Mohon tunggu...
Red Carra
Red Carra Mohon Tunggu... -

Blogger. Visual Communicator. Web and Social Media Worker.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Tembang Kala Langit Jingga

10 November 2013   06:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

RedCarra, No. 2

Dak lela lela lela ledung
Cep meneng aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Yen nangis ndhak ilang ayune...

Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang membolak-balikkan ketela yang sedang dijemur. Tubuhku gemetar, seakan ada aliran listrik menjalari setiap lubang pori-pori. Mataku mulai kembali berawan, dan ada panas menyengat di pangkal hidung. Aku menahan napas sejenak, mencoba mengatur gejolak dalam dada.

Suara Simbok memang merdu. Mendayu. Namanya juga mantan sinden. Walaupun bukan yang paling terkenal, tapi menurut cerita bulik-bulik, Simbok cukup laris dipanggil terutama untuk mengiringi acara ngundhuh mantu.

Di antara merdu suara Simbok, terdengar kicauan Jingga diselingi tawa-tawa kecil.

"Jingga ki lho. Kok ndak mau bobok, to? Wis ditembangke kawit mau(1) kok ya, ndak mau bobok." Suara Simbok sudah terdengar di belakangku. Aku bergegas meneruskan kegiatanku menjemur ketela, berusaha menyembunyikan kilau air di sudut mata.

"Ya sudah to, Mbok, kalau belum mau bobok ya sudah. Jangan dipaksa." Pelan aku berujar. Tetap sambil menunduk.

"Ha nanti rewel, kalau ndak mau bobok."

Dadaku menyesak. Dalam diam, kuteruskan kegiatanku. Tanpa berniat untuk menengok sedikitpun ke arah Simbok.

Simbok kembali bersenandung, meninabobokan Jingga.

Jingga sebenarnya tak pernah rewel. Itu cuma karena sayangnya Simbok saja pada cucu semata wayangnya itu.

Cucu...

Pikiranku menerawang.

* * *

"Apa?" Edah bagaikan menyalak begitu kakiku menyentuh lantai warungnya.

Aku marah diperlakukan seperti itu? Ah, tidak. Biasa saja.

"Mau apa? Ngutang lagi?" tanyanya menggelegar.

"Beras saja, Dah. Setengah kilo saja." Aku mendekat ke arah meja jualannya.

"Heh! Yang kemarin saja sudah sampai tigaratus tigabelas ribu! Kapan kaubayar?" tanyanya sambil memicingkan mata.

"Minggu depan Mbak Utari ngirim uang, Dah. Aku bayar semuanya. Kasihan Simbok, sakit dan belum makan nasi sedari kemarin. Aku belum dapat uang dari gaplek," jawabku masih dengan nada lembut. Nyaris menghiba.

Edah terdiam, menatapku masih dengan mata terpicing. Namun dia mulai bergerak untuk mengambilkanku setengah kilo beras, seperti yang kuminta.

Tak lama kemudian, aku pulang.  Sesampainya di pagar rumah, aku mendapati pintu depan terbuka lebar. Aneh. Padahal aku tak pernah meninggalkan pintu dalam kondisi terbuka begitu. Angin akan masuk, dan itu akan membuat Simbok semakin parah sakit paru-parunya.

"Mbok?" Kupanggil Simbok begitu menjejak dalam rumah.

Dan lalu kulihat seseorang. Berdiri di sudut, nampak begitu bahagia melihatku. Kakakku semata wayang, Mbak Utari.

"Mbak! Kapan pulang?" Aku berlari mendapatinya. Kupeluk dia erat. Kutumpahkan semua rasa rindu yang tersimpan begitu lama.

Namun sedetik kemudian, aku terbelalak menatap ke arah bale-bale yang ada di belakang Mbak Utari.

"Mbak, bayi siapa itu?"

* * *

"... sudah dibegitukan dan Mbak masih ingin kembali lagi ke sana?" Aku membelalak tak percaya. "Yang benar saja!"

"Nes, nyadarlah kalau kita ini kekurangan. Ngurusin ketela di tegalan yang bukan punya sendiri itu kita bisa apa? Gaplek(2) itu lakunya juga berapa? Dulu pas Simbok masih ikut nyinden bareng rombongannya Lik Daman kita masih lumayan hidupnya. Sekarang? Apalagi sakit paru-paru Simbok makin parah begitu. Kirimanku memang kadang telat, tapi cukup kan?"

"Mbak Ut ndak takut apa, diperlakukan begitu lagi sama majikan?" Aku tajam memandang ke dalam bintik matanya.

"Yang kemarin itu aku memang salah, Nes. Aku diberangkatkan bukan oleh pihak yang semestinya. Jadi aku ndak bisa apa-apa ketika aku ada masalah. Yang ini besok, aku berangkat dari pihak resmi. Pasti aman, Nes. Kamu ndak usah khawatir."

Aku diam.

"Aku cuma titip Jingga saja ya, sama kamu ya, Cah Ayu. Kamu pasti bisa jadi bulik yang baik untuk dia. Coba lihat, Simbok saja sekarang lebih sehat karena ada Jingga."

Mau tak mau aku setuju. Sebelum Mbak Utari pulang sambil membawa Jingga, Simbok begitu ringkih dengan batuk-batuk dan sesak napasnya. Kini setelah ada Jingga, Simbok malah tampak begitu sehat.  Wajahnya merona merah, dan juga lebih banyak tersenyum. Apalagi jika sudah memperhatikan semua tingkah laku Jingga. Tawanya begitu lepas

"Aku harus pergi, Nes. Lagi-lagi aku harus titip Simbok sama kamu, dan sekarang Jingga. Dia sudah delapan bulan. Jadi  sudah bisa kutinggal semestinya."

Aku masih diam saja.

Mbak Utari tiba-tiba memelukku. "Nes, Kenes, adikku. Kamu andalan Mbak. Ayo, kita harus bikin keluarga ini ndak miskin lagi. Mbak capek jadi orang miskin. Selama Mbak mampu membanting tulang, Mbak akan banting tulang buatmu, Simbok dan Jingga. Itu yang dulu Mbak ucapkan di depan kuburan Bapak. Jangan sampai kamu bikin Mbak mengingkari janji Mbak sendiri ya?"

Aku lemas. Aku tak tahan lagi. Pertahananku bobol. Aku tergugu. Mbak Utari menggosok-gosok punggungku dengan lembut.

"Kita bisa, Nes. Kita pasti bisa. Hanya, kamu harus membantuku."

"Iya, Mbak. Terserah. Tapi kali ini Kenes minta, Mbak harus hati-hati. Kenes trauma, Mbak. Kenes takut Mbak Utari akan mengalami penyiksaan dan pelecehan lagi seperti kemarin. Mbak Utari ndak takut apa?" Aku mengulangi lagi pertanyaanku.

Mbak Utari hanya tersenyum.

"Sesungguhnya, aku takut, Nes. Takut banget."

* * *

Pintu depan terbuka lebar.

Aku yang baru pulang dari warung Edah, berlari masuk rumah dengan perasaan yang membuncah. Mbak Utari pulang!!

Tapi...

Kakiku tiba-tiba seperti terpaku terhujam ke bumi di ambang pintu. Mataku nanar melihat sekeliling. Banyak orang berkumpul di rumahku. Ada Pak Kades, ada Pak Sekdes, ada beberapa orang berseragam.

Melihat situasi yang tampak tegang, aku tak berani menebak macam-macam.

"Simbok mana?" teriakku sambil menghambur ke dalam. Tas plastik berisi susu untuk Jingga, hasil ngutang lagi di warung Edah kulempar sekenanya.

Namun langkahku terhenti. Ada kotak kayu sepanjang dua meter membujur kaku di lantai rumah. Darah kurasakan berhenti mengaliri wajahku, demi melihat foto yang tertempel di bagian atas kotak kayu itu.

Foto Mbak Utari.

Tubuhku gemetar. Mataku tiba-tiba berkabut tebal. Ada panas menyengat di pangkal hidung. Kutahan napas sejenak, mencoba mengatur gejolak dalam dada.

"Simbok!!" teriakku lagi.

Lalu lamat-lamat kudengar suara Simbok dari dalam kamar. Nembang.

Dak lela lela lela ledung
Cup menenga aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane
Nek nangis ndhak ilang ayune
Dak gadang bisa urip mulya
Dadiya wanita utama

Ngluhurke asmane wong tuwa
Dadia pendekaring bangsa
Cup menenga anakku

kae bulane ndadari kaya ndhas buta nggilani
Lagi nggoleki cah nangis
Dak lela lela lela ledung

Cup menenga anakku cah ayu
Dak emban slendang batik kawung
Yen nangis mundak gawe bingung
Dak lela lela ledung..
(3)

Langit sudah menjingga. Warnanya semakin tua dimakan kala.

Aku turut rebah luruh bersama asa. Mendapati Mbak Utari sudah tak bernyawa. Juga Simbok yang masih saja meninabobokan Jingga, yang hanya tertawa-tawa lebar mendengarnya.

Langit Jingga. Si bayi berwajah Arab. Cantik, lucu, namun entah mirip siapa.

-------- selesai -------

Yogyakarta, 7 November 2013 @ 12:40

1023 kata

Inilah Perhelatan & Hasil Karya Peserta Fiksi hari Pahlawan

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

Keterangan:

1. Wis ditembangke kawit mau = sudah dinyanyikan dari tadi...

2. Gaplek: merupakan bahan makanan yang diolah dari umbi ketela pohon atau singkong. Prosesnya sangat mudah; umbi singkong yang telah dipanen kemudian dikupas dan dikeringkan. Gaplek yang telah kering kemudian bisa ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam kue. Daerah penghasil gaplek: Gunung Kidul Yogyakarta.

3. Lagu Lela Ledhung

Terjemahan:
tak lela lela ledhung..
diamlah jangan menangis terus
anaku yang cantik
kalau nangis nanti hilang cantiknya
Kudoakan hidup mulia
jadi wanita utama

Mengharumkan nama orang tua
Menjadi pendekar bangsa
cup diamlah

Itu bulannya bulat seperti kepala raksasa yang mengerikan
sedang mencari anak yang menangis
tak lela lela ledung..

Cup diamlah anakku yg cantik
Kugendong dengan kain batik Kawung
jika menangis nanti bikin bingung
tak lela lela ledung..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun