Hingga suatu waktu.
 "Menikmati rindu," jawabnya ketika ku tanya sedang apa,
"Meski matahari tak selalu bercahaya lembut dan angin laut tak selalu bersahabat?" Aku sengaja tak berbasa-basi menanyakan nama dan riwayat kehidupannya.
"Ya!" Jawabnya singkat.
Lama Ia memberi jeda pada pertanyaan tak lagi terlontar, karena jawaban pendek terebut. Hingga akhirnya Ia bicara, bukan kepadaku, tetapi pada laut, pada riak gelombang.
Rindu baginya tak harus terbayar lunas, rindu harus selalu di rawat karena rindu adalah bagian dari keindahan cinta. Langit dan Bumi adalah pasangan yang merawat rindu dan cinta dengan setia, tak pernah berpikir harus bertemu. Samudera yang mengagumi cahaya purnama, acapkali diganggu mendung dan awan sehingga tak bisa memantulkan kilau rindu, dan tentu saja itu tak mengurangi kelapangan dan kedalaman cintanya, begitulah panjang lebar Ia bercerita soal rindu, tanpa sedikitpun menghadapkan wajahnya ke arahku.
"Jadi, kenapa harus terburu-buru hendak bertemu. Membunuh rindu itu bahaya!" Tegas Mashitoh, kali ini aku merasa dia mengajakku bicara.
"Biarkan ia membiru karena kedalamannya, seperti laut. Ya, seperti laut!"
Matanya tajam seolah hendak menggambarkan kedalaman rindunya.
"Entah kepada siapa?" Batinku, tanpa sedikitpun ada nyali untuk bertanya.
"Setiap orang punya cara berbeda menikmati rindu. Seperti daun-daun pohon yang tumbuh di sepanjang tepian pantai ini, jatuh ke laut, meliuk-liuk di udara sebelum berakhir di bibir pantai karena dihempas ombak, bagi sebagian orang barangkali itu adalah momentum tak penting untuk dinikmati, tetapi bagiku; Aduhaiii..., itu adalah keindahan. Bagaimana daun menjaga kesetiaan hingga menua, atau dipaksa angin untuk terpisah dari ranting, hingga akhirnya ia terhempas tak berdaya."