"Menikmati rindu bersama senja hingga berbilang pekan bahkan bulan atau mungkin tahun, adalah juga cara terindah bagiku, dan tentu saja bukan bagimu!" Ia bicara terus seolah paham aku tak memiliki pendapat sedikitpun untuk menyanggahnya.
"Menurutmu apakah laut memberi karena mengharap balas? Masithoh bertanya serius.
"Tentu saja tidak," tegas ku.
"Lantas kenapa cinta harus selalu menuntut balas?"
"Tidak selalu," jawabku mengambang.
"Jika tak selalu, maka mestinya tak ada istilah cinta bertepuk sebelah tangan, tugas cinta adalah mencintai, bukan menuntut dicintai, cinta itu bukan transaksi jual beli, bukan juga soal bertukar rasa. Jadi tak ada rumus mencintai, memberi berharap balas dan kembali." Mimik serius tampak di wajahnya.
Sejurus kemudian, ia memungut sebongkah batu kecil dan melemparnya ke laut. Batu kecil itu dalam sekejap tenggelam, meninggalkan lingkaran kecil yang perlahan membesar kemudian hilang.
"Apakah cinta harus seperti itu, tumbuh, besar, dan akhirnya hilang?"
Masithoh memandang lurus ke arah matahari yang hampir terbenam, tak sedikitpun ia mau menoleh, sama sekali tak berkenan walau sekadar menggeser bola matanya ke arahku.
Aku menghitung ini adalah pekan ketigabelas, dia melalui senja setiap hari di pinggir pantai, artinya telah 3 bulan lebih Masitoh melakukan pekerjaan sia-sia yang ia sebut cara menikmati rindu itu. Dan tepat, pada pekan ketiga belas inilah, aku mengajaknya bicara.
Hening.