Pintu depan terbuka lebar.
Aku yang baru pulang dari warung Edah, berlari masuk rumah dengan perasaan yang membuncah. Mbak Utari pulang!!
Tapi...
Kakiku tiba-tiba seperti terpaku terhujam ke bumi di ambang pintu. Mataku nanar melihat sekeliling. Banyak orang berkumpul di rumahku. Ada Pak Kades, ada Pak Sekdes, ada beberapa orang berseragam.
Melihat situasi yang tampak tegang, aku tak berani menebak macam-macam.
"Simbok mana?" teriakku sambil menghambur ke dalam. Tas plastik berisi susu untuk Jingga, hasil ngutang lagi di warung Edah kulempar sekenanya.
Namun langkahku terhenti. Ada kotak kayu sepanjang dua meter membujur kaku di lantai rumah. Darah kurasakan berhenti mengaliri wajahku, demi melihat foto yang tertempel di bagian atas kotak kayu itu.
Foto Mbak Utari.
Tubuhku gemetar. Mataku tiba-tiba berkabut tebal. Ada panas menyengat di pangkal hidung. Kutahan napas sejenak, mencoba mengatur gejolak dalam dada.
"Simbok!!" teriakku lagi.
Lalu lamat-lamat kudengar suara Simbok dari dalam kamar. Nembang.