Satu-satu-nya yang bagus dari rumah itu hanya ruang tamunya, walaupun sempit terdapat keindahan sejati.
Sepasang hiasan dinding dari pigura kaca bertuliskan lafad Allah SWT, berdampingan dengan lafadz Muhammad SAW di gantung di sebuah tembok anyaman bambu yang di cat putih tulang, barangkali cat putih yang telah menguning karena usia.
Dengan keadaan yang seperti itu, semakin yakinlah aku akan pergi malam ini.
Nyata aku salah, aku masih terselip di songkok karmoiran hingga hari berlalu.
Si uang kumal sudah mendahuluiku pergi.
Karmoiran memberikannya kepada istrinya yang tak lama berselang kembali membawa bungkusan plastik hitam dan dua potong tempe juga sekepal benda terbungkus kertas koran.
Malam itu karmoiran dan istrinya makan berkat jasa-si kumal. Tempe dan nasi jagung, juga sepasang ikan asin yang diberi sedikit sambal untuk karmoiran yang memang menyukai rasa pedas, bahkan dikehidupnya sekalipun.
Karmoiran berdua saja dengan istrinya, tak ada ku lihat anak keturunanya selama aku menginap dirumahnya.
Aku mendengar tiga nama orang jawa disebut-sebut oleh karmoiran pada akhir doa-nya setiap akhir sembahyang, sepertinya itu mereka anak-anaknya, anak anak karmoiran.
“ Apa ada telfon dari jakarta bu ?" tanya karmoiran tak berbalas
" Dari surabaya barangkali ?" tanyanya lagi dan di balas hening
" Dari semarang bagaimana ? " tanya karmoiran kepada istrinya dengan nada hampir menangis
Istri karmoiran menghela nafas dan mengusap dada karmoiran lembut.