"Aku cuma titip Jingga saja ya, sama kamu ya, Cah Ayu. Kamu pasti bisa jadi bulik yang baik untuk dia. Coba lihat, Simbok saja sekarang lebih sehat karena ada Jingga."
Mau tak mau aku setuju. Sebelum Mbak Utari pulang sambil membawa Jingga, Simbok begitu ringkih dengan batuk-batuk dan sesak napasnya. Kini setelah ada Jingga, Simbok malah tampak begitu sehat. Â Wajahnya merona merah, dan juga lebih banyak tersenyum. Apalagi jika sudah memperhatikan semua tingkah laku Jingga. Tawanya begitu lepas
"Aku harus pergi, Nes. Lagi-lagi aku harus titip Simbok sama kamu, dan sekarang Jingga. Dia sudah delapan bulan. Jadi sudah bisa kutinggal semestinya."
Aku masih diam saja.
Mbak Utari tiba-tiba memelukku. "Nes, Kenes, adikku. Kamu andalan Mbak. Ayo, kita harus bikin keluarga ini ndak miskin lagi. Mbak capek jadi orang miskin. Selama Mbak mampu membanting tulang, Mbak akan banting tulang buatmu, Simbok dan Jingga. Itu yang dulu Mbak ucapkan di depan kuburan Bapak. Jangan sampai kamu bikin Mbak mengingkari janji Mbak sendiri ya?"
Aku lemas. Aku tak tahan lagi. Pertahananku bobol. Aku tergugu. Mbak Utari menggosok-gosok punggungku dengan lembut.
"Kita bisa, Nes. Kita pasti bisa. Hanya, kamu harus membantuku."
"Iya, Mbak. Terserah. Tapi kali ini Kenes minta, Mbak harus hati-hati. Kenes trauma, Mbak. Kenes takut Mbak Utari akan mengalami penyiksaan dan pelecehan lagi seperti kemarin. Mbak Utari ndak takut apa?" Aku mengulangi lagi pertanyaanku.
Mbak Utari hanya tersenyum.
"Sesungguhnya, aku takut, Nes. Takut banget."
* * *