Ombak yang menghantam batu karang menjadi musikalisasi bagi setiap kata-kata Masithoh, kata-kata yang turut menghantam bagian terdalam dari ruang hati sunyi penuh harap, kemudian roboh menjadi keping-keping pesimis nan mengiris.
"Apakah kau yakin perempuan yang akan kau sunting nanti sebagai pendamping, benar-benar akan kau posisikan sebagai pendamping atau sebaliknya akan jadi pelayan mu? Apakah kau pikir bertemu itu sekadar untuk menuntaskan rindu, menikah itu hanya soal menamatkan keperawanan atau menegaskan keperkasaan? Berapa banyak cinta yang susut bahkan luntur karena telah bersama, jadi kenapa kita tidak mencoba untuk tidak bersama dan membiarkan rindu tetap membiru, membiarkan cinta menua tanpa harus bersama?" Pertanyaannya terasa menghantam lebih keras.
"Lepaskanlah apa yang paling kamu cintai kepada mereka yang sangat memerlukan, begitulah kamu peroleh kebajikan dirimu," kalimat yang diucapkannya tepat ketika matahari tersisa separuh, waktu yang menjadi isyarat bahwa dia juga akan segera pulang meninggalkan pantai.
***
"Siapakah jodoh Maryam si perawan suci? Jika memang takdir pasangan itu harus berjodoh dan bersanding bersama? Bukankah Isa juga tak pernah menikah?" Mashitoh membuka pembicaraan di senja ke tigapuluh enam. Senja terakhir sebelum akhirnya ia hilang dan aku benar-benar kehilangannya.
Masithoh hilang, meninggalkan kesan sekaligus pesan bahwa mencintai itu, tak berarti memiliki apalagi menguasai.
Aku tak pernah menanyakan di mana dia tinggal, orang-orang pulau juga tak bisa membantu menjelaskanya. Dia benar-benar hilang seperti di telan laut.
Kini aku hanya meneruskan kebiasaannya, mematung sendiri di bibir pantai ini. Mengenang setiap celotehnya soal Laila dan Majnun, tentang Rabi'ah al Adawiyah, tentang Isa Al Masih yang memilih men-jomblohingga meninggal, atau sesekali tentang Kartini yang menurutnya "mengorbankan diri" untuk menjadi isteri.
 Telah ku genapi hingga 48 minggu keberadaan Masithoh di tepi pantai ini, sendiri. Aku meragukan apakah ia benar-benar pergi atau hilang, seperti aku meragukan apakah ia benar-benar ada dan pernah hadir di sini. Namun, aku menjadi nyaman merawat rindu, mengenang kebersamaan kala senja, menghirup wangi aroma rambutnya yang tertiup angin. Meski tak yakin itu nyata atau maya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H