Mohon tunggu...
Redha Mardhatillah
Redha Mardhatillah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Steps to change

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Perindu Senja

12 Januari 2019   13:56 Diperbarui: 12 Januari 2019   14:30 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semburat jingga di batas cakrawala kembali hadir menemani senja yang hampir menggelapkan langit untuk hari ini. Aku duduk di pelataran di depan warung Pakcik Burhan dengan segelas teh hangat manis yang dibuatkan oleh Ibu Saidah, yang mulai dingin di dalam gelas kaca beralaskan piring kecil. 

"Sebentar lagi Maghrib, kau tak balik, Kal?" Ucap Pakcik sambil merapikan kopiahnya yang tampak lusuh.

"Sebentar lagi, Pakcik. Insya Allah, kalau adzan saya akan langsung ke mesjid saja. Tak ada orang di rumah." Jawabku.

Senja menggelap, bayangan mulai kabur dan buring-burung mulai kembali ke sarang setelah seharian melalang-buana mencari makanan demi mengisi tembolok mereka dan anal-anak mereka di sarang. Tak luput dari pandangan, awan tipis yang layaknya selimut sutra tipis menghias langit, tampaknya memberi harapan bagi bulan dan bintang untuk menampakkan wajahnya malam ini.

Aku menatap nanar ke arah jalanan yang ada di depan warung itu. Jalan apa yang kulalui ini. Perasaan bersalah dan perasaan rindu menyatu dalam setiap helaan panjangku.  Gadis itu kembali ke dalam angan melebur dengan kilasan-kilasan masa lalu yang berputar layaknya rekaman vidio yang dibalik-balik.

"Kau masih memikirkan wanita itu?" Tanya Pakcik yang keluar dari warungya dengan baju koko dan sarung kotak-kotak pemberian anaknya, bersiap untuk pergi ke mesjid. "Kau harus semangat dalam hidup. Hidupmu tidak berputar pada gadis itu sebagai poros. Kau hidup di dunia nyata, bukan angan-angan." Lanjutnya.

"Pakcik mau pergi?"

"Ya, ayo kita sama-sama saja ke mesjidnya."

"Tapi, warung Pakcik?"

"Saidah ada di belakang, sebentar lagi dia kembali." Jawabnya.

Pakcik menarik lenganku dengan tangannya yang keriput. Dia berjalan terseok-seok karena rematik yang menyerang kakinya. "Kau tak pernah menemui ibumu lagi?"

"Untuk sekarang, belum."

"Kau masih marah?"

"Sudah tak begitu. Terakhir kali dia menangis di depan rumah sambil meminta maaf padaku dan Ayah. Aku langsung menghampirinya, namun Ayah tetap diam."

Pakcik mendengus pelan lalu menghentikan langkahnya di depan kolam yang tak jauh dari mesjid. Ia mencelupkan  kakinya sejenak untuk membersihkan pasir yang sempat menempel di kakinya. Aku juga begitu.

"Laki-laki itu benar-benar meninggalkan  ibumu?"

"Ya, Ibu pernah mengatakannya."

"Hah, keluargamu berantakan, namun kau tak harus kacau pula." Pakcik melanjutkan.

"Ya, soal Sofi, saya tak berniat mengungkit-ungkit lagi masakan itu. Saya sudah mencoba untuk melupakannya."

"Bukan mencoba yang kau butuhkan. Kau harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Coba-coba, kau hanya akan menjadi kacung perasaan, paham, kau? Soal jodoh, itu Allah yang mengatur. Mungkin saja suatu saat ada keajaiban. " Ucapnya tegas.

"Tapi, hati saya telah jatuh pada gadis itu, Pakcik."

"Jika jawabannya iya, kau akan mendapatkannya. Namun jika tidak, mungkin kau punya jodoh yang lain."

Sehabis solat Maghrib aku kembali menatap langit. Kali ini senja sudah menghitam dengan rona jingga bercampur ungu di bagian barat. Aku memikirkan lagi. Sofi sudah pergi dan aku masih stagnan di tempat tanpa bergerak untuk mencari cinta yang lain. Kenapa aku lemah sekali terhadap wanita yang satu itu?

