ketentuan syar'i terhadap para mukallaf ada tiga bentuk yaitu tuntutan (al-iqtida'), pilihan (al-takhyir) dan wadh'i. 

Ketentuan yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhyiri, sedangkan yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut hukum wadh'i.

I. Hukum Taklifi

Hukum taklifi yaitu hukum yang ditetapkan untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf. Hukum taklifi dapat dibagi menjadi lima, diantaranya:

a. Hukum Wajib

Hukum wajib adalah tuntutan kepada para mukallaf yang harus dilakukan dengan konsekuensinya akan mendapat pahala dan ketika mereka tidak melakukan akan mendapat dosa. Macam-macam wajib dapat dilihat dari berberapa sisi:

- Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dapat dibagi dua:

*Wajib mu'ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannnya misalnya membaca fatihah dalam shalat.

Baca juga : Hukum Pembagian Taklifi dan Wadh'i

*Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan tiga alternatif, antara memberi makan 10 orang miskin atau member pakaian 10 orang miskin atau memerdekakan budak.

- Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu dtentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa ramadhan dan adakalanya tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah.

*Wajib yang ditentukan waktunya terbagi menjadi dua :

Wajib mudhayyaa, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan untuk itu. Misalnya, bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan.

Wajib muwassa', waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut. Misalnya, shalat zhuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat tersebut jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal ini memberikan kemungkinan kepada mukalaf untuk leluasa menunaikan shalatnya disembarang waktu dalam batas waktu yang ditentukan diawal waktu dan dipertengahan atau juga dipenghujung nya.

- Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada dua bagian:

*Wajib 'aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya, mengerjakan shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu 'ain.

*Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya mendirikan tempat peribadatan, mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan shalat jenasah dan lain sebagainya. Wajib ini disebut juga fardhu kifayah.

- Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib itu terbagi kepada dua:

*Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaat shalat, dan lan-lain.

*Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah, berjihad, tolong menolong dan lain sebagainya.

Baca juga : Pembagian Hukum Islam

b. Haram

Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa ('iqab) dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan dan lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih, itsmun, khati'ah.

Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:

- Haram li-dzatih

Haram li-dzatih atau haram karena perbuatan itu sendiri atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada intinya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnnya, membunuh, berzina, mencuri dan lain-lain.

- Haram li-ghairihi aridhi

Haram li-ghairihi aridhi atau haram karena berkaitan dengan perbuatan lain atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum'at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa ramadhan yang semulanya wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa.

c. Mandub

Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa ('iqab). Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada:

- Sunat'ain atau sunat Kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunnah rawatib.

- Sunat muakkad, yaitu perbuatan yang sunat yang senantiasa dikerjakan oleh rasul atau lebih banyak dikerjakan rasul dari pada tidak dikerjakannya. Perbuatan yang memiliki penekanan kuat untuk dilakukan. 

Menurut Ulama Hanafiyah, sunnah muakkad adalah yang semakna dengan yang wajib. Hanya saja, tingkatannya sedikit di bawah fardhu, yaitu sesuatu yang ditetapkan dalil namun masih memiliki kesamaran. Misalnya shalat sunat Hari Raya.

Baca juga : Mengendalikan Diri dari yang Halal apalagi yang Haram

- Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunnat yang tidak selalu dikerjakan rasul. Perbuatan yang memiliki penekanan tidak terlalu kuat untuk dilakukan. Misalnya sedekah pada fakir miskin.

d. Makruh

Maksud dari makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, mendapat pahala, tapi orang yang tidak meninggalakannya tidak mendapat dosa ('iqab). Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap dan lain sebagainya.

Pada umumnya, ulama membagi makruh pada dua bagian yaitu:

- Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut diatas.

- Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath'i. Misalnya, bermain catur, memakan kala dan memakan daging ular (menurut mazhab hanafiyah dan malikiyah).

e. Mubah

Mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz. Mubah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

- Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara', dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita dengan sindiran-sindiran yang baik. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah pada QS. Al-Baqarah 2: Ayat 235 yang artinya:

"Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. 

Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia kecuali sekadar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah sebelum habis masa idahnya. 

Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.."

Baca juga : "Ahlussunah wal-Mubah"

Perbuatan yang tidak ada dalil syara' menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qainah-menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan untuk wajib. Misalnya, perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji. Telah dikatakan dalam firman Allah pada QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 2, yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. 

Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). 

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya."

- Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari Syari' tentang kebolehan atau tidak kebolehannnya. Hal ini dikembalikan kepada hukum al-ashliyah (bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama ushul fiqih membuat kaidah "menurut asalnya segala sesuatu itu adalah mubah".

II. Hukum Wad'I

Hukum wadh'i adalah firman Allah SWT. Yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik yang bersifat sebagai sebab, syarat, atau penghalang maka yang demikian ini disebut hukum wadh'i.

Oleh karenanya, ulama membagi hukum Wadh'i ini kepada: sebab, syarat, mani'. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah.

a. Sebab

Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar'I sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum. Ulama membagi sebab menjadi dua bagian :

Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat. firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain pada QS. Al-Isra' 17: Ayat 78 yang artinya:

"Laksanakanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula sholat) subuh. Sungguh, sholat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)."

Sebab yang berada dalam kesanggupan sebagai seorang mukallaf. Sebab ini dibagi dua:

- Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa. Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab boleh tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah pada QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185, Artinya:

"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. 

Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. 

Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."

- Yang termasuk dalam hukum wadh'i seperti perkawinan menjadi sebabnya warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua dan lain sebagainnya.

Baca juga : Hukum Syara' dan Pembagiannya

b. Syarat

Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syara' tetapi keberadaan hukum syara' bergantung

kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara'. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara'. 

Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.

Misalnya, wajib zakat perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila-syarat berlakunya satu tahun itu-belum terpenuhi, zakat itu belum wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.

Ulama Ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa bagian:

- Syarat hakiki (syar'i)

Yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama belum dilakukan. Misalnya, wudhu menjadi syarat sahnya shalat dan menjadi saksi syarat sahnya nikah. Syarat hakiki ini dibagi ke dalam dua bagian:

*Syarat untuk menyempurnakan sebab.

Misalnya, adanya unsur kesengajaan dan permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishas. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat.

Baca juga : Pengertian dan Syarat Sah Wajib Zakat

Adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad perkawinan yang menjadi sebab halalnya "berkumpul" antara seorang laki-laki dan perempuan.

*Syarat untuk menyempurnakan musabbab.

Misalnya, seperti wudhu dan menghadap kiblat merupakan syarat yang menyempurnakan hakikat shalat.

- Syarat ja'li

Yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. 

Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang-dari seorang penjual-dengan syarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima oleh si penjual jual-beli tersebut dapat dilakukan.

Syarat yang dibuat oleh orang yang melakukan transaksi (ja'li) ini disebut syarat kamal (syarat penyempurnaan), bila hal itu dimaksudkan untuk menambah kesempurnaan masyrutnya, yakni ketiadaan tidak akan menyebabkan gagalnya masyrut, tetapi hanya menjadikan kurang sempurnanya masyrut tersebut. 

Selain itu, syarat seperti ini dapat disebut syarat sah bila syarat tersebut dijadikan untuk mensahkan masyrutnya. Artinya, bila tidak ada syarat, tidak akan terwujud masyrut.

Perlu ditambahakan bahwa ada pekerjaan yang tergantung adanya kepada sebab dan syarat sekaligus. Telah adanya sebab tetapi syarat belum ada, maka sebab tersebut tidak dapat bekerja atau tidak dapat mempengaruhi kepada pekerjaan itu. 

Wudhu adalah syarat sah shalat magrib, misalnya dan terbenamnya matahari adalah sebab wajibnya shalat itu. Sebelum berwudhu, tidak sah mengerjakan shalat magrib meskipun matahari telah terbenam di ufuk barat.

c. Mani'

Mani' adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan (alqarabah) menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi).

 Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masingmasing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut.

Artinya: "Pembunuh tidak mendapat waris."

Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan. Perbuatan membunuh itu merupakan mani' (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh.

Baca juga : Pembagian Warisan yang Dianggap Tabu

Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani' sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari' menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani') dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk mengerjakannya.

Sebagai misal, shalat Dhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari (sebab) dan telah berwudhu' (syarat), Tetapi, karena orang yang akan mengerjakan itu sedang haid (mani'), maka shalat Dhuhur itu tidak sah dikerjakan. 

Demikian juga halnya, apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu'), tetapi penyebab wajibnya shalat Dhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir), maka shalat pun belum wajib. 

Meskipun telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani', yaitu haid, maka shalat Dhuhur pun tidak bisa dikerjakan. Kemudian, Al-Amidi menambahkan pembicaraan mengenai sah dan batal, serta azimah dan rukhshah kedalam pembagian hukum wadh'i ini.

d. Sah dan Batal

Secara harfiah, sah berarti "lepas tanggung jawab" atau "gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat". Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah syara'. 

Sebaliknya, batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala.

Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-kurangnya tidak dilarang. 

Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan enurut ketentuan yang ditetapkan syara'dinamakan sah dan sebaliknya perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta betentangan dengan ketentuan syara' dinamakan batal.

Kalau perbuatan yang dituntut syara' dikatakan sah, orang yang melaksanakanya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah ia dari tanggung jawab, tidak dituntut hukuman, baik didunia mapun diakhirat, bahkan ia mendapat pahala di akhirat kelak. 

Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta bertentangan dengn ketentuan syara' tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang melakukannya pun dituntut, baik di dunia maupun di akhirat.

Menurut para ulama, setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini, termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok yaitu memenuhi tuntutan syara' dan mewujudkan kemaslahtan hidup.

Namun, sebagai ulama di kalangan madzab hanafi mengatakan bahwa dalam tujuan perjanjian, tujuan kedua lebih menonjol, karena itu mereka mebedakan antara ibadah dan muamalah. Dalam ibadah mereka sependapat dengan para ulama dikalang madzhab syafi'i, yaitu hanya berlaku dua hal yaitu sah dan batal.

Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib mengqadha. Namun, dalam perjanjian terdapat tiga macam; perjanjian yang tidak sah dibagi menjadi dua macam yaitu batal dan fasid. Perjanjian batal yaitu perjanjian yang rukun dan syaratnya kurang, sedangkan perjanjian fasid ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya. 

Perjanjian jual-beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum memasuki usia mumayiz (dewasa) atau memperjuala belikan sesuatu yang tidak ada dimakan perjanjian yang batal. Jual-beli denga harga yang tidak ditentukan jumlajnya maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang fasid. 

Akad nikah dari orang yang belum mencapai usia mumayiz (dewasa) atau menikah dengan wanita yang haram dinikahi padahal dia telah mengetahui, maka perjanjian itu dinamakan perjanjian fasid, suami wajib membayar mahar, istri tetap menjalankan masa iddahnya, dan keturunan anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.

e. Azimah dan Rukhshah

- Pengertian Azimah

'Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan
Allah kepada seluruh hamba-Nya di permulaan. Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada peraturan lain yang mendahuluinya. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.

Baca juga : Dialog Jin Sufi, Bukti Betapa Kritisnya Golongan Jin sebagai Makhluk Mukalaf

Ulama dari kalangan Syafi'iyyah mengatakan bahwa 'azimah itu adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan. Misalnya, jumlah rakaat shalat Dhuhur adalah empat rakaat. Jumlah raka'at ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat Dhuhur. Hukum tentang rakaat shalat Dhuhur adalah empat rakaat disebut dengan 'azimah

- Pengertian Rukhshah

Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah. Dengan kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok (azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.

- Hukum Azimah dan Rukhshah

Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukhshah seorang mukalaf diharuskan mengambil azimah. Karena memang begitulah ketentuan-ketentuan pokok dari Allah dalam mensyariatkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhshah. 

Misalnya, seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai, yang hukum asal nya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang tersebut. 

Namun, dalam keadaan terpaksa orang itu dberi kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rukhshah tersebut adalah mubah.

Ketentuan semacam ini dapat dilihat dalam firman Allah pada QS. Al-Baqarah 2: Ayat 173 yang artinya:

"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Maknanya, Allah membolehkan kita memakan apa yang diharamkan ketika terpaksa. Begitu juga ayat 101 surat Al-Nisa'

Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di Bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar sholat jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu."

Maknanya, Allah membolehkan kita mengqashar shalat ketika sedang dalam perjalanan. Ketika ayat ini menyatakan bahwa rukhshah itu hukumnya boleh bukan wajib.

Baca juga : Pembelajaran PAI : Solat Jama' dan Solat Qashar

- Maksud Rukhshah

Rukhshah diberikan oleh syar'i sebagai keringan bagi mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara azimah dan rukhshah. Namun, adakalanya pula rukhshah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain. 

Misalnya, memakan daging babi merupakan rukhshah dalam keadaan terpaksa dan itu satu-satunya jalan untuk memelihara jiwa maka saat itu diwajibkan hukunya. Dalam keadaan demikian, rukhshah bisa berubah menjadi azimah, yaitu wajib menyelamatkan diri dari kehancuran atau haram membiarkan diri jatuh pada kecelakaan.

- Macam-Macam Rukhshah

Bila dilihat dari sisi hukumnya ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah membagi Rukhshah kepada beberapa bagian. Menurut Ulama Syafi'iyyah hukum Rukhshah terbagi kepada:

*Rukhshah wajib.

Contohnya memakan bangkai dalam keadaan darurat atau meminum khamar bagi orang yang tenggorokannya tersekat sehingga tidak bisa bernafas. Maka jika berada dalam kondisi ini hukumnya wajib untuk mengambil Rukhshah untuk memelihara jiwa. (Wahbah alZuhaily: 1996: 111, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad alNamlah: 2001, 77, Abdul Haq, 2006, 182)

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 106:

Artinya: "Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar."

*Pembolehan meninggalkan yang wajib Karena uzur, dimana jika melaksanakan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukalaf. Misalnya orang yang sakit atau sedang dalam berpergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan ramadhan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah :184

Artinya: "(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. 

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

*Pemberian pengecualian sebagian, berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam penghidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jual-beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. 

Pada prinsipnya, jual-beli seperti itu tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu transaksi jual-beli yaitu barang yang akan diperjual-belikan itu ada disaat transaksi dilakukan, tetapi karena hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka perikatan seperti itu disahkan secara rukhshah. Ini sesuai dengan hadist nabi:

"Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun beliau member dispensasi untuk jual beli pesanan"

Baca juga : Pembaharuan Hukum Islam melalui Yurisprudensi

*Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang meberatkan umat terdahulu, misalnya memotong bagian kain yang kena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di masjid dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak berlaku lagi bagi umat islam, sebagai keringanan (rukhshah) bagi mereka. 

Karena itu, jika ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam, mereka akan banyak sekali menemukan kesulitan yang memberatkan. Hal ini di insyaratkan Allah dalam surat Al-Baqarah:286

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun