Sehabis solat Maghrib aku kembali menatap langit. Kali ini senja sudah menghitam dengan rona jingga bercampur ungu di bagian barat. Aku memikirkan lagi. Sofi sudah pergi dan aku masih stagnan di tempat tanpa bergerak untuk mencari cinta yang lain. Kenapa aku lemah sekali terhadap wanita yang satu itu?
"Kal, kau ikut nonton bola di tempat si Haris?" Yori muncul dengan sarung menggantung di lehernya.
"Apa main?"
"Persija lawan Semen Padang."
"Aku akan datang jika aku ingat." Ucapku sambil terkekeh, "kalian duluan saja."
Akhir-akhir ini jarang sekali aku berkumpul dengan mereka. Menonton sepak bola, berbincang-bincang, dan hal-hal yang biasa kulakukan dengan teman-temanku tampak tak lagi membangkitkan seleraku. Tampaknya Pakcik benar, aku kacau.
Hari ini diawali mentari bersinar cerah dan diakhiri dengan taburan bintang. Aku sedikit tersenyum. Bintang paling terang di atas sana adalah aku, begitu ucap Ibu saat aku kecil. Namun tentunya itu bukan hal yang sebenarnya, kini bintang itu digantikan oleh orang lain di hati Ibu. Dan ada bintang lain di hatiku, meski bintang itu telah redup.
Ya, wanita bernama Sofi itu seakan semakin redup dengan pancarannya. Kerudung panjangnya membingkai wajah manisnya dengan hidung mancung dan mata cokelat berbingkai bulu mata lentik. Dia muncul saat senja dua bulan yang lalu, dan menghilang di akhir senja Minggu lalu. Pergi tanpa ada berita yang pasti. Kurangi rumahnya, tak ada jawaban.
Saat itu juga, ketika hujan mengguyudr setelah Zuhur. Aku datang untuk menemuinya, namun orang tuanya mengatakan dia belum kembali dari rumah saudaranya di kota lain. Berkali-kali, namun ia tak pernah muncul. Itu yang membuatku simpang siur layaknya sampah rumput laut terbawa arus.
Tok tok tok...
Suara ketukan itu mengalihkan lamunanku. Aku melempar bantal sofa dan bergegas menuju pintu.