Mohon tunggu...
Rida Husna
Rida Husna Mohon Tunggu... Freelancer - ... karena membatja adalah koentji! nirwana aksara di www.pustakabukubekas.com

suka kata tanpa banyak bicara, suka angka tanpa banyak wacana.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

5 Cara Menguak Stabilitas Sistem Keuangan

28 Juli 2019   20:30 Diperbarui: 29 Juli 2019   06:00 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari Liputan6.com

Seorang perempuan berusia matang tertegun di depan layar komputernya. Matanya nanar, bergerak cepat ke kanan dan ke kiri membaca pengumuman seputar kompetisi blog bertema Caraku Berpartisipasi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yang diprakarsai oleh Bank Indonesia.

Beberapa kali kepalanya menggeleng. Lantas mendongak dan menunduk sebelum akhirnya kembali menatap lurus ke depan. Nafasnya dalam. Bukan apa-apa. Ia tengah merenung. Pelan-pelan terbersit keinginan hatinya untuk mengikuti lomba tersebut.

Apa yang mau ia tuliskan? Apa yang hendak ia paparkan? Toh, ia bukan siapa-siapa kendati beberapa tahun silam pernah malang melintang sebagai pewarta yang setiap hari meliput dinamika makroekonomi domestik dan beragam isu moneter dan keuangan mutakhir di seputar Lapangan Banteng, Kompleks Bank Indonesia Thamrin, Taman Suropati Bappenas, Badan Pusat Statistik dan sebagainya.

"Aku tak mau menggurui siapa pun," ujarnya berbisik.

"Kau sekadar ingin berbagi cerita, bukan?" tanya suara pertama dalam batinnya.

"Mau dimulai dari mana?" timpal suara kedua. Ada sejumput ciut dan sedikit ketidakpastian di sana.

Suara pertama mengambil alih. "Coba kau awali dengan dalil pribadimu. Katakan bahwa sistem keuangan yang stabil mutlak diperlukan oleh sebuah negara berdaulat. Kenali bahwa kestabilan tersebut merupakan proses dinamis dan berkesinambungan."

Perempuan itu mengangguk. Suara pertama tak pernah bisa dibantah.  Bergegas ia mempersilakan pangggung bagi bahana hatinya itu untuk bergema.

***

Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan menghadapi kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi domestik. Stabilitas tersebut adalah keniscayaan yang harus terus diupayakan dari waktu ke waktu. Apalagi untuk negara kepulauan seluas Indonesia. 

Semua pihak harus bahu membahu dan berkontribusi sesuai peran masing-masing mulai dari pemerintah --- Kementerian Keuangan, bank sentral --- Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan --- OJK, Lembaga Penjamin Simpanan --- LPS, sampai institusi keuangan bank dan non-bank. Pun, diperlukan dukungan nyata dari Lembaga Legislatif dan Yudikatif sesuai kapasitasnya. Dan tak kalah penting, partisipasi segenap warga masyarakat. Tanpa sinergi dari semua komponen tersebut, sistem keuangan yang solid dan imun dari beragam gejolak rasanya cuma mimpi di siang bolong.

"Oke, peran seluruh pemangku kepentingan rasanya tak perlu dijabarkan lagi. Itu semua melekat dengan tugas pokok dan fungsi yang mereka emban," kata suara ketiga.

"Tepat.  Aku memang ingin bercerita tentang peran yang bisa dimainkan oleh individu," balas suara pertama terdengar bijaksana.

"Apa kiatmu?" sergah suara kedua.

***

Mari mulai dari yang simpel dulu.

Pertama, karena kita orang Indonesia dan mata uang sah di negeri ini adalah rupiah, maka pergunakanlah itu sebaik mungkin. Tunjukkan keberpihakan kita kepada mata uang sendiri dan belajarlah menghargainya dari waktu ke waktu

"Jadi aku tak boleh bertransaksi dengan dolar, yen, renminbi, atau yang lainnya?" tanya suara kedua.

"Bukan begitu. Kau boleh melakukan transaksi valuta asing asalkan jumlahnya tidak melebihi Peraturan Bank Indonesia. Di atas jumlah yang sudah ditentukan sekitar USD 25 ribu per nasabah per bulan via pasar spot, kau harus bisa menunjukkan dokumen bukti/underlying transaksi," papar suara pertama.

"Oh, begitu. Jadi kalau aku butuh dolar, misalkan untuk keponakan yang kuliah di luar negeri, itu tak masalah, kan?" suara kedua bergumam cepat.

"Ya. Tentu saja!" jawab suara pertama.

"Lantas apa lagi yang bisa kita lakukan?" suara di sampingnya terdengar antusias.

***

Kedua, ada baiknya setiap individu mengikuti jejak Bank Indonesia dan bank sentral dunia pada umumnya, yang sebagian cadangan devisanya disimpan dalam bentuk emas batangan.

"Wow, aku mesti punya emas batangan? Setuju, sekali!" teriak suara ketiga.

"Eh, tapi kenapa mesti emas? Haruskah emas batangan?" timpalnya secepat kilat.

"Yah, setidaknya emas batangan bentuknya standar dan harganya merefleksikan dinamika pasar global. Artinya, kau beli itu di Alaska atau di Gunung Kidul harga per troi ons-nya sama meskipun kau membayarnya setelah dikonversi ke rupiah," jawab suara pertama seraya tersenyum lebar.

"Lagi pula, jangan dilupakan bahwa emas adalah logam mulia. Itulah real money sekaligus God's Money. Ia telah ada jauh sebelum manusia hadir di muka bumi. Ia sudah ada sebelum kecoak muncul di dunia dan akan terus ada setelah manusia dan kecoak lenyap dari planet ini," tambah suara pertama lagi.

"Ih, ngeri kali jawabanmu, Kakak! Tapi aku setuju. Emas adalah perisai  menghadapi  ketidakpastian ekonomi global. Paling tidak itu yang kusimpulkan dari kalang kabut krisis finansial tahun 1998 dan 2008. Menurutku, emas berfungsi sebagai perlindungan atas keawaman kita. Eh maksudku, perlindungan atas kebodohanku sendiri," sambung suara ketiga.

"Mungkin apa yang dilakukan para orang tua jaman dulu dengan memiliki simpanan emas perhiasan ada benarnya, ya. " timpal suara kedua yakin.  

***

Perempuan itu mengibaskan rambutnya. Diambilnya gelas yang tak jauh dari laptopnya. Dua tiga teguk mengaliri tenggorokannya yang kering. Sejurus kemudian ia menarik nafas. Ada perasaan lega karena kerangka tulisan yang akan diikutkannya untuk lomba blog mulai terbentuk.

Benaknya serasa kian mengembang.

"Apa poinmu selanjutnya?" desak suara kedua.

***

Ketiga, seiring maraknya Peer-to-Peer Lending/P2P dewasa ini, tak ada salahnya kita terjun secara terukur di dalamnya. Apalagi, semua itu bisa dilakukan secara online. Tentu saja, pilih platform yang jelas keberpihakannya pada upaya pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah.

"Maksudmu kita belajar jadi lender atau investor, begitu?" tanya suara ketiga.

"Yup, seratus!," jawab suara pertama.

"Pilih yang membiayai usaha mikro, kecil menengah saja atau...?" suara ketiga mengejar lagi.

"Idealnya sih demikian. Intinya kita fokus saja pada pemberdayaan sumber-sumber domestik. Jenis usaha yang seluruh stoknya berasal dari impor rasanya bukan prioritas!" suara pertama menjabarkan.

"Hmm... masuk akal! Kita harus mendukung dan sedapat mungkin memakai produk dalam negeri karena ini terkait dengan upaya mengurangi defisit current account. Benar kan?" komentar suara kedua dan ketiga nyaris berbarengan.

Yang diajak bicara mengangguk.

"Plus, jangan lupa menekan penggunaan bahan bakar fosil," celetuk suara ketiga sekonyong-konyong.

"Hmm... langkah untuk mengendalikan impor migas, ya?" tanya suara kedua.

"Top!"

"Lalu apa lagi usulanmu?" kejar kedua suara itu nyaris berbarengan.

***

Keempat, cobalah berinvestasi untuk leher ke atas.

"Maksudmu?" tanya suara ketiga setengah berteriak.

"Hehee... maksudku, kita harus terus belajar dan selalu mempertanyakan banyak hal di sekeliling kita," jawab suara pertama.

"Yang seperti apa, misalnya?" suara kedua menimpali.

"Yah, ini mungkin urusan sudut pandang, mindset. Yang hendak kukatakan, kita mesti membuka diri, cek dan ricek arus informasi di sekitar kita. Jangan ikut-ikutan ambil sikap yang tak jelas juntrungannya, apalagi sampai menyebarkan hoaks!" jelas suara pertama.

"Oh, seperti kemarin ada yang mengajak rush, menyerbu bank yang  sistemnya sedang error itu?" suara kedua langsung ingat.

"Yes, itu salah satunya. Coba dipikir lagi, apakah ajakan itu bijak?" suara pertama balik bertanya.

"Yah, namanya juga nasabah sedang emosi, Kak!" timpal suara kedua bernada setengah tak setuju.

"Apa pun alasannya, itu tak bisa dibenarkan. Sangat berisiko dan dapat berakibat sistemik bagi sistem keuangan nasional!" suara pertama tegas berujar.

"Bisa menyebabkan nasabah bank-bank lain ketakutan dan tanpa pikir panjang mengambil tindakan serupa, menarik simpanan mereka di bank masing-masing?" suara ketiga menangkap cepat.

 "Itu dia. Jadi kita harus terus mengasah diri agar intelijensi finansial kita tak jongkok," ucap suara kedua yakin.

***

Ya, intelijensi finansial. Itulah poin kelima terkait stabilitas sistem keuangan. Di sini, setiap orang dituntut mawas diri dan menyadari bahwa ada banyak ranjau dalam dunia finansial. Tanpa pengetahuan yang solid, siapa pun bakal mudah terseret menjadi korban ketidaktahuan dan mungkin juga ketamakannya sendiri. Ibarat pesawat, setiap individu harus belajar terbang seefektif dan seaman mungkin dengan mengenali apa yang disebut daya dorong ke depan/tailwinds sekaligus ada kekuatan sebaliknya yang justru mengarah ke belakang/headwinds.

"Tailwinds, headwinds? Apa itu?" suara kedua penasaran.

"Aku sebenarnya masih terus menggali. Sejauh yang bisa kucatat, tailwinds dan headwinds adalah beragam faktor yang harus dipertimbangkan oleh individu dalam upayanya menggapai sistem keuangan pribadi yang stabil," terang suara pertama.

"Dan faktor-faktor itu meliputi sejumlah aspek makroekonomi seperti inflasi, tingkat suku bunga acuan, dan pajak. Terus  ada pula aspek makroprudensial yang lebih njelimet," imbuhnya.

"Begitukah?" kejar suara ketiga.

"Yah, setidaknya itu yang kutahu. Dalam spirit mengejar kesejahteraan individu, terkait aspek makroekonomi misalnya, apa yang kau lakukan dengan uangmu harus selalu mempertimbangkan ketiga faktor di atas," tambah suara pertama lagi.

"Inflasi menggerogoti uangmu, suku bunga mempengaruhi tabungan serta cicilan kreditmu, dan pajak --- itu sama pastinya dengan nafasmu sendiri," suara pertama melengkapi.

"Maksudmu, kita sedapat mungkin memposisikan diri supaya ketiga faktor itu  menjadi pendorong bagi kita untuk lebih sejahtera dan bukan  sebaliknya?" sergah suara kedua.

"Kau jenius!" jawab yang ditanya.

"Tapi bukankah kita tak perlu repot memikirkan itu semua. Toh untuk berinvestasi atau membiakkan uang misalnya, salah satunya bisa dilakukan via reksadana?" tiba-tiba suara ketiga menimpali.

"Itu ada benarnya. Tapi ingat, tanggung jawabmu selaku pemilik dana tak bisa kau alihkan kepada siapa pun. Pengelola reksadana sebatas memfasilitasi dengan produk yang mereka tawarkan berikut kompetensi teknis yang melingkupinya. Tapi, tanggung jawab terbesarmu adalah pada dirimu sendiri, terus tingkatkan intelijensi keuangan dari waktu ke waktu!" papar suara pertama.

"Tak cuma reksadana saja kurasa," tambah suara kedua. "Kita perlu menggali lebih banyak sebelum masuk ke jenis aset yang kita minati, entah itu yang klasik seperti tabungan atau deposito maupun yang kompleks seperti obligasi ritel, saham, asuransi, trading opsi/forex, dan juga bisnis properti serta usaha lainnya."

"Dan jangan lupa, sebagian dari rejeki kita mesti dialokasikan sebagai derma. Bentuknya bisa zakat, infaq, sedekah ataupun persepuluhan," timpal suara ketiga.

Dua jempol buatmu!" jawab suara pertama.

***

Perempuan setengah baya itu nampak rileks. Hatinya hangat. 

"Dalam kerangka yang lebih luas, kelima poin kontribusi individu di atas nantinya bakal bersinergi dengan peran seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan tali temali  sistem keuangan nasional yang kokoh dan stabil," gumamnya yakin.

"Laiknya kegiatan di pabrik. Selangkah demi selangkah semua komponen di dalamnya punya peran, menggabungkan energi jasmani dan rohani demi kebaikan bersama," ujarnya lagi.

Tiba tiba di depan mata perempuan itu melintas bayangan emas batangan 25 gram... 10 gram... dan 5 gram. Aih, cantiknya!

Senyumnya merekah indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun