Sejak saat itu, Pak Toro daalam berwudlu mengikuti tata cara yang dilakukan Sandri. Ia tak peduli dengan jamaah lain yang mengingatkannya, karena menganggap bahwa yang benar adalah tata cara wudlu yang dilakukan anak menantunya. Ada dalilnya pula.
Hari berikutnya, masih dalam suasana keluarga baru, Pak Toro mengajak menantunya pergi mincing di pinggiran kali Ciliwung. Sambil diskusi ringan soal ilmu-ilmu agama yang dijawab sekenanya dengan dalil yang juga diciptakannya, Sandri menarik pancingnya karena ada tarikan kuat dari dalam air. Tak dinyana, ternyata seekor bulus yang memakan umpan pancing Sandri. Setelah diangkat, bulus yang beratnya mencapai 3 Kg itu dibawanya pulang dengan penuh gembira. Bu Tiwi dan Dewi bahu membahu memasak bulus hasil pancingan Sandri, dimasak oseng dengan kuah lumayan banyak karena berharap kaldu dari minyak bulus akan menambah rasa nikmat untuk santapan makan malam nanti.
Pulang dari jamaah Shalat Maghrib, Pak Toro dan Sandri sudah disuguhi nasi hangat dan lauk osengan bulus yang berkuah. Namun, sebelum mengambil nasi, Pak Toro muncul keraguan soal hukum makan ikan bulus. Ia lalu menanyakan ke Sandri dan minta dicarikan dalilnya
"Coba nak Sandri, carikan dalilnya makan bulus itu haram atau lalal" kata Pak Toro
Sandri lantas ke kamar, mengambil kitab kuning yang ia beli di salah satu took pinggiran Pasar Tanah Abang. Lalu dibukanya dihadapan Pak Toro.
"Ini Pak, ada dalilnya. Halal tetapi dikhususkan Pak"
"Kok ada ya dalil yang dikhususkan. Bunyinya bagaimana nak?"
"Al bulusu haromun limertuin, wahalalun limantuin. Artinya, ikan bulus itu haram bagi mertua, dan halal bagi anak mantu" jawab Sandri sepontan, seolah sambil membaca teks kitab kuning yang tidak ia pahami.
"Coba cari dalilnya lagi nak, mosok kok dalilnya khusus begitu" ungkap Pak Toro yang sepertinya tidak puas dengan jawaban menantunya.
"Oh iya ini ada dalilnya lagi Pak, ketemu. Tapi sifat hukumnya masih khusus atau pengecualian" jawab Sandri.
"Bunyinya bagaimana nak" ada yang menghalalkan untuk mertua?"