Hidup memang tidak seindah cerita dongeng, yang dimana diceritakan seorang putri yang menderita dan selalu dihadapkan dengan berbagai dinamika permasalahan yang menimpa dirinya. Namun dengan tabah putri itu selalu sabar dan pemaaf. Sehingga ia bisa lalui segala rintangan yang dihadapinya itu. Hingga sampai pada akhir cerita, Ia bertemu dengan seorang pangeran tampan, Keren, menunggangi kuda putih (Entah kenapa pangeran selalu identik dengan kuda putih, kenapa tidak bawa gajah, dinosaurus, atau Bambung hideng). Lalu pangeran itu menikahi nya. Pasangan itu berbahagia selama-lamanya. Yee Tamaaat.
Tidak...tidak...tidak. kehidupan manusia tidak semudah itu, seperti air yang mengalir dengan tenang hingga sampai di ujung laut. Tidak bagi kehidupan Mara. Seorang pemuda tanggung yang selalu diliputi dengan rasa ingin tahu nya tentang seisi dunia. Â
Dibalik tingkah kocak dan tengilnya, Kali ini Mara sedang memikul kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran yang amat tinggi.
Bagaimana tidak, tingkah lakunya tidak beraturan. Laksana perahu tua yang sedang berlayar ditengah samudra terombang-ambing kesana-kesini.
Diatas rumahnya, Mara menatap langit yang indah, Matahari yang hampir menyerupai jeruk keemasan tenggelam mengabarkan tugasnya sudah selesai. Burung-burung terbang dengan gagah menuju kesarangnya, bagaikan mainan di atas angkasa.
Suasana yang sepi, Tapi tidak bagi Mara, Yang dipenuhi dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Mara ingin memperoleh kebahahiaaan, agar dirinya dapat berjalan dengan pelan meninggalkan perasaan-perasaan negatif yang hinggap akhir-akhir ini di kehidupannya.
Setalah menguras waktu yang lama. Mara berpikir, terbesitlah, bahwa Mara ingin menjadi orang kaya, karena dengan begitu, ia akan bahagia, bisa membeli apa yang ia mau.
"Besok saya harus bertemu dengan orang kaya, saya gali semua informasi darinya, agar saya tau kunci menjadi orang kaya," gumam hati Mara yang penuh dengan semangat api yang membara,".
"Hahahaha" Mara tertawa dengan lepas seperti tokoh antagonis yang merayakan kemenangan nya. Mara terbatuk, seekor lalat memasuki tenggorokanya.
"Ajiiik," kesal Mara.
***
Matahari terbangun mengganti tugas sang rembulan. Sinarnya tersenyum ceria menyapa Mara di pagi hari. Daun-daun menari-nari ditaman tepat berada dibelakang hunian Orang kaya.
Tubuh yang gemuk dan kumis tebal menggetar, menenteng kopi ditangannya, menghampiri Mara yang duduk di kursi taman dan menawarinya kopi.
"Makasih Pak," Mara tersenyum sopan.
Orang kaya :" terkadang hidup itu tidak seperti apa yang kita lihat," ucap orang kaya spontan, tidak ada pengantar obrolan.
Sambil hembuskan asap rokoknya kelangit-langit. Orang kaya kembali melanjutkan obrolan.
Orang kaya :"Kau lihat kopi ini,"
Mara :" iya pak keliatan ko,".
Orang kaya:"Jika kita perhatikan sekilas, kopi hitam ini seharusnya menyajikan rasa yang begitu pahit, karena warnanya itu sangat hitam, tapi apakah demikian"
Orang kaya mengangkat gelas itu kemulutnya, dan meminum nya dengan hati-hati.
Orang kaya:" Tidak Mar, justru kopi ini begitu manis, tidak seperti apa yang kita pikirkan, begitupun dengan kehidupan, terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita kehendaki,"
Mara mengangkat alis matanya, semakin penasaran dan menunggu kata demi kata yang keluar dari mulutnya.
Orang kaya :"Bukan hanya kamu ko," orang kaya itu menunjuk Mara, lalu melanjutkan pembicaraannya "puluhan orang, bahkan ratusan orang selalu membicarakan hal yang sama, bahwa mereka semua terobsesi ingin menjadi saya. bergelimpangan harta, bisa memiliki semua apa yang saya mau, apapun itu. Namun kamu perlu tahu Mar, justru aku tidak bahagia. Tidak seperti apa yang kamu kira," .
Mara kaget, Mara terheran-heran, bagaimana bisa orang ini yang berada dihadapannya yang mengenakan baju polos putih, dengan kacamata menggantung diatas hidung nya yang mancung, laksana mafia-mafia yang ada di film-film action, mengatakan bahwa dia tidak bahagia.
Mara bingung, apakah dirinya tidak salah dengar.
Mara :" Bagaimana mungkin Bapak tidak bahagia ? bukankah Bapak bisa mendapatkan segala apa yang Bapak mau! " kata Mara dengan tingkah konyolnya yang merasa kebingungan.
Orang kaya :" Kau memang benar Mar, tepat sekali, saya tidak memiliki hambatan, bahkan sekecil paku pun tidak nampak sebagai penghalang, tidak ada, jelas-jelas tidak ada, untuk membeli semua apa yang saya inginkan, tapi hal ini tidak menjamin bahwa saya bisa hidup bahagia Mar,".
Mara :" bentar...bentar pak, ini ada sedikit kejanggalan, Bapak punya mobil mewah, rumah pun megah, istri pun bisa saja nambah," Mara senyum, dan melanjutkan pembicaraanya. "Apakah hal ini tidak membuat anda bahagia ?"
Orang kaya :"Kekayaan tidak menjamin membuat saya bahagia, justru saya semakin cemas".
Mara :" Cemas ?".
Orang kaya :" Iya cemas" orang kaya itu meyakinkan. " saya cemas, bagaimana jadinya apabila suatu saat nanti, rumah saya dirampok, kebakaran dan yang lebih parah, saya mengalami  kebangkrutan,".
Kopi hitam semakin dingin, Obrolan makin memanas. Orang kaya kembali menghisap rokoknya yang mulai pendek.
Orang kaya:" jika saya harus memilih, justru saya akan bahagia apabila saya menjadi seorang pemimpin,"
Mara :" kenapa menjadi seorang pemimpin pak ?".
Orang kaya :" Apakah hal ini terdenger aneh ditelingamu anak muda, bukankah sudah seharusnya laki-laki itu menjadi seorang pemimpin,".
Mara :"Menjadi seorang pemimpin memang sudah seharusnya pak, tapi bukan itu yang ingin saya ketahui,"
Orang kaya:" Memang pemimpin seperti apa yang ingin anda ketahui anak muda,"
Mara :" Menjadi seorang pemimpin, akan mendatangkan kebahagiaan,"
Orang kaya :" Sudah pasti bakalan mendatangkan kebahagiaan nak,Hahaha," orang kaya itu tertawa dengan lepas. Â "Begini nak, kalau saya menjadi seorang pemimpin, saya memilki kuasa penuh untuk membuka usaha saya selebar-lebarnya, tanpa harus bertengkar dengan para pemimpin, Toh saya yang jadi pemimpinnya, iya kan ?"
Mara :" Iya sih, lalu letak kebahagiaannya ?" ucap Mara.
Orang kaya :"Saya memiliki kuasa untuk membangun perusahaan yang saya dirikan disetiap sudut-sudut kota, dengan begitu saya akan menjadi orang nomor satu terkaya sedunia".
Orang kaya itu tersenyum licik membayangkan keinginannya yang penuh dengan hasrat dan nafsu keinginan pribadinya.Â
keoptimisan yang menyala-nyala. Orang kaya itu melanjutkan. "Mungkin kamu bisa berdiskusi dengan para pemimpin, saya yakin dia tahu arti bahagia seperti apa yang kamu cari, bagi saya, apalah arti kebahagiaan apabila keinginan tidak sesuai dengan kenyataan, bukankah itu merupakan suatu kekecewaan, hal inilah nak yang menjadi dasar kenapa saya bersikukuh ingin menjadi seorang pemimpin,".
Mara mengucapkan terima kasih atas waktu dan nasihatnya kepada orang kaya itu, lalu beranjak pergi dan pamit untuk mengakhiri obrolan.
Semakin jauh Mara melangkahkan kakinya, semakin tenggelam dalam kecemasan. Bagai pil pahit yang harus ditelan.
"menjadi orang kaya ternyata tidak bahagia," pikir Mara.
"Mungkin kamu bisa berdiskusi dengan para pemimpin, saya yakin dia tau arti bahagia," kata- kata itu kembali teringat oleh Mara yang selalu terngiang-terngiang disetiap hentakan kakinya yang pelan berirama.
Apa iya menjadi orang kaya tidak membuatnya bahagia ? atau jangan-jangan orang kaya itu telah membohonginya supaya ia tidak memiliki saingan nya untuk membangun perusahaan sebanyak-banyaknya ?
hmm...pikiran ini terus memutar didalam kepalanya.
Jika orang kaya itu berbohong, lalu apa tujuan orang kaya itu membohonginya ? kayanya tidak ada kepentingan lain dari si orang kaya itu ? Â kenapa ia harus berbohong, kalau ia berbohong pun, tidak mungkin ia mengatakan ingin menjadi seorang pemimpin. Menurutnya, kalau menjadi seorang pemimpin itu akan menentukan bahwa kelak dirinya akan bahagia.
Mara begitu larut dalam pikirannya, tidak sadar bahwa ia telah sampai didepan rumahnya. Mara langkahkan kakinya menuju Rooftop, tempat ternyaman untuk berkontemplasi.
Mara merogoh saku kanannya, meraih rokok disaku celananya. Rokok dinyalakan, Mara hisap dan hembuskan dengan pelan. Sepelan angin sore yang cerah.
***
Pemimpin :"saya bahagia ?" pemimpin itu kembali bertanya pada diri sendiri, sambil manggut-manggut, tangan nya di gadu, pemimpin berpikir keras. "Tidak juga, bagaimana saya bisa bahagia, hampir setiap hari saya menerima kritikan dari masyarakat, cemoohan dari masyarakat dan hinaan dari lawan politik saya.".
Mara :"lalu, bagaimana anda menjalankan aktivitas keseharian anda apabila tidak dibarengi dengan perasaan bahagia pada diri anda,"
Pemimpin :" Menurut saya, Rasa emosional dengan tanggung jawab merupakan suatu konteks yang berbeda,"
Mara :" bukankah rasa emosional kita akan berpengaruh terhadap kinerja kita,".
pemimpin:" yaps betul...betul banget, terkait kinerja atau dengan kata lain dinamakan tugas, ya saya kerjain, terlepas posisi saya bahagia ataupun tidak, yang namanya tugas perlu saya kerjakan dengan maksimal,".
Mara merhatikan dengan antusias.
Pemimpin :" bukan berarti ketika saya tidak bahagia, maka dengan seenaknya saya melepaskan tugas saya. bukankah itu namanya saya tidak bertanggung jawab, iya ga ?"
pemimpin bertanya kepada Mara, meminta tanggapan Mara.
Mara :" Sepakat pak!, namun yang menjadi pertanyaan saya kenapa anda tidak bahagia, bukankah anda punya kekuatan lebih untuk mengeluarkan kebijakan, sehingga semua masyarakat anda bisa tunduk pada anda,".
Pemimpin :" Kebijakan keluar atas dasar permasalahan yang terjadi dimasyarakat, bukan karena saya sedang berduka atau bahagia".
Mara :" iya sih pak".
Pemimpin :" saya pun heran dengan diri saya sendiri, seperti puzzle, apabila seluruh kotak telah terisi, namun apabila terdapat satu puzzle saja ada yang hilang, rasanya kehidupan saya tidak begitu sempurna, mungkin yang hilang itu adalah kebahagiaan,".
***
Waktu terus berputar, hari demi hari telah Mara lewati. Namun pertanyaan-pertanyaan itu masih terjebak dalam benak Mara. Mara belum menemukan jawaban yang sekiranya bisa mengobati kecemasannya itu.
Ia terus merenung, habiskan waktu untuk berpikir, memikirkan kehidupannya yang tak sampai didepan gerbang kebahagiaan.
Jika memang kebahagiaan itu ditentukan oleh harta kekayaan, mungkin orang kaya itu dengan lantang akan mengatakan dirinya bahagia.
jika memang kebahagiaan itu ditentukan oleh popularitas dan terkenal, mungkin si pemimpin akan berkata bahwa dirinya yang paling bahagia.
"Apakah kebahagiaan itu sejatinya tidak ada, itu hanyalah sebuah ungkapan semata yang dibalut dengan kemunafikan" Gumam Mara.
Rembulan yang menggantung di atas cakrawala, terang diam seribu bahasa, seakan-akan ikut larut memikirkan hal yang sama dengan Mara. Bintang-bintang hanya dapat bersinar, tapi tidak dapat memberikan jawaban.
Mara menundukkan kepalanya dalam-dalam menyaksikan orang yang lalu-lalang tepat dibawah rooftopnya. Namun seketika pandangannya terhenti, menyaksikan seorang Kakek-kakek paruh baya, yang sedang asyik memilah dan memilih barang bekas yang ia kumpulkan diatas karung besar berwarna putih yang ia letakkan diatas pundak nya yang berotot dan sedikit terbakar oleh sinar matahari.
Tidak menunggu lama lagi, Mara pun segera bergegas menghampirinya.
Mara :" Kek, memang barang bekas seperti ini masih bisa digunakan,".
Kakek :" Nya masih atuh jang (masih nak)," Kakek menjawab pertanyaan Mara dengan tersenyum, lalu melanjutkan lagi pekerjaanya.
Mara:"buat apa?" tanya Mara dengan antusias.
Kakek :" bisa didaur ulang, ngadamel kerajinan, atau dijual ka bandar (membuat kerajinan atau dijual ke Bandar).
Mara :" Maaf ya kek, Saya lihat kakek begitu bahagia melakukan pekerjaan ini, apa sih yang membuat kakek begitu bahagia,".
Kakek :" Nya jelas atuh jang, nanaon ge kudu ikhlas jeung kudu bahagia (apapun itu harus ikhlas dan harus bahagia,". Kakek berhenti sejenak, badanya mengarah kepada Mara, Kakek menatap wajah Mara. "lamun urang bahagia, tanda na urang bersyukur, (kalau kita bahagia, tandanya kita telah bersyukur)."
Mara mengangguk dan begitu fokus memperhatikan kakek-kakek tersebut yang bicara dengan lancar dan berlumur madu. Membangkitkan motivasi Mara untuk terus mengajukan pertanyaan.
Kakek:" Kebahagiaan itu terletak didalam diri kita, bukan dari luar diri kita jang,"
Mara :"Maksudnya Kek ?" Mara bertanya.
Kakek :"soal kebahagiaan itu, kitalah yang mengendalikan, bukan kita yang dikendalikan,".
Mara :" saya masih kurang paham kek,".
Kakek :" Begini nak, Kekayaan itu berada diluar diri kita (pengendalian diri) sedangkan pengelolaan kekayaan berada dalam diri kita. Jika kita menganggap bahwa kita bahagia dan selalu bersyukur pada sang maha pencipta. Maka kekayaan yang tidak seberapa itu, akan menjadi hal yang luar biasa. karena kenapa ? kita menganggap nya cukup dan bersyukur. Baru kita bisa dikatakan bahagia, tapi sebaliknya jang, apabila kita merasa kurang dengan kekayaan yang telah tuhan berikan, sampai kapanpun kita tidak akan merasakan kebahagiaan,".
Mara :"kenapa bisa kek?".
Kakek :" Karena itu dia, pengendalian diri. Apabila kita terus-terus'an merasa kurang, maka secara otomatis kita akan memiliki ambisi yang besar untuk mengisi kekurangan itu, sedangkan pada sejatinya manusia itu tidak akan pernah merasa puas,".
Mara begitu kagum dengan pendapat sang kakek  itu. Hasrat penasaran Mara semakin menyala, ibarat lilin dihadapannya leleh terbakar habis.
Mara :" Lalu, apa nasihat kakek kepada saya yang akhir-akhir ini saya tidak selalu merasa bahagia, apakah ada yang salah dalam diri saya kek," tanya Mara.
Kakek :" Boga kabogoh teu jang ? (punya pacar nak?).
Mara :" Tidak kek?".
Kakek :"Gebetan?".
Mara :" Engga juga". Mara bingung, menggaruk kepalanya, yang sebetulnya tidak gatal. "Emang ada hubungannya Kek,"
Kakek :"Teu aya, nanya hungkul eta mah,(, Tidak ada, Hanya bertanya saja). Kakek itu langsung tertawa. Mara kesal lalu tersenyum kembali membayangkan begitu konyol obrolan nya dengan kakek-kakek itu. Kakek kembali bicara.
Kakek :" Ujang jangan terus-terusan berpikir didalam pikiran ujang, kenapa tidak selalu bahagia,"
Mara :" lalu saya harus gimana dong kek ?,"
Kakek :" Ujang mah cukup ku belajar cing getol, tingkatkeun kemampuan ujang, lobakeun ibadah. lamun ujang geus apal kana elmuna jeung diamalkan ka batur, jadi manfaat ka batur. didinya ujang bakalan manggih kebahagiaan (cukup dengan belajar yang rajin, tingkatkan kemampuan, banyakin ibadah. Apabila ujang sudah mengetahui ilmunya dan dipraktekan. disitu ujang akan menemukan apa arti kebahagiaan)".
***
Dari obrolan itu banyak sekali manfaat yang bisa diambil oleh Mara, bahwa ternyata kebahagian itu sederhana, tidak serumit dan sesulit apa yang Mara kira.
Kebahagiaan itu terletak didalam diri kita, tergantung bagaimana kita memahami segala objek yang menimpa diri kita sendiri.
Mara telah menemukan titik terang. Seakan-akan terusir dari tanah kesengsaraan.
Sang kakek menjadi penawar kepahitan yang mengubah malam yang kelam menjadi sinar yang terang benderang.
Mara jadi teringat dengan buku yang dibacanya, memperkuat apa yang diyakininya. Buku itu berjudul Stay Positive With Marcus Aurellius bahwa kunci bahagia adalah dengan mengoptimalkan proses belajar kita, asah terus nilai-nilai kemanusiaan kita, tingkatkan kualitas hubungan kita dan spiritualitas kita.
***
Bagaimana menurut kamu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H