Aku ini jalang, tubuhku di remas berpuluh ribu orang, nilaiku sama walau ditukar untuk benda yang berbeda, aku pujian sekaligus hinaan, aku sebagaimana tuanku menggunakanku, kadang untuk keperluan baik, sering juga untuk keperluan remeh-temeh hingga yang paling buruk untuk membeli sejumlah botol anggur dan membayar wanita-wanita malam yang menjajak diri di trotoar samping jembatan.
Kini tuanku hampir sama banyak dengan jumlah nol yang ada di belakang angka nominalku. Kuharap dia tuan yang baik dan menggunakan nilaiku untuk keperluan yang bernilai baik juga.
Langit sudah gelap dengan semburat awan senja yang nampak jingga. Memang sore saja waktu yang niscaya.
Aku di dalam sebuah kantong celana yang kuyup oleh hujan meradang sedari siang.
Biar aku ceritakan padamu, di dataran tinggi seperti disini, curah hujannya memang begitu ramah menyapa permukaan, sebentar saja merintik dan membasuh tanah.
Seperti siang ini contohnya. Hujan mengguyur singkat saja, meski demikian terasa galak tanpa basa-basi. Â Tuanku yang satu ini memang bebal, ia tetap berkendara selama hujan mendera tubuhnya.
Andaikan tidak di masukan ke dalam kantong plastik, tentu saja aku sudah koyak oleh hujan.
Hujan berhenti juga akhirnya.
Keluarlah aku dari kantong celana tuanku. Sepintas terlihat, ban motor tuanku yang mengkilap di lumat air ujan itu. Tuanku turun dari kendaraan yang membawa bertundun-tundun pisang dalam boncengan kanan kiri-nya.
Kami mendatangi kebun pisang lagi, seolah belum puas dengan muatan yang tampak akan menelan pemuatnya itu sendiri. Kali ini pemiliknya seorang tua dengan rambut sedikit beruban dan kulit coklatnya yang mulai keriput.