"Kal, kau ikut nonton bola di tempat si Haris?" Yori muncul dengan sarung menggantung di lehernya.

"Apa main?"

"Persija lawan Semen Padang."

"Aku akan datang jika aku ingat." Ucapku sambil terkekeh, "kalian duluan saja."

Akhir-akhir ini jarang sekali aku berkumpul dengan mereka. Menonton sepak bola, berbincang-bincang, dan hal-hal yang biasa kulakukan dengan teman-temanku tampak tak lagi membangkitkan seleraku. Tampaknya Pakcik benar, aku kacau.

Hari ini diawali mentari bersinar cerah dan diakhiri dengan taburan bintang. Aku sedikit tersenyum. Bintang paling terang di atas sana adalah aku, begitu ucap Ibu saat aku kecil. Namun tentunya itu bukan hal yang sebenarnya, kini bintang itu digantikan oleh orang lain di hati Ibu. Dan ada bintang lain di hatiku, meski bintang itu telah redup.

Ya, wanita bernama Sofi itu seakan semakin redup dengan pancarannya. Kerudung panjangnya membingkai wajah manisnya dengan hidung mancung dan mata cokelat berbingkai bulu mata lentik. Dia muncul saat senja dua bulan yang lalu, dan menghilang di akhir senja Minggu lalu. Pergi tanpa ada berita yang pasti. Kurangi rumahnya, tak ada jawaban.

Saat itu juga, ketika hujan mengguyudr setelah Zuhur. Aku datang untuk menemuinya, namun orang tuanya mengatakan dia belum kembali dari rumah saudaranya di kota lain. Berkali-kali, namun ia tak pernah muncul. Itu yang membuatku simpang siur layaknya sampah rumput laut terbawa arus.

Tok tok tok...

Suara ketukan itu mengalihkan lamunanku. Aku melempar bantal sofa dan bergegas menuju pintu.

"Assalamualaikum, Haikal!" 

Seorang pria berjanggut tipis berkopiah putih dan dengan setelan Koko berwarna senada muncul memberi salam. Aku tak mengenalnya, namun tampaknya dia mengenalku, entah dari mana.

"Waalaikumussalam."

"Saya Faisal, abangnya Sofi. Benar kamu Nak Haikal?" Aku mengangguk pelan lalu mempersilahkan dia masuk. Saat aku menawarkan kopi atau teh, dia menolak dengan sopan. "Begini.. saya mau memberitahukan sesuatu."

"Apa itu, Bang?"

"Sofi... Sofi menerima lamaran Nak Haikal." 

Seakan sesuatu menyambar begitu hebat, membuat tubuhku merasa hangat namun juga kebingungan. Darahku berdesir dan jantungku berdegup tak karuan.

"Tapi saya belum..."

"Pakcik Burhan yang menyampaikannya dua hari yang lalu. Dia datang ke rumah kami bersama ayah Saudara. Berniat untuk meminang Sofi. Tampaknya Saudara tidak tahu."

Aku menggeleng pelan. "Tapi, sejak kemarin-kemarin itu, saya memang berniat untuk meminang adik Abang. Namun saat saya tidak tahu keberadaan Sofi, hati saya ikut surut mundur."

"Sebenarnya, Sofi mencegah kami sekeluarga untuk menceritakan keberadaannya pada orang lain. Selama beberapa hari belakangan ini, dia masih dalam masa pemulihan karena kecelakaan di dekat rumah keluarga kami. Dia berada di rumah sakit kota. Namun saat saya menceritakan tentang lamaran yang datang untuknya dan menyebut namamu, dia tersenyum dan mengangguk."

"Alhamdulillah."

Pada saat itu aku bersujud syukur. Air mata merembes dan jatuh di pipi, mengucapkan syukur yang tak terkira pada Allah Ta'ala. Ternyata ini yang diucapkan Pakcik saat di depan mesjid tadi. "Jika jawabannya iya , maka dia adalah jodohmu...".

Ya  Allah, sungguh indah rencana-Mu..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun