"Untuk sekarang, belum."
"Kau masih marah?"
"Sudah tak begitu. Terakhir kali dia menangis di depan rumah sambil meminta maaf padaku dan Ayah. Aku langsung menghampirinya, namun Ayah tetap diam."
Pakcik mendengus pelan lalu menghentikan langkahnya di depan kolam yang tak jauh dari mesjid. Ia mencelupkan  kakinya sejenak untuk membersihkan pasir yang sempat menempel di kakinya. Aku juga begitu.
"Laki-laki itu benar-benar meninggalkan  ibumu?"
"Ya, Ibu pernah mengatakannya."
"Hah, keluargamu berantakan, namun kau tak harus kacau pula." Pakcik melanjutkan.
"Ya, soal Sofi, saya tak berniat mengungkit-ungkit lagi masakan itu. Saya sudah mencoba untuk melupakannya."
"Bukan mencoba yang kau butuhkan. Kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Coba-coba, kau hanya akan menjadi kacung perasaan, paham, kau? Soal jodoh, itu Allah yang mengatur. Mungkin saja suatu saat ada keajaiban. " Ucapnya tegas.
"Tapi, hati saya telah jatuh pada gadis itu, Pakcik."
"Jika jawabannya iya, kau akan mendapatkannya. Namun jika tidak, mungkin kau punya jodoh yang lain."