Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lunas

4 Februari 2022   10:30 Diperbarui: 19 Maret 2022   12:16 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.flokq.com/blog/id/pasar-ikan-jakarta

Aku ini jalang, tubuhku di remas berpuluh ribu orang, nilaiku sama walau ditukar untuk benda yang berbeda, aku pujian sekaligus hinaan, aku sebagaimana tuanku menggunakanku, kadang untuk keperluan baik, sering juga untuk keperluan remeh-temeh hingga yang paling buruk untuk membeli sejumlah botol anggur dan membayar wanita-wanita malam yang menjajak diri di trotoar samping jembatan.

Kini tuanku hampir sama banyak dengan jumlah nol yang ada di belakang angka nominalku. Kuharap dia tuan yang baik dan menggunakan nilaiku untuk keperluan yang bernilai baik juga.

Langit sudah gelap dengan semburat awan senja yang nampak jingga. Memang sore saja waktu yang niscaya.

Aku di dalam sebuah kantong celana yang kuyup oleh hujan meradang sedari siang.

Biar aku ceritakan padamu, di dataran tinggi seperti disini, curah hujannya memang begitu ramah menyapa permukaan, sebentar saja merintik dan membasuh tanah.

Seperti siang ini contohnya. Hujan mengguyur singkat saja, meski demikian terasa galak tanpa basa-basi.  Tuanku yang satu ini memang bebal, ia tetap berkendara selama hujan mendera tubuhnya.

Andaikan tidak di masukan ke dalam kantong plastik, tentu saja aku sudah koyak oleh hujan.

Hujan berhenti juga akhirnya.

Keluarlah aku dari kantong celana tuanku. Sepintas terlihat, ban motor tuanku yang mengkilap di lumat air ujan itu. Tuanku turun dari kendaraan yang membawa bertundun-tundun pisang dalam boncengan kanan kiri-nya.

Kami mendatangi kebun pisang lagi, seolah belum puas dengan muatan yang tampak akan menelan pemuatnya itu sendiri. Kali ini pemiliknya seorang tua dengan rambut sedikit beruban dan kulit coklatnya yang mulai keriput.

Tuanku bercakap – cakap dengan calon pemilikku yang baru, sekilas kuketahui namanya itu Karmoiran. Percakapan menjalar dari hal remeh yang saling dihubung-hubungkan, terdengar seolah mereka adalah kerabat satu trah yang lama terpisah.

Pembicaraan mengerucut menjadi kesepakatan dan sampai pada ujung pangkalnya juga. Tambahan sejumlah rupiah yang tak seberapa nilainya, lumrah terjadi sebelum aku di pindah tugaskan.

Karmoiran memiliki tangan yang kasar, tubuhku dapat merasakan kerja keras nya. Dia pasti hidup susah selama ini. Seperti kebiasaan orang susah yang pernah memiliki-ku, aku tahu belaka, bahwasannya aku tidak akan disimpan ke dalam dompet yang bagus bersama lembar-lembar yang secantik diri aku.

Walaupun yang seperti itu masih lebih aku sukai dari pada yang ku alami dua hari yang lalu, waktu aku masih bertuan Lar Gentho si preman sontoloyo. Pada mulanya aku kira aku akan nyaman berada disana, di dompet kulit yang lembut.

Tubuhku terasa hangat berhimpitan dengan lembaran warna merah dan biru penuh sesak, tapi pada penghujung cerita aku diberikan secara sembrono dengan diselipkan di celah paha seorang perempuan nakal saat dia tertidur, setelah berjam-jam di ajak bercinta seperti kuda perang oleh Lar Gentho.

Setelah berjabat tangan, tuanku yang lama berpamitan dengan tuanku yang baru ini, Karmoiran si orang tua miskin. paling tidak aku akan segera berpindah ketempat lain.

Orang susah biasanya tak mau berlama-lama menyimpanku.

Kenyataannya memang begitu, aku diselipkan kedalam celah songkok Karmoiran bersama dua lembar uang bau dan satu lembar uang kumal yang hampir sobek. Kemudian, dibawanya aku pulang ke rumah Karmoiran.

Aku mengintip sebentar dari celah songkok karmoiran, sebidang rumah pelana beratap genteng tanah berwarna coklat kehitaman akibat lumut dan air hujan yang telah mengendap.

Lantai rumah dari tanah, penutup dapurnya dari seng yang telah gerimpis oleh karat. Pintu masuknya dari triplek dengan pegangan tali rafia yang di beri penyangga potongan bambu, dan di paku pada tengah-tengahnya serupa baling-baling.

Hanya terdapat empat bilik pada rumah itu, bilik pertama adalah kamar yang dibiarkan kosong, bilik kedua ada kasur yang telihat lawas dan sepertinya sudah keras. Yang tersisa dari dapur nya hanya soblok, rak piring, sendok, tungku dari gerabah , gentong beras kosong dan kayu bakar.

Satu-satu-nya yang bagus dari rumah itu hanya ruang tamunya, walaupun sempit terdapat keindahan sejati.

Sepasang hiasan dinding dari pigura kaca bertuliskan lafad Allah SWT, berdampingan dengan lafadz Muhammad SAW di gantung di sebuah tembok anyaman bambu yang di cat putih tulang, barangkali cat putih yang telah menguning karena usia.

Dengan keadaan yang seperti itu, semakin yakinlah aku akan pergi malam ini.

Nyata aku salah, aku masih terselip di songkok karmoiran hingga hari berlalu.

Si uang kumal sudah mendahuluiku pergi.

Karmoiran memberikannya kepada istrinya yang tak lama berselang kembali membawa bungkusan plastik hitam dan dua potong tempe juga sekepal benda terbungkus kertas koran.

Malam itu karmoiran dan istrinya makan berkat jasa-si kumal. Tempe dan nasi jagung, juga sepasang ikan asin yang diberi sedikit sambal untuk karmoiran yang memang menyukai rasa pedas, bahkan dikehidupnya sekalipun.

Karmoiran berdua saja dengan istrinya, tak ada ku lihat anak keturunanya selama aku menginap dirumahnya.

Aku mendengar tiga nama orang jawa disebut-sebut oleh karmoiran pada akhir doa-nya setiap akhir sembahyang, sepertinya itu mereka anak-anaknya, anak anak karmoiran.

“ Apa ada telfon dari jakarta bu ?" tanya karmoiran tak berbalas
" Dari surabaya barangkali ?" tanyanya lagi dan di balas hening
" Dari semarang bagaimana ? " tanya karmoiran kepada istrinya dengan nada hampir menangis

Istri karmoiran menghela nafas dan mengusap dada karmoiran lembut.

” Anak-anak masih sibuk kerja pak, biar saja, lebaran depan anak-anak bakal pulang” bisik sang istri pada karmoiran lembut dan sedikit terbata, mengakhiri percakapan singkat mereka malam itu.

Suaran mereka tak terdengar lagi, rupanya mereka sudah terlelap dan sedang bermimpi bertemu dengan anak-anak mereka. Hening berganti suara konser jangkrik dan suara rintik hujan yang menentramkan.

Mereka terlelap semakin dalam,  karmoiran dan istrinya.
                 
Pagi- pagi sekali tuanku bangun dengan begitu bersemangat, terdengar dari nada bicarannya yang tegas. Karmoiran pamit pada istrinya untuk langsung pergi ke pasar ikan selepas sembahyang di surau.

" Naik apa pak?" tanya sang istri
" Bareng tukimin si tengkulak beras."

Si uang bau pergi keluar dari songkok karmoiran, di tinggal bersama istrinya itu. Kini hanya tersisa aku dan satu uang bau di songkok karmoiran.

Sambil berucap salam pada istrinya, Karmoiran bergegas pergi ke surau dengan langkah tegas dan mantap seolah hari ini adalah hari yang sangat ia nantikan sejak lama.

" Pak Iran sudah sehat pak? " tanya tukimin.

Dari dalam songkok terasa kepala karmoiran mengangguk tanda mengiyakan. Kemantapkan hati karmoiran membuat tukimin kemudian membawa serta karmoiran ke pasar ikan.

Pagi yang sibuk di sebuah pasar ikan. Seperti namanya, pasar ikan tentu lengkap dengan bau amis dan suasana riuh ramai, beberapa laki-laki memanggul kotak berisi ikan, Sementara para pedagang bersiaga di lapaknya masing-masing menata daganganya sambil mengipasi lalat yang ramai hinggap.

Pagi itu Karmoiran berkeliling pasar menyapa setiap pedagang yang di temuinya dan setiap orang yang bersisih pandang denganya berkata lama tak berjumpa.

Sesaat kemudian dia menyalami seorang bapak-bapak penjual ikan, bercakap-cakap mengenai sakitnya dan juga berita tentang wabah yang sempat membuat geger.

Menurut berita yang tersebar , ketika wabah ini datang maka pasar-pasar akan di tutup dan tidak di perbolehkan berjualan. Terdengar suara orang itu mengutuk-ngutuki.

Setelah puas bertukar kabar, karmoiran kemudian mengeluarkanku dari lipatan songkok-nya dan sebagai gantinya orang pasar ini memberikan dua ekor ikan segar pada karmoiran.

Seandainya aku dapat berbicara, aku berani berkata bodoh pada karmoiran. "tentu aku bernilai jauh lebih tinggi dari sekedar dua ekor ikan".

Sejurus kemudian ku ketahui dari tuan baruku ini yang sedang berbincang dengan orang di sebelahnya, ternyata aku di persembahkan oleh karmoiran sebagai pelunas hutangnya kepada pedagang ikan ini.

Cahaya matahari terangkat naik, lampu-lampu di tidurkan, cahaya matahari mengambil alih kekuasaan dari gelap.

Pagi hari yang sibuk di sebuah pasar ikan yang riuh ramai. Karmoiran rupanya masih betah dengan kesibukan pasar, rupanya kerinduanya dapat mengalahkan bau amis ikan.

Dia duduk lurus saja di dari pandanganku, mengawasi hiruk pikuk sambil tersenyum puas seakan seluruh bebannya terangkat seperti balon yang ditiupkan udara, membumbung semakin ringan menuju ke angkasa yang lengang. 

Orang pasar sebentar saja sudah penuh berkerumun

" Yang kenal dengan Bapak ini. Cepat kemari bantu saya."
" Itu teman saya mas " jawab seorang dari arah kerumunan, ternyata tukimin. 

Terlihat tukimin panik dan wajahnya pucat pasi, seolah dia yang telah membunuh karmoiran, beberapa penduduk pasar lainya segera membantu termasuk tuanku penjual ikan. 

Aku masih di pasar saat tersebar berita tantang seseorang yang meninggal setelah melunasi hutangnya, cerita lain yang tersebar adalah, seseorang mati sambil tersenyum di pasar ikan.

“ Apa yang telah aku persiapkan jika saja hal yang sama terjadi padaku." Ujar tuanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun