"Lantas apa lagi yang bisa kita lakukan?" suara di sampingnya terdengar antusias.
***
Kedua, ada baiknya setiap individu mengikuti jejak Bank Indonesia dan bank sentral dunia pada umumnya, yang sebagian cadangan devisanya disimpan dalam bentuk emas batangan.
"Wow, aku mesti punya emas batangan? Setuju, sekali!" teriak suara ketiga.
"Eh, tapi kenapa mesti emas? Haruskah emas batangan?" timpalnya secepat kilat.
"Yah, setidaknya emas batangan bentuknya standar dan harganya merefleksikan dinamika pasar global. Artinya, kau beli itu di Alaska atau di Gunung Kidul harga per troi ons-nya sama meskipun kau membayarnya setelah dikonversi ke rupiah," jawab suara pertama seraya tersenyum lebar.
"Lagi pula, jangan dilupakan bahwa emas adalah logam mulia. Itulah real money sekaligus God's Money. Ia telah ada jauh sebelum manusia hadir di muka bumi. Ia sudah ada sebelum kecoak muncul di dunia dan akan terus ada setelah manusia dan kecoak lenyap dari planet ini," tambah suara pertama lagi.
"Ih, ngeri kali jawabanmu, Kakak! Tapi aku setuju. Emas adalah perisai  menghadapi  ketidakpastian ekonomi global. Paling tidak itu yang kusimpulkan dari kalang kabut krisis finansial tahun 1998 dan 2008. Menurutku, emas berfungsi sebagai perlindungan atas keawaman kita. Eh maksudku, perlindungan atas kebodohanku sendiri," sambung suara ketiga.
"Mungkin apa yang dilakukan para orang tua jaman dulu dengan memiliki simpanan emas perhiasan ada benarnya, ya. " timpal suara kedua yakin. Â
***
Perempuan itu mengibaskan rambutnya. Diambilnya gelas yang tak jauh dari laptopnya. Dua tiga teguk mengaliri tenggorokannya yang kering. Sejurus kemudian ia menarik nafas. Ada perasaan lega karena kerangka tulisan yang akan diikutkannya untuk lomba blog mulai terbentuk.