Mohon tunggu...
Rahmat Sahid
Rahmat Sahid Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Wong Kebumen, ceker nang Jakarta, kandang nang Bekasi, Penulis Buku Sisi Lain pak Taufiq & Bu Mega, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sandri: Maling Nyaru Santri

17 Januari 2019   12:16 Diperbarui: 17 Januari 2019   12:40 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerimis kecil di tengah malam tak menyurutkan seorang anak muda untuk mengawali langkahnya menjemput rejeki di awal tahun 2019. Tidak ada rasa takut, pun tidak ada pertimbangan cara yang dilakukan itu baik atau tidak, halal atau haram. Baginya, semua ketika sudah terkonversi menjadi uang yang ada hanya asli atau palsu. Sepanjang uang itu asli, maka tidak mau dia melabelinya sebagai uang halal ataupun uang haram.

Langkah kakinya dengan begitu hati-hati dan memasang jurus kewaspadaan menuju ke sebuah bangunan mewah yang kala itu tak begitu terang sinar lampunya. Mungkin karena sudah larut malam sehingga sang empunya rumah wawah di tengah kota Jakarta itu memilih untuk mengurangi penerangan, termasuk di samping kiri yang bertematan dengan jalan setapak.

Ada celah kecil di jendela samping kiri rumah, yang dimanfaatkan oleh pemuda itu untukmengintai apakah masih ada kehidupan di dalamnya. Satu mata sang pemuda yang ditempelkan di celah jendela menangkap sepasang suami istri sedang shalat malam, tepatnya pas sedang mengucapkan uluk salam tanda shalatnya selsai. Keduanya lalu menengadahkan tangan untuk berdoa, tak sampai lima menit, keduanya mengusapkan telapak tangan ke muka tanda ritual doa sudah usai.

Di luar, si pemuda terus membidikkan matanya untuk mengikuti gelagat pasangan suami istri yang sudah terlihat sepuh itu. Terlihat oleh mata pengintai, si bapak melepas pecinya kemudian dicantelkan di balik pintu, sementara si ibu melipat mukena kemudian menaruh di rak kecil di pojokan kamar. Mereka lalu duduk dan berdiskusi ringan

"Bu, anak kita kan sudah besar. Sebagai anak perempuan, sudah waktunya ada yang menyunting agar membangun keluarga" kata Pak Toro, kepada istrinya, Bu Tiwi.

"Iya Pak, memang sudah cukup umur, sudah usia 23 tahun. Tapi mau bagaimana lagi, walaupun cantik tetapi sampai sekarang belum ada yang melamar" jawab Bu Tiwi.

Pak Toro-nama lengkapnya Nusantoro- dan istrinya, Bu Tiwi-nama lengkapnya Pertiwi memang dikaruniai satu anak perempuan yang cantik bernama Dewi Sri. Putri tunggal pasangan Toro-Tiwi itu merupakan pewaris tunggal tanah 3 Ha di bilangan Jakarta Pusat, 6,5 Ha di Banten, dan 4.500 M tanah di Bali. Pasangan Toro-Tiwi memang tergolong tuan tanah. Tetapi meraka tidak pernah mengenyam pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan agama. Meski keseharian ibadahnya rajin, tetapi dari segi pengetahuan keduanya adalah orang awam.

"Bapak sih, pasang kriterianya untuk calon anak mantu kita terlalu tinggi" timpal Bu Tiwi.

"Iya lah Bu. Kita harus dapat mantu yang tepat, agar bisa menjadi pemimpin dan imam di keluarga kita yang awam, biar bisa membimbing ibadah kita, bisa membimbing anak kita" kata Pak Toro tak mau kalah dengan keluhan sang istri.

"Makanya, anak kita nanti harus dapat pemuda yang santri, mondoknya paling tidak 10 tahun di Jawa Timur sana, juga luwes jadi pemimpin, berwibawa, karena nanti akan mengelola warisan yang akan kita berikan" tambah Pak Toro panjang lebar mengenai criteria yang ditetapkan untuk calon mantunya.

Tanpa sadar, percakapan pasangan suami istri yang sudah sepuh itu dipantau oleh pemuda yang sejak mereka selesai shalat malam sudah mengintainya. Sandri, pemuda dari pulau seberang yang sudah lima tahun di Jakarta terus memelototi percakapan dan menajamkan pendengaran, otaknya berputar menyusun sekenario. Ia batalkan, niatnya menggasak beberapa benda berharga di rumah itu meskipun dua pekan sebelumnya ia sudah melakukan pengintaian. Masih dalam rintik gerimis, dia putuskan pulang ke kontrakan meski tanpa hasil materi.

"Bagaimana caranya saya bisa menjadi menantunya Pak Toro dan Bu Tiwi" gumam Sandri dalam perjalan pulang ke kontrakan.

Sesampainya di kontrakan, ia tiduran tanpa mempedulikan kaos oblong dan celananya yang sedikit lembab karena rintik hujan dalam perjalanan. Yang ada di kepalanya hanya scenario bagaimana bisa menguasai harta Pak Toro dan Bu Tiwi, sekaligus menyunting putri cantiknya.

Keesokan harinya, sinar matahari yang masuk lewat jendela kontrakan menjadi penggugah tidur Sandri. Ia lantas masuk kamar mandi, gosok gigi, cuci muka, dan membasahi rambut, lalu beranjak pergi lagi sambil menyisir rambut dengan tangannya. Ia menuju sebuah took di pinggiran Pasar Tanah Abang. Dibelinya satu sarung, satu baju koko, satu peci, satu botol kecil minyak kastury, dan sejumlah kitab kuning. Entah kitab apa namanya, karena Sandri juga tak bisa baca huruf arab, terlebih Arab gundul di kitab kuning yang dibelinya. Lalu ia pulang kembali ke kontrakan, kali ini menyempatkan mandi.

"Misi ini harus berhasil, agar bisa ubah nasib, dan naik derajat" gumamnya.

Dengan setelan sarung, berbaju koko dan berpeci, kemudian dia oleskan minyak kastury di bajunya, dengan langkah mantap ia menuju ke rumah yang semalam diintai untuk digasak hartanya. Tetapi, kali ini misinya sudah berbeda. Dengan skenario yang sudah ia pikirkan menjelang tidur tadi malam, ia putuskan untuk melamar Dewi Sri.

 "Assalamualaikum...." Sandri dengan ucapan mantap disertai ketukan pintu

"Waalaikumsalam...." Jawab Bu Tiwi sambil membukakan pintu.

"Pak, ada tamu ini" kata Bu Tiwi seusai mempersilahkan tamunya duduk di ruang depan.

"Perkenalkan Pak, Bu, saya yatim piatu dari pulau seberang, yang sejak kecil sudah dititipkan di Pondok Pesantren di Jawa Timur. 15 tahun saya ngaji dan sempat membantu ngajar di pondok, saya memutuskan untuk mencari tantangan baru di Jakarta" kata Sandri mengawali perkenalannya.

"Barangkali di sini, Bapak dan Ibu ada yang bisa saya bantu sambil saya mencari pekerjaan" tambahnya.

"Sebentar ya nak Sandri.." kata Pak Toro, sambil menarik tangan istrinya untuk masuk ke ruang tengah.

"Bu, barang kali inilah yang dikirim Tuhan, doa kita untuk punya mantu pemuda santri akan dikabulkan"

"Maksudnya, bapak mau menjadikan anak muda yang baru ketemu ini sebagai anak mantu?" tanya Bu Tiwi dengan keraguan.

"Ibu jangan su'udzon dong. Bagaimana kalau ternyata benar bahwa anak muda yang baru datang itulah mantu ideal yang selama ini kita idamkan"

"Saya sih bukan su'udzon Pak, tetapi apakah kita tidak coba selidiki dulu silsilah anak muda itu sebelum kita ambil keputusan" timpal Bu Tiwi meyakinkan suaminya untuk mempertimbangkan dulu sebelum ambil keputusan.

"Ngapain diselidiki silsilahnya bu, lha wong dia yatim piatu kok. Kita percaya saja karena anak muda itu santri, pasti jujur, pasti pinter ngaji" jawab Pak Toro.

"Ya sudah kalau Bapak sudah yakin, saya ikut saja bagaimana yang terbaik untuk kita dan terbaik untuk anak kita" Bu Tiwi akhirnya mengalah sambil kembali mengikuti suaminya masuk ruangan depan menemui tamunya.

