***
Waktu terus berputar, hari demi hari telah Mara lewati. Namun pertanyaan-pertanyaan itu masih terjebak dalam benak Mara. Mara belum menemukan jawaban yang sekiranya bisa mengobati kecemasannya itu.
Ia terus merenung, habiskan waktu untuk berpikir, memikirkan kehidupannya yang tak sampai didepan gerbang kebahagiaan.
Jika memang kebahagiaan itu ditentukan oleh harta kekayaan, mungkin orang kaya itu dengan lantang akan mengatakan dirinya bahagia.
jika memang kebahagiaan itu ditentukan oleh popularitas dan terkenal, mungkin si pemimpin akan berkata bahwa dirinya yang paling bahagia.
"Apakah kebahagiaan itu sejatinya tidak ada, itu hanyalah sebuah ungkapan semata yang dibalut dengan kemunafikan" Gumam Mara.
Rembulan yang menggantung di atas cakrawala, terang diam seribu bahasa, seakan-akan ikut larut memikirkan hal yang sama dengan Mara. Bintang-bintang hanya dapat bersinar, tapi tidak dapat memberikan jawaban.
Mara menundukkan kepalanya dalam-dalam menyaksikan orang yang lalu-lalang tepat dibawah rooftopnya. Namun seketika pandangannya terhenti, menyaksikan seorang Kakek-kakek paruh baya, yang sedang asyik memilah dan memilih barang bekas yang ia kumpulkan diatas karung besar berwarna putih yang ia letakkan diatas pundak nya yang berotot dan sedikit terbakar oleh sinar matahari.
Tidak menunggu lama lagi, Mara pun segera bergegas menghampirinya.
Mara :" Kek, memang barang bekas seperti ini masih bisa digunakan,".
Kakek :" Nya masih atuh jang (masih nak)," Kakek menjawab pertanyaan Mara dengan tersenyum, lalu melanjutkan lagi pekerjaanya.