Telah puluhan senja habis untuk mengamati dan menikmati kebiasaanya menyendiri di bawah pohon yang menjorok ke laut. Duduk mematung, sesekali berdiri dan melempar batu-batu kecil ke tengah laut, sampai akhirnya aku hadir untuk menemani kesendiriannya. Tak ada yang berubah dari sikapnya, tetap dingin. Entah dia senang atau malah terganggu dengan kehadiranku, sama sekali tak bisa ditebak.
"Kok diam?" Aku kembali bertanya.
"Apakah siang dan malam, timur dan barat itu pasangan?" Ia balik bertanya.
"Tentu saja," jawabku,
"Apakah mereka harus bertemu?"
Aku terdiam, hening.
Aku tersudut pada ruang yang gelap, tak ada cahaya .
Dermaga untuk melabuhkan rasa, seperti titik hitam di tengah laut jauh, seperti ada namun tiada.
"Banyak orang mencintai menganggap yang ia cintai adalah miliknya, ia menguasai. Relasi yang terbangun adalah relasi yang pincang, superior-subordinat. Dan, kaum perempuanlah yang sering menjadi subordinat itu. Untuk itu, terkadang cinta mengharuskan untuk melepas." Nadanya tegas.
"Ini soal sikap, bagaimana cara merespon setiap keadaan. Gelombang bisa jadi sangat buruk, ketika ia disikapi sebagai halangan melaut, menjadi berbeda ketika kita menyikapinya sebagai isyarat untuk rehat melepas penat dari kesibukan mengejar dunia sesaat. Begitupun memilih untuk sendiri, tak selalu buruk dan tak berarti tak memiliki cinta." Masithoh terus bicara tanpa mengalihkan pandangannya dari laut.
"Mencintai bukan soal bersama atau tidak, tapi soal bagaimana kita memosisikan cinta atas setiap kebaikan dan keburukan orang yang kita cintai, kemudian menentukan pilihan," lanjutnya.