 "Nak Sandri...." kata Pak Toro

"Begini, Nak Sandri kan sudah cukup lama ngaji, sudah punya pengalaman ngajar di pesantren. Bagaimana kalau nak Sandri tidak usah mencari pekerjaan" lanjut Pak Toro.

"Maksudnya bagaimana Pak..." tanya Sandri, pura-pura penasaran meski dalam hatinya mulai ada kepuasan karena jebakannya dipercaya oleh Pak Toro dan Bu Tiwi.

"Tanpa bermaksud mengurangi niat Nak Sandri untuk mencari tantangan baru di Jakarta, kamu punya niat bagaimana kalau Nak Sandri di nanti tinggal di sini, menjadi anak mantu kami.Nak Sandri nanti bisa mengelola asset kami, sekaligus bisa mengamalkan ilmunya mengisi pengajian atau ngajar ngaji di masjid komplek sini"

Pucuk dicinta ulampun tiba. Dengan dag dig dug membayangkan bagaimana nanti ketika diminta ngajar ngaji atau mengisi pengajian, Sandri dalam hatu antusias karena skenarionya berhasil. Dalam otaknya, Sandri membayangkan yang terpenting adalah misinya menjadi anak mantu pasangan Toro-Tiwi berhasil, langkah berikutnya menguasai asset-asetnya. Soal dalam perjalanan menjadi anak mantu terbentur dengan tugas atau rutinitas keagamaan, itu bisa disiasati di kemudian hari.

Singkat cerita, Sandri benar-benar menjadi anak mantu dari pasangan Toro-Tiwi. Hari demi hari dilalui dengan ceria oleh keluarga baru Sandri-Dewi, tanpa ada kecurigaan bahwa pemuda Sandri adalah seorang maling yang nyaru menjadi santri. Demikian halnya pasangan Pak Toro dan Bu Tiwi, yang ada hanya kebahagiaan karena sudah mendapatkan mantu idaman.

Suatu hari seusai bulan madu, Pak Toro mengajak anak mantu untuk jamaah Shalat Maghrib di masjid komplek rumah. Niatnya akan memperkenalkan ke jamaah masjid, soal sosok menantu yang merupakan santri. Dengan rasa antusias, Pak Toro mencermati apa yang dilakukan Sandri, termasuk saat mengambil air wudlu. Ia perhatikan ketika Sandri mengawali wudlunya dengan mambasuk kakinya, kemudian membasuh. Hanya itulah yang dilakukan Sandri dalam wudlunya.

Meski dengan rasa heran, Pak Toro mengikuti cara wudlu Sandri, karena dianggapnya pasti cara wudlu yang benar mengingat Sandri merupakan santri yang sudah 15 tahun ngaji di salah satu ponpes di Jawa Timur. Sepulangnya dari jamaah Shalat Maghrib, pasangan Toro-Tiwi dan Sandri-Dewi makan malam. Di sela itu, Pak Toro sempat menanyakan ke Sandri perihal tata cara wudlu di masjid tadi.

"Nak mantu tadi bapak perhatikan, wudlunya membasuk kaki dulu, terus basuh muka, selsai. Kok beda dengan cara wudlu yang bapak lakukan selama ini dan yang diajarkan kiai di masjid ya nak" tanya Pak Toro yang membuat Sandri sedikit kaget.

Sambil menguasai keadaan agar tak terlihat kaget dan tegang, Sandri menjawab bahwa wudlu yang dilakukan itulah yang benar. Ia kemudian menyebut salah satu nama kitab kuning dan menerangkan terjemahannya.

"Di kitab ini, ada dalilnya kenapa yang dibasuh kaki terlebih dahulu. Karena kaki yang pertama kena najis," kata Sandri.

"Lalu setelah membasih kaki, kita basuh muka karena dengan muka kita menghadap dan bersujud. Begitu dalilnya Pak.." tambahnya.

"Oooh, jadi yang diajarkan di sini yang salah ya nak?" tanya Pak Toro

"Mungkin tidak salah, sepanjang ada dalilnya, hanya beda tata cara saja Pak," jawab Sandri dengan penuh yakin.

Dalam hati, Sandri meyakinkan dirinya bahwa argumentasi yang menjadi alasan sudah cukup masuk akal untuk pembenaran. Ia lantas mengingat tata cara wudlu yang dilakukan salah satu tokoh nasional yang sedang berkompetisi, yang karena tidak lazim videonya viral di sosial media. Dengan tata cara yang dianggap tak lazim dan videonya sudah viral, toh juga ada alasan untuk pembenaran.

"Ngamain juga saya harus takut ketahuan tata cara wudlu saya yang tidak benar itu. Gampang lah nanti cari pembenaran, karena yang tokoh nasional saja disoroti cara wudlu nya tidak jadi masalah, masih ada yang membenarkan, apalagi saya yang bukan tokoh" gumam Sandri.

Sejak saat itu, Pak Toro daalam berwudlu mengikuti tata cara yang dilakukan Sandri. Ia tak peduli dengan jamaah lain yang mengingatkannya, karena menganggap bahwa yang benar adalah tata cara wudlu yang dilakukan anak menantunya. Ada dalilnya pula.

Hari berikutnya, masih dalam suasana keluarga baru, Pak Toro mengajak menantunya pergi mincing di pinggiran kali Ciliwung. Sambil diskusi ringan soal ilmu-ilmu agama yang dijawab sekenanya dengan dalil yang juga diciptakannya, Sandri menarik pancingnya karena ada tarikan kuat dari dalam air. Tak dinyana, ternyata seekor bulus yang memakan umpan pancing Sandri. Setelah diangkat, bulus yang beratnya mencapai 3 Kg itu dibawanya pulang dengan penuh gembira. Bu Tiwi dan Dewi bahu membahu memasak bulus hasil pancingan Sandri, dimasak oseng dengan kuah lumayan banyak karena berharap kaldu dari minyak bulus akan menambah rasa nikmat untuk santapan makan malam nanti.

Pulang dari jamaah Shalat Maghrib, Pak Toro dan Sandri sudah disuguhi nasi hangat dan lauk osengan bulus yang berkuah. Namun, sebelum mengambil nasi, Pak Toro muncul keraguan soal hukum makan ikan bulus. Ia lalu menanyakan ke Sandri dan minta dicarikan dalilnya

"Coba nak Sandri, carikan dalilnya makan bulus itu haram atau lalal" kata Pak Toro

Sandri lantas ke kamar, mengambil kitab kuning yang ia beli di salah satu took pinggiran Pasar Tanah Abang. Lalu dibukanya dihadapan Pak Toro.

"Ini Pak, ada dalilnya. Halal tetapi dikhususkan Pak"

"Kok ada ya dalil yang dikhususkan. Bunyinya bagaimana nak?"

"Al bulusu haromun limertuin, wahalalun limantuin. Artinya, ikan bulus itu haram bagi mertua, dan halal bagi anak mantu" jawab Sandri sepontan, seolah sambil membaca teks kitab kuning yang tidak ia pahami.

"Coba cari dalilnya lagi nak, mosok kok dalilnya khusus begitu" ungkap Pak Toro yang sepertinya tidak puas dengan jawaban menantunya.

"Oh iya ini ada dalilnya lagi Pak, ketemu. Tapi sifat hukumnya masih khusus atau pengecualian" jawab Sandri.

"Bunyinya bagaimana nak" ada yang menghalalkan untuk mertua?"

"Al bulusu haromun limertuin, illa kuwwahin. Artinya, ikan bulus haram bagi mertua, kecuali kuahnya. Jadi bapak bisa makan kuahnya pak, halal kuahnya" jawab Sandri.

Lagi-lagi, tanpa curiga, Pak Toro malam itu percaya dengan penjelasan menantunya. Ia ikut makan malam, meskipun lauknya hanya kuah ikan bulus, hasil pancingan tadi siang. Ia ceritakan pengalaman itu ke jamaah masjid, tak peduli banyak yang menertawakan dan mulai mencurigai siapa sebenarnya sosok Sandri yang mengaku sebagai santri.

Di sela Pak Toro cerita ke jamaah masjid soal menantunya, imam masjid yang mulai curiga menanyakan sosok Sandri.

"Itu menantunya Pak Toro sebenarnya siapa? Saya kok curiga, jangan-jangan orang enggak bener itu Pak. Banyak anehnya, banyak janggalnya. Contohnya, tata cara wudlu, masak kakinya dulu. Terus hukum makan ikan bulus, masak aneh-aneh dalilnya" kata Kiai Muhamad Joko.

"Pak kiai mungkin ilmunya belum sampai pak, mondoknya kalah lama, jadi tidak nyambung dengan ilmu menantu saya" jawab Pak Toro

"Terus, itu yang Pak Toro selalu ceritakan, katanya tiap malam menantu bapak pergi ke masjid untuk shalat malam, lalu ketika pulang sudah ada rejeki yang datang, itu bagaimana ceritanya? Lha wong di masjid sini saja kalau malam hari tidak ada kok, dimana coba shalat malamnya, terus dari mana rejeki yang katanya dari Tuhan itu?" Kiai Joko memborbardir Pak Toro dengan berbagai pertanyaan.

"Atau jangan-jangan menanti bapak pergi malam itu cari mangsa? Jadi maling?" kembali pertanyaan pedas disampaikan.

"Pak kiai jangan sembarangan, kualat nanti, menantu saya itu kelasnya santri berilmu tinggi, jangan asal nuduh" Pak Toro mulai emosi, kemudian meninggalkan Kiai Joko dan jamaah lainnya yang masih penasaran dengan sosok Sandri.

Pak Toro pulang dengan pikiran kalut, marah karena mulai ada yang meragukan dan mencurigai menantunya. Namun, di hati kecilnya juga dia terbersit untuk mengetahui, kemana sebenarnya kemana tiap malam menantunya pergi, karena selama ini alasannya adalah shalat malam di masjid. Karenanya, meskipun kebiasaan  selepas jamaah Shalat Isya Toro langsung ke mamar, tidur, bangun lagi tengah malam untuk shalat sunah, kali ini kegelisahan itu memaksanya tetap melek. Ia memilih duduk di teras depan sambil minum the pahit sambil menunggu menantunya pulang, entah tengah malam, atau dini hari nanti. Hingga tengah malam, menantunya belum juga pulang. Pak Toro masuk rumah, ambil air wudlu, lalu shalat sunah. Usai shalat malam, ia kembali ke teras, masih merenung mencari jawaban kegelisahan sambil menunggu menantunya pulang.

Mata pak Toro sudah mulai mengatup karena dihinggapi kantuk. Namun, sayup-sayup ia mendengan langkah kaki dan seseorang yang hendak membuka pintu gerbang. Tak lain, sang menantu pulang mengempit sesuatu diketiaknya. Ia putuskan menyambut menanti di pintu gerbang sambil menanyakan.

"Anak mantu dari mana kok dini hari baru pulang?" tanya Pak Toro

"Dari masjid pak, shalat malam" jawab Sandri    

"Itu bawa apa nak?"

"Oh ini, kitab pak" Sandri menjawab sekenanya

"Kok besar sekali kitabnya" cecar Pak Toro

"Iya ini Pak, kita besar, kitab Quran" Sandri masih beralibi

"Quran kok ada cekernya?" desak Pak Toro yang tiba-tiba melihat ceker ayam keluar dari kotak dikempitan sang menantu.

Di saat bersamaan, puluhan orang yang sebagian merupakan jamaah masjid menggeruduk rumah Pak Toro. Mereka mengejar maling yang mencuri ayam jago rumah samping masjid, dan sang maling larinya kea rah rumah Pak Toro.

Mendapati hasil curiannya muncul tanda sial, dimana ceker ayam keluar dari krusu yang dikempitnya, dan rasa takut karena grudugan jamaah masjid yang akan menangkapnya, baying-bayang hukuman dan scenario penyaruannya sebagai santri terbongkar, dengan pasrah dia berucap: "Innalillahi cekernya mrojol".

Kiai Joko beserta para jamaah akhirnya mengamankan Sandri untuk diserahkan ke Polsek terdekat. Di perjalanan, ia menasihati: "Serapat-rapatnya bangkai disimpan, akan tercium juga bau busuknya. Sepandai-pandainya kamu bohong, akan ketahuan juga. Jangan lah kamu gunakan segala cara dalam mencari rejeki dan mendapatkan kekuasaan"

"Sandri, kamu itu bukan santri, lalu untuk apa kamu nyaru jadi santri dengan cara bohong dan mencuri demi ambisi?" pungkas Kiai Joko sambil menyerahkan Sandri ke kepolisian untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun