"Mbok?" Kupanggil Simbok begitu menjejak dalam rumah.
Dan lalu kulihat seseorang. Berdiri di sudut, nampak begitu bahagia melihatku. Kakakku semata wayang, Mbak Utari.
"Mbak! Kapan pulang?" Aku berlari mendapatinya. Kupeluk dia erat. Kutumpahkan semua rasa rindu yang tersimpan begitu lama.
Namun sedetik kemudian, aku terbelalak menatap ke arah bale-bale yang ada di belakang Mbak Utari.
"Mbak, bayi siapa itu?"
* * *
"... sudah dibegitukan dan Mbak masih ingin kembali lagi ke sana?" Aku membelalak tak percaya. "Yang benar saja!"
"Nes, nyadarlah kalau kita ini kekurangan. Ngurusin ketela di tegalan yang bukan punya sendiri itu kita bisa apa? Gaplek(2) itu lakunya juga berapa? Dulu pas Simbok masih ikut nyinden bareng rombongannya Lik Daman kita masih lumayan hidupnya. Sekarang? Apalagi sakit paru-paru Simbok makin parah begitu. Kirimanku memang kadang telat, tapi cukup kan?"
"Mbak Ut ndak takut apa, diperlakukan begitu lagi sama majikan?" Aku tajam memandang ke dalam bintik matanya.
"Yang kemarin itu aku memang salah, Nes. Aku diberangkatkan bukan oleh pihak yang semestinya. Jadi aku ndak bisa apa-apa ketika aku ada masalah. Yang ini besok, aku berangkat dari pihak resmi. Pasti aman, Nes. Kamu ndak usah khawatir."
Aku diam.