Mohon tunggu...
Re Ayudya
Re Ayudya Mohon Tunggu... Lainnya - Psikoedukator_Konselor

Enthusiast to Psychology and Education

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pentingnya Kesehatan Mental Seorang Ibu

25 Maret 2022   18:46 Diperbarui: 27 Maret 2022   15:01 1286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang ibu mengalami depresi (Sumber: lifestyle.kompas.com)

Akhir-akhir ini kita cukup digegerkan dengan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu di Brebes, hingga salah satu anaknya meninggal dan yang dua lainnya mendapat perawatan di rumah sakit. 

Dari pemberitaan yang berkembang, dilaporkan bahwa motif pembunuhan tersebut karena si ibu tidak ingin anak-anaknya mengalami kehidupan yang susah dan pelik seperti yang ibu itu alami. Dengan dasar karena menyayangi anak-anaknya, maka ibu ini tega berusaha menghilangkan nyawa ketiga anaknya.

Ketika membaca dan mendengar berita tersebut, tentu kita merasa miris dan prihatin. Bagaimanapun perilaku si ibu tidak dapat dibenarkan, akan tetapi kita juga perlu menyadari bahwa kasus orang tua yang berusaha membunuh atau menyakiti anaknya sendiri bukanlah kasus yang langka. Sudah banyak kasus-kasus serupa yang dilaporkan dengan berbagai latar belakang penyebabnya.

"Mana ada sih orang tua yang tega membunuh, menyakiti atau membuang anak kandungnya sendiri?"

Kita sering sekali mendengar pernyataan tersebut, namun terlepas dari apapun alasannya, realitanya memang ada orang tua (baik ibu ataupun ayah) yang tega melakukannya terhadap anak kandungnya sendiri. 

Tidak sedikit juga kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, baik secara fisik, verbal maupun secara emosional. Misalnya orang tua yang memukul, mencubit, membiarkan anak kelaparan, mengurung, membentak, mengumpat anak dengan label-label negatif, mengabaikan, menelantarkan, dan bentuk kekerasan lainnya dengan alasan mendisiplinkan anak, yang malah membuat anak tersakati dan bahkan mengalami trauma.

Dari sini kita perlu memahami bahwa kondisi kesehatan mental seorang ibu (dan juga ayah) merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan. 

Ledakan emosi yang bersifat merusak bahkan hingga menyakiti orang lain, tidaklah datang secara tiba-tiba. Semua itu bisa jadi merupakan sebuah akumulasi dari berbagai tekanan atau stres yang menumpuk dan tidak terkelola dengan baik, hingga memunculkan ledakan emosi yang sifatnya merusak serta menghancurkan diri sendiri dan orang lain.

Kesehatan mental berkaitan dengan faktor biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Pandangan biologis menjelaskan bahwa kesehatan mental seseorang berkaitan dengan faktor genetik dalam keluarga, misalnya memang ada orang-orang yang terlahir dengan gen yang cenderung rentan stres, cemas atau frustrasi. 

Selain faktor genetik, pandangan ini juga menganggap kesehatan mental berkaitan dengan faktor gizi, nutrisi, usia, dan komplikasi penyakit.

Kesehatan mental juga berkaitan dengan faktor psikologis seperti trauma di masa kecil, luka batin dan pengalaman pengasuhan orang tua di masa lalu. 

Interaksi sosial pada tahap awal kehidupan dan tahap-tahap perkembangan berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Misalnya, bagaimana interaksi dan relasi dengan orang tua/pengasuh kita? 

Apakah kita mendapatkan perawatan di masa kecil yang cukup baik dan layak? Apakah tugas-tugas perkembangan kita terpenuhi dengan baik? Bagaimana cara orang tua mengasuh kita? Nilai-nilai yang kita dapatkan dan pelajari dari keluarga, akan mempengaruhi paradigma dan persepsi kita terhadap diri sendiri dan juga terhadap cara kita memandang dunia ini.

Selain hal tersebut, hierarki kebutuhan yang dimiliki juga dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Misalnya seorang anak yang tidak mendapatkan kebutuhan dasar akan kasih sayang, cinta dan penerimaan tak bersyarat dari orang tuanya, cenderung tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki gambar diri negatif, sehingga menjadi tidak percaya diri dan selalu merasa insecure. 

Atau seseorang yang semasa kecilnya selalu mendapatkan kekerasan, ketika tumbuh dewasa dia menjadi pribadi yang cenderung sulit mengontrol emosinya. 

Kesehatan mental juga berkaitan dengan faktor spiritual. Bukan berarti bahwa seseorang yang kesehatan mentalnya tidak baik lantas dianggap tidak beriman, namun kondisi spiritual yang baik tentu akan mempermudah proses pemulihan kesehatan mental seseorang. Penghayatan nilai-nilai spiritual juga akan membantu kita menjalani kehidupan dengan lebih bermakna.

Kesehatan mental juga berkaitan dengan faktor sosiokultural. Pandangan ini meyakini bahwa faktor ekonomi, hubungan interpersonal dengan lingkungan sosial/pertemanan, pola asuh orang tua, interaksi antar anggota keluarga, fungsi keluarga yang tidak berjalan, perubahan sosial, perkawinan, kematian orang terdekat, dan tekanan budaya dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang.

Tidak dapat dipungkiri kita tumbuh di tengah nilai-nilai sosial yang memandang bahwa sosok ibu adalah sosok yang mulia, berhati lembut seperti malaikat dan berperilaku mulia tanpa cacat. 

Tanpa disadari kita terbiasa mengglorifikasi sosok ibu yang sedemikian ideal dan sempurna, sehingga ketika seorang perempuan menjadi ibu, dia seakan dituntut untuk menjadi ibu yang sempurna yang selalu kuat, mampu multitasking dan rela mengorbankan apapun untuk anak dan keluarganya. 

Realitanya, seorang ibu adalah manusia biasa yang bisa rapuh dan ringkih juga. Mereka bisa merasa tertekan, lelah dan butuh pertolongan dari orang lain juga. 

Sesuatu yang manusiawi ketika seorang ibu adakalanya mampu bersikap sabar dan berkata lembut pada anak, namun ada kalanya juga merasa kewalahan menghadapi rengekan anak dan menjadi kurang sabar.

Tekanan sosial yang menuntut seorang ibu harus memberikan pengasuhan yang sempurna, membuat seorang ibu rentan diliputi perasaan bersalah dan mengalami stres karena merasa gagal memenuhi tuntutan tersebut. 

Penilaian yang lebih realistis adalah bahwa ibu yang baik bukanlah ibu yang sempurna, sama seperti halnya tidak ada manusia yang sempurna. 

Ketika kita menerima kemanusiaan kita, tekanan akan hilang dari diri kita dan kita akan menyadari bahwa kita tidak harus sempurna, namun menjadi 'ibu yang cukup baik', itu sudah cukup. 

Dengan menjadi ibu yang cukup baik, kita dapat memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh anak kita. 

Kesalahan merupakan ruang untuk bertumbuh, yang memberi kesempatan kepada kita untuk belajar menoleransi frustrasi, memecahkan masalah dan menjalani kehidupan sebagaimana manusia menjalani hidup.

Menjadi seorang ibu memang tidak mudah, sejak mengandung pun sudah banyak menghadapi perubahan dan tantangan, maka dukungan sosial dari pasangan, keluarga dan bahkan lingkungan masyarakat sangatlah penting. 

Menurut penelitian, rendahnya kepuasan relasi dengan pasangan dan adanya tekanan sosial dapat meningkatkan stres dan parental burnout pada orang tua (baik ibu ataupun ayah). 

Orang tua dapat mengalami kelelahan mental yang dapat berdampak buruk, baik terhadap hubungan emosional dengan anak, maupun bagi si orang tua itu sendiri. 

Kelelahan mental ini dapat meningkatkan potensi kecanduan, pikiran bunuh diri, konflik dengan pasangan dan anak, penelantaran bahkan juga kekerasan terhadap anak.

Di sisi lain, secara personal calon ibu atau seorang ibu sebaiknya juga dapat membereskan segala luka batin yang dimiliki, agar tidak meneruskan, mewariskan dan melampiaskannya kepada anak. 

Menurut Suniya Luthar seorang profesor psikologi dari Arizona State University, ibu yang baik adalah ibu yang bahagia dan sehat. 

Oleh karena itu, kesejahteraan seorang ibu baik secara fisik maupun secara mental perlu diperhatikan, agar dapat memberi pengasuhan dan pendampingan yang sehat juga pada anak.

Lalu, hal apa saja yang sebaiknya diperhatikan untuk kesehatan mental seorang ibu? (Sebenarnya hal ini juga berlaku bagi seorang ayah).

Milikilah spiritualitas parenting yang sehat

Menyadari siapa kita sebagai orang tua dan siapa anak yang dititipkan kepada kita. Anak-anak tidak pernah ditujukan untuk menjadi milik kita, mereka sepenuhnya titipan dari Tuhan yang perlu dikasihi, dirawat, dididik dan dilindungi. 

Ketika menyadari hal ini, maka kita akan menerima dengan rendah hati setiap tugas-tugas yang melekat kepada kita sebagai orang tua dan menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. 

Mendidik dan mengasuh anak dalam kebergantungan mutlak kepada Tuhan yang menciptakan manusia. Menjalankan peran sebagai orang tua dalam penghayatan akan cinta kasih Tuhan yang kita cerminkan kepada anak-anak kita.

Pulihkan luka batin dan trauma yang dimiliki

Banyak orang tua yang tanpa sadar meniru pola pengasuhan, cara berkomunikasi dan cara menyelesaikan masalah seperti yang dilakukan orang tuanya dulu. 

Bahayanya ketika kita pernah mendapatkan pengasuhan yang toxic, lalu tanpa sadar meneruskan pola-pola toxic tersebut kepada anak kita.

Alangkah baiknya apabila kita mulai belajar mengenali dan mengidentifikasi diri. Kira-kira luka batin apa yang kita miliki akibat hubungan dengan orang tua kita dulu? Pola-pola tidak sehat apa yang kita miliki saat ini dan perlu diubah menjadi pola yang lebih sehat? 

Sebagai contoh, sewaktu kecil dulu kita sering dipukul ketika tidak mengikuti perintah orang tua, maka saat ini pola itu perlu diubah dan tidak diteruskan pada anak kita. 

Kita bisa mengubahnya menjadi pola yang lebih sehat, misalnya dengan memberikan pengertian pada anak atau menggunakan metode 'time out'.

Memang tidak semua orang cukup terampil untuk mengenali luka batin yang dimiliki dan memulihkannya. 

Oleh karena itu, tidak ada salahnya melakukan konseling berkala dengan tenaga profesional kesehatan mental. 

Jangan pernah ragu untuk konseling atau sekedar konsultasi. Di era ini banyak pelayanan konseling yang dilakukan secara online juga, sehingga dapat diakses dari mana pun.

Jangan mengabaikan relasi suami istri

Sekalipun sudah memiliki anak, sebaiknya hubungan dengan pasangan tetap diprioritaskan, tentu tanpa mengabaikan kebutuhan anak. 

Suami istri yang harmonis dan memiliki hubungan yang sehat akan menjadi orang tua yang kokoh dan punya energi dalam mengasuh anak, sehingga dapat memberikan pola parenting yang sehat juga bagi anak.

Sebaliknya, relasi suami istri yang rapuh dapat membuat suami istri menjadi orang tua yang ringkih, sehingga mudah kehabisan energi dalam mengasuh anak, dan pada akhirnya cenderung memberikan pola parenting yang tidak sehat. Tanggung jawab pengasuhan bukan hanya berada di pundak ibu saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab seorang ayah. 

Suami wajib terlibat dalam pengasuhan karena suami istri adalah satu tim yang harus bekerja sama dalam mengasuh anak. 

Tidak ada salahnya juga untuk suami istri melakukan konseling pasutri secara berkala sebagai upaya merawat hubungan. 

Layanan konseling dapat diakses di layanan biro psikologi terdekat atau di instansi keagamaan yang menyediakan layanan konseling.

Bekali diri dengan pengetahuan sebagai orang tua

Ketika memutuskan menjadi orang tua, maka hidup kita akan berubah selamanya. Oleh karena itu sebaiknya dipersiapkan sejak awal, baik secara fisik maupun secara mental. 

Bagaimanapun seorang anak membutuhkan perhatian, cinta kasih dan kehadiran orang tua. Milikilah kesadaran, bahwa ketika anak hadir maka ritme hidup kita akan berubah. Kesadaran dan penerimaan ini akan memampukan kita menjadi orang tua yang sadar peran dan penuh tanggung jawab. 

Sebaiknya memang dipersiapkan sejak berencana akan menikah, jangan asal kawin! Bicarakan dan diskusikan bersama pasangan dalam merencanakan untuk punya anak. 

Sadari konsekuensinya dan juga perhatikan kondisi keuangan rumah tangga. Bijaksanalah dalam merencanakan untuk punya anak, termasuk juga mengatur jarak kelahiran anak yang satu dengan lainnya.

Bekali diri dengan terus belajar mengenai pengetahuan cara mengasuh anak dan pahami juga fase-fase perkembangan anak. Bisa dengan membaca buku, melihat video edukasi mengenai parenting, mengikuti seminar-seminar parenting atau berkonsultasi dengan yang lebih berpengalaman dalam hal pengasuhan anak. 

Pahami bahwa baik orang tua maupun anak, semuanya sama-sama belajar. Orang tua belajar bagaimana menjadi orang tua yang cukup baik, anak pun belajar bagaimana menjadi anak yang cukup baik, dan proses belajar ini bisa terus berlangsung di sepanjang kehidupan kita.

Luangkan waktu untuk diri sendiri

Adanya pandangan sosial bahwa seorang ibu itu harus mengabdikan diri sepenuhnya untuk anak, bahkan seakan dituntut untuk menempatkan kebutuhan anak di atas kebutuhannya sendiri, cenderung membuat seorang ibu tidak sempat mengurus dan merawat dirinya sendiri. 

Kesejahteraan dan kesehatan ibu adalah hal yang penting, agar dapat berenergi dalam memberikan pengasuhan yang sehat bagi anak. 

Sebaiknya seorang ibu memperhatikan juga haknya untuk mendapatkan waktu istirahat yang cukup, mengonsumsi makanan bergizi, olahraga teratur, dan melakukan self care seperti meluangkan waktu untuk meditasi/relaksasi pernafasan, membaca buku, atau sekedar duduk sejenak sambil mendengarkan musik yang menenangkan. Dalam hal ini, tentu dukungan dari suami dan keluarga besar sangat berperan penting.

Tetap terhubung dengan komunitas sosial

Salah satu hal yang mendukung kesehatan mental seseorang adalah tetap terhubung secara sosial dan memiliki support system yang sehat. 

Milikilah komunitas yang sehat yang dapat memberi dukungan sosial bagi kita dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Misalnya bergabung di komunitas komite orang tua siswa di sekolah tempat anak kita bersekolah, atau tergabung di komunitas yang berfokus pada dunia parenting lainnya, sehingga kita memiliki wadah untuk berdiskusi dan memecahkan masalah ketika mengalami tekanan dalam menjalankan peran sebagai orang tua.

Sebagai tambahan, mungkin diperlukan juga layanan pendampingan psikologis bagi warga masyarakat secara berkala. Layanan tersebut dapat difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait yang dapat diakses oleh seluruh lapisan warga masyarakat. 

Pendampingan bisa berupa pemberian edukasi atau penyuluhan mengenai cara merawat kesehatan mental secara mandiri, edukasi seputar pengasuhan anak, pelayanan konseling pasutri dan bentuk layanan psikologis lainnya. 

Hal ini sebagai upaya peran lingkungan masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dukungan sosial bagi setiap keluarga, sehingga harapannya kasus kekerasan terhadap anak ataupun kelelahan mental pada orang tua dapat diminimalisasi. 

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun