Mara mengucapkan terima kasih atas waktu dan nasihatnya kepada orang kaya itu, lalu beranjak pergi dan pamit untuk mengakhiri obrolan.
Semakin jauh Mara melangkahkan kakinya, semakin tenggelam dalam kecemasan. Bagai pil pahit yang harus ditelan.
"menjadi orang kaya ternyata tidak bahagia," pikir Mara.
"Mungkin kamu bisa berdiskusi dengan para pemimpin, saya yakin dia tau arti bahagia," kata- kata itu kembali teringat oleh Mara yang selalu terngiang-terngiang disetiap hentakan kakinya yang pelan berirama.
Apa iya menjadi orang kaya tidak membuatnya bahagia ? atau jangan-jangan orang kaya itu telah membohonginya supaya ia tidak memiliki saingan nya untuk membangun perusahaan sebanyak-banyaknya ?
hmm...pikiran ini terus memutar didalam kepalanya.
Jika orang kaya itu berbohong, lalu apa tujuan orang kaya itu membohonginya ? kayanya tidak ada kepentingan lain dari si orang kaya itu ? Â kenapa ia harus berbohong, kalau ia berbohong pun, tidak mungkin ia mengatakan ingin menjadi seorang pemimpin. Menurutnya, kalau menjadi seorang pemimpin itu akan menentukan bahwa kelak dirinya akan bahagia.
Mara begitu larut dalam pikirannya, tidak sadar bahwa ia telah sampai didepan rumahnya. Mara langkahkan kakinya menuju Rooftop, tempat ternyaman untuk berkontemplasi.
Mara merogoh saku kanannya, meraih rokok disaku celananya. Rokok dinyalakan, Mara hisap dan hembuskan dengan pelan. Sepelan angin sore yang cerah.
***
Pemimpin :"saya bahagia ?" pemimpin itu kembali bertanya pada diri sendiri, sambil manggut-manggut, tangan nya di gadu, pemimpin berpikir keras. "Tidak juga, bagaimana saya bisa bahagia, hampir setiap hari saya menerima kritikan dari masyarakat, cemoohan dari masyarakat dan hinaan dari lawan politik saya